Sabtu, 05 Desember 2015

Kidung dari Brang Wetan: Musik Banyuwangen dalam Gerak Industri (Bagian I)

December 6, 2015 | Ikwan Setiawan*


Sumber foto: https://ketoprakjawa.files.wordpress.com/2011/01/patrol-orkestra-banyuwangi.jpg

“Seniman-Di Antara”, Negosiasi Lokalitas, dan Kreativitas Hibrid
Kondisi ambivalensi, keberantaraan, dan hibriditas kultural masyarakat Banyuwangi menjadi medan hidup sehari-hari bagi para seniman musik di era 2000-an. Bagaimanapun juga, mereka adalah para seniman muda yang lahir dan tumbuh dalam zaman transformasi, di mana budaya global/modern semakin biasa dalam kehidupan masyarakat. Musik pop-modern, baik yang berasal dari Barat maupun Jakarta, merupakan “suara dan bunyi” yang menemani waktu-waktu senggang mereka. Sementara, para seniman tersebut juga masih biasa mendengarkan lagu-lagu kendang kempul maupun lagu-lagu gandrung yang sudah dikasetkan dan sangat populer di Banyuwangi. Mereka juga tidak menutup mata bahwa kaum remaja dan kaum muda, khususnya, dan masyarakat Banyuwangi, umumnya, semakin familiar dengan genre-genre musik populer yang ‘digerakkan’ dari pusat, Jakarta. Sebagai subjek diskursif, menurut kami, kreativitas mereka tidak akan bisa lepas dari pertimbangan-pertimbangan kontekstual tersebut.
Kuatnya pengaruh beragam kesenian industrial-global ke dalam kehidupan kultural masyarakat lokal, suka atau tidak suka, akan mempengaruhi dan mentransformasi budaya lokal setempat. Kreativitas untuk membaca, mengkritisi, mengevaluasi, dan mencampur pengaruh global dengan kekayaan budaya lokal merupakan strategi dan taktik untuk kepentingan lokalitas. Kalaupun, kemudian dikatakan mereka terhegemoni, itu karena mekanisme industri budaya yang memang mempunyai karakteristik untuk selalu mengambil dan menggunakan kekayaan tradisi dan modernitas demi memenuhi kepentingan kapital mereka. Realitas-realitas kompleks itulah yang harus dibaca secara jeli dan kritis.
Para seniman Banyuwangen berhasil memahami konsepsi di atas, sehingga mereka mampu membuat karya-karya kultural bernuansa hibrid yang merupakan hasil proses panjang mereka dalam memahami dan membaca ulang kehadiran kekuatan-kekuatan kultural luar, baik yang berasal dari wilayah-wilayah kultural di sekitar bumi Blambangan maupun dari lalu-lintas budaya global dalam kehidupan sehari-hari mereka. Para seniman musik (pencipta lagu, penulis lirik, dan musisi), menjadi kelompok kreatif yang mampu memadukan pengaruh-pengaruh musik dari luar dengan tradisi musik lokal yang diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan produk-produk hibrid yang oleh masyarakat setempat tetap diyakini sebagai bagian sah dari kebudayaan Banyuwangen. Sayun, salah satu seniman Banyuwangi, mengatakan: “Asal unsur tradisi itu masih ada sekitar 60-80 persen, maka masyarakat akan menerima dan mengakui sebagai musik Banyuwangi. Mereka akan mengatakan, ‘Ini musik saya’, sehingga dengan mudah musik kolaborasi itu bisa berkembang di tengah-tengah masyarakat” (“Banyuwangi Bernyanyi Sendiri”, rubrik Kehidupan, Kompas, 13 Pebruari 2005). Pernyataan Sayun tersebut secara implisit menjelaskan formula dan konsensus kultural dalam masyarakat dalam memposisikan kesenian hibrid, seperti musik populer Banyuwangen yang sekarang sedang trend. Kenyataannya, musik hibrid memang sangat digemari sehingga bisa menjadi kekuatan kultural baru untuk menegosiasikan ke-Usingan ke dalam gerak masyarakat yang sedang bertransformasi ke dalam medan wacana budaya global.
Pada era 2000-an, babak baru perkembangan kesenian lokal Banyuwangen mengalami pergeseran yang berimplikasi pada format dan pengaruhnya kepada kehidupan kultural di bumi Blambangan. Kemampuan ekonomis masyarakat kebanyakan untuk membeli televisi dan VCD Player, mendorong beberapa pengusaha rekaman di tingkat lokal memulai aktivitas produksinya dalam bentuk VCD. Seperti yang terjadi pada masa pasca-65, pilihan jenis kesenian yang diproduksi secara massif dalam kepingan VCD adalah lagu atau tembang Banyuwangen. Meskipun demikian, tetap ada juga rekaman dalam bentuk kaset, untuk memenuhi kebutuhan hiburan dari mereka yang belum memiliki VCD player di rumah atau para pengendara mobil yang masih menggunakan tape mobil, seperti sopir-sopir truk antarkota. Dipilihnya lagu-lagu Banyuwangen memenuhi dua alasan strategis bagi dunia industri rekaman. Pertama, rakyat Blambangan sejak dulu sudah terbiasa dengan lagu-lagu daerah, baik lagu bernuansa klasik maupun lagu yang diciptakan untuk musik angklung. Lagu-lagu bernuansa klasik yang biasa ditampilkan dalam pertunjukan Seblang dan Gandrung, seperti Seblang Lokento, Podho Nonton, Emping-emping, Cengkir Gading, Kembang Dirma, Kembang Pepe, Layar Kumendhang, Erang-erang, Sampun Maketut Sare, Lilira Kantun, Candradewi, maupun Agung-agung (Murgiyanto & Munadi, 1994). Mereka juga sudah familiar dengan lagu-lagu Banyuwangen karangan Andang CY, Basir Noerdian, dan Mahfud yang diiringi angklung maupun kendang kempul. Kedua, karena sudah populer di tengah-tengah rakyat Blambangan, produser rekaman tentu akan mengharapkan keuntungan dari proses penjualan VCD tersebut. Formula ini tentu tidak asing lagi dalam dunia kapitalisme yang mengutamakan keuntungan sebanyak-banyaknya dari produksi dan penjualan produk secara massif ke tengah-tengah masyarakat yang membutuhkan hiburan dan tontonan di tengah-tengah waktu santai keluarga.
Pada awalnya, pilihan jatuh pada lagu-lagu kendang kempul, seperti Gelang Alit, Kembang Galengan, Ugo-ugo, Rehana, Ulan Andung-andung, dan lain-lain. Respons yang cukup baik dari masyarakat, menjadikan pihak rekaman, seperti Aneka Safari, melebarkan sayap dengan merekam pertunjukan-pertunjukan berbasis tarian dan drama, seperti gandrung dan janger. Meskipun penjualannya tidak sehebat VCD lagu-lagu Banyuwangen, massifikasi tari dan drama lokal tersebut mampu memberi warna tersendiri bagi perkembangan industri budaya di Banyuwangi. Dalam konteks industri, kesenian-kesenian non-lagu, seperti janger dan gandrung, tentu saja membutuhkan modifikasi dan pembaruan estetika pertunjukannya karena harus menyesuaikan dengan durasi waktu yang ada dalam keping VCD. Pertunjukan janger yang biasanya berlangsung dari malam hingga subuh, diringkas sehingga durasi waktunya tinggal 1 jam. Dalam VCD, tari gandrung juga sudah dikemas dalam setting yang lebih modern dengan koreografi yang sudah diatur sedemikian rupa. Demikian juga dengan jaranan Banyuwangenyang berbasis di wilayah etnis Jawa di Banyuwangi Selatan, dikemas dengan lagu-lagu populer Banyuwangen.
Waluyo dan Basri, memberikan kritik secara implisit, demi melihat perkembangan kapitalisasi kesenian yang melanda Banyuwangi:
Penyesuaian-penyesuaian semacam ini seolah menjadi lazim dalam industri rekaman. Sementara di sisi lain, meskipun ada beberapa seniman seperti Mbok Temu yang terlihat gigih memegangi tradisi, para seniman sering tak kuasa menolak perubahan yang terus menjadi tuntutan bisnis hiburan. Memang dalam industri rekaman, kaum seniman bukan hanya berada dalam bayang-bayang kekuasaan. Sebagian bahkan terancam dalam rengkuhan segelintir pemilik modal.[1]
Kritik ala Mazhab Frankfurt tersebut, bisa jadi didasari atas keprihatian budayawan terhadap “komodifikasi” (commodification), “massifikasi” (massification), dan “standardisasi” (standardization) terhadap kesenian-kesenian lokal dalam kerja-kerja kapitalisme industri (industrial capitalism) yang akan berakibat pada keterjebakan para seniman dan karya-karyanya ke dalam lingkaran modal dan selebihnya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti keinginan pemodal. Ketika mengalami komodifikasi, sebuah bentuk kesenian lokal tidak akan ditampilkan sepenuhnya dan sudah mengalami standardisasi dalam pola penampilan, sehingga tampilan yang disajikan dalam jumlah yang sangat massif akan kehilangan pesan-pesan kulturalnya; sekedar menjadi hiburan.
Mengenai persoalan penyesuaian tampilan dari kesenian lokal berbasis tari dan drama yang di-VCD-kan, Indra Wijaya, warga China, produser Aneka Safari Genteng yang memulai usaha rekaman sejak 1986, mempunyai argumennya sendiri.
Sebenarnya saya ingin memberikan warna dalam perkembangan industri kesenian di Banyuwangi. Begini, kesenian seperti pacul gowang itu kan sudah hampir punah atau bahkan binasa. Paling-paling yang nanggap juga sopir truk yang sedang istirahat. Tapi, intinya, masih ada penggemarnya. Makanya, saya memproduksinya, tetapi sudah dicampur dengan lagu-lagu pop Banyuwangen, kalau seperti format awalnya yang banyak ngomong dan banyolan saja, wah, ya ndak laku. Memang, ada kesenian-kesenian tertentu yang sudah tidak bisa ditolong lagi. Ada juga saya memproduksi Janger dalam dua format, drama tradisional dan lagu, namanya Janger Berdendang. Ya, itu untuk memberikan warna-warna baru agar masyarakat tidak jenuh. (Wawancara, 30 Juli 2009)
Kreativitas Indra untuk memunculkan reproduksi kesenian lama dalam bentuk baru merupakan strategi untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Kalau pacul gowang (semacam pertunjukan lawak, pen) yang sudah mati suri dibiarkan dalam format lama, tentu, komunitas penggemarnya akan tetap sedikit. Sementara, kalau di-VCD-kan dengan tambahan lagu-lagu populer Banyuwangen, mereka yang semula tidak kenal lagi dengan pacul gowang akan bisa menikmatinya, meskipun awalnya mungkin tertarik karena ingin menonton atau mendengar lagu-lagu yang sedang nge-trend.
Meskipun secara ekonomis kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan produksi VCD tembang-tembang Banyuwangen, para produser tetap berusaha merekam karena memang “masih ada penggemarnya” walaupun sedikit sekaligus untuk menunjukkan bahwa mereka masih mempunyai kepedulian terhadap pemberdayaan budaya lokal versi industri. Indra memaparkan:
“Ndak usah bicara untung rugi kalau untuk kesenian kayak pacul gowang atau sejenisnya. Bisa balik modal saja sudah untung-untungan. Saya itu besar di Banyuwangi, jadi sudah seperti menjadi orang Banyuwangi itu sendiri, meskipun etnis saya China” (Wawancara, 30 Juli 2009).
Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Arie Sandi, manajer Sandi Record Banyuwangi, yang menggeluti usaha rekaman sejak 2002 ini.
“Untuk VCD kesenian tradisional seperti kuntulan, gandrung, angklung, jaranan, penjualannya memang agak susah. Jarang yang bisa menembus angka 10.000 copy. Tidak seperti lagu-lagu pop Banyuwangen maupun kendang kempul… Yang menguntungkan tetap saja lagu-lagu populer Banyuwangi dan nasional. Untuk kesenian-kesenian tradisional, sangat berat… kami juga ingin memberikan sumbangan bagi perkembangan kebudayaan Banyuwangi.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Pernyataan kedua pengusaha tersebut memang mengindikasikan adanya ‘kepedulian’ terhadap pengembangan kesenian dan budaya lokal Banyuwangen dalam era industrial. Mereka sangat memahami bahwa sebagian besar rakyat Banyuwangi sudah memiliki teve dan VCD Player, sehingga pilihan untuk membuat format VCD pacul gowang, kuntulan, jaranan, janger, maupun gandrung sebenarnya menunjukkan strategi ganda kapitalis, yakni mempopulerkan kesenian lokal dengan alasan pemberdayaan sekaligus memperoleh keuntungan finansial, meskipun ‘tidak terlalu banyak’. Logikanya, tidak ada pemodal yang ingin merugi. Kapitalisme, baik dalam lingkup global-transnasional, nasional, maupun lokal, sebenarnya selalu berwajah ganda; tampak lembut dan manusiawi, sekaligus memendam hasrat untuk mengeruk keuntungan.
Dalam konteks industri kreatif, inkorporasi kesenian lokal ke dalam mekanisme industri melalui format VCD menegaskan bahwa produk-produk budaya lokal sudah semestinya ‘bercumbu’ dengan produk teknologi modern agar terus bisa berkembang di tengah-tengah masyarakat. Teknologi modern bukanlah sesuatu yang harus ditakuti dan dijauhi, tetapi sebisa mungkin dimanfaatkan untuk perluasan “medan pengaruh” dari keberadaan kesenian lokal. Artinya, dengan dibuat format VCD, memang para seniman tidak akan mendapatkan keuntungan berlimpah dari penjualan yang sulit menembus angka 10.000 keping, tetapi dengan kemasan VCD tersebut akan semakin banyak orang yang tahu bahwa kesenian-kesenian tradisi-lokal Banyuwangen sebenarnya masih ada. Harapannya, mereka suatu saat, ketika ada hajatan atau peringatan Hari Kemerdekaan akan mementaskan kesenian-kesenian tersebut dalam atraksi pertunjukan live. Namun, apakah benar para pemodal punya cita-cita seluhur itu tanpa menghiraukan kepentingan finasial mereka? Rasa-rasanya sangat tidak mungkin.
Di balik semua idealitas dan kontradiksi di atas, menarik kiranya untuk membaca proses yang terjadi dalam perspektif hegemoni terkait “budaya residual” (residual culture)[2] dan “budaya yang baru muncul” (emergent culture).[3] Dalam pemahaman ini, sebuah budaya dominan (baca: kapitalisme) yang ingin memperluas penerimaan konsensual dan kuasa hegemoniknya di tengah-tengah masyarakat bisa mengambil sebagian elemen budaya residual berupa praktik dan teks tradisional yang pernah dominan di masa lampau untuk diinkorporasi ke dalam budaya hegemonik. Di samping itu, budaya dominan juga bisa menginkorporasi budaya emergen yang berbeda dari budaya residual dan budaya dominan, sehingga akan muncul budaya hegemonik yang diyakini sebagai sebuah kebenaran dan keharusan di tengah-tengah transformasi sosio-kultural masyarakat yang semakin ‘terpasarkan’. Konsep dan praksis tersebut digunakan untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan kultural-ideologis yang eksis di masyarakat sehingga budaya dominan bisa tetap bertahan dan dianggap sebagai kewajaran karena memberikan keuntungan kepada semua pihak.
Dalam konteks industri budaya Banyuwangen, kelas pemodal memang berusaha menjadikan produk-produk seni industrial yang mereka hasilkan menjadi praktik kultural konsensual di masyarakat, sehingga akan mendatangkan keuntungan finansial. Kesenian-kesenian lokal—residual—dikomodifikasi dalam produk-produk baru yang sesuai dengan selera pasar karena memori kolektif masyarakat masih mengingat mereka. Tidak lupa pemodal juga menginkorporasi genre-genre baru, seperi musik pop Banyuwangen bernuansa hibrid yang dikembangkan oleh para seniman muda. Dengan membangun jejaring inkorporasi ini, para pemodal sebenarnya terus-menerus menggairahkan kehidupan industri budaya di tingkat lokal yang produk-produknya akan terus dikonsumsi oleh publik. Dengan demikian, mereka akan terhindar dari tuduhan terkait kapitalisasi kultural, karena realitasnya para seniman lokal juga butuh dan senang ketika masuk ke dalam mekanisme industri yang menguntungkan, sekaligus tetap menjadikan karya-karya seni mereka beredar dalam lalu-lintas kultural masyarakat.
Ketika hegemoni industri budaya bisa berjalan, maka masyarakat dengan muda masuk ke dalam jejaring peradaban pasar. Artinya, untuk bisa menikmati kesenian lokal Banyuwangi, mereka cukup mengeluarkan uang Rp. 10.000, 00 sampai Rp. 12.500, 00 dan bisa membawa VCD-VCD sesuai selera mereka, apakah lagu pop-etnik, tari, maupun drama. Ketika publik sudah terbiasa dengan mekanisme tersebut, maka dengan mudah pihak industri menciptakan genre-genre baru yang disesuaikan dengan selera dan kecenderungan pasar lokal yang, mau tidak mau, ikut terpengaruh oleh trend yang berasal dari pasar regional, nasional, maupun global. Tidak mengherankan kalau muncul dangdut koplo, disco, dan house music Banyuwangen. Pilihan-pilihan tematik lagu juga lebih terfokus pada tema-tema yang sedang populer di masyarakat seperti romantisme. Tema-tema kritis yang dulu pernah jaya pada masa Andang, Basir, maupun Mahfud, sepertinya sangat jarang ditemukan, meskipun masih ada beberapa seniman yang menciptakan tema serupa. Alasan-alasan seringkali dimunculkan ketika kritik mengarah kepada komersialisasi dan populerisasi kesenian tradisi-lokal, semisal “pasar lebih suka yang kayak gitu”, “gimana lagi, zamannya sudah seperti itu”, “masyarakat kita memang sudah berubah”, dan lain-lain. Konsekuensi-konsekuensi itulah yang harus ditanggung ketika peradaban pasar mulai berkuasa dan berjalan beriringan dengan mekanisme dan praktik industri budaya di tingkat lokal. Meskipun demikian, inkorporasi industri budaya Banyuwangen terhadap potensi budaya residual maupun emergen tidak harus dilihat dari sudut pandang yang menyalahkan para seniman-seniman yang terlibat di dalamnya, karena mereka adalah bagian integral dari masyarakat lokal-regional-nasional yang sedang mengalami transformasi dalam bidang ekonomi politik. Beberapa alasan mendasari pemikiran seminal tersebut.
Pertama, produk-produk kesenian bagaimanapun tidak bisa terlepas dari sistem ekonomi politik yang diwarisi selama tiga puluh dua tahun di negeri ini: sebuah sistem ekonomi politik “liberalisme terarah” (embedded liberalism).[4] Sistem ini memang menekankan pada kuasa pemerintah untuk mengatur aktivitas pasar dan industri, tetapi kesempatan lebih luas tetap diberikan kepada para pemilik modal besar.
Kedua, sistem ekonomi politik yang diterapkan pada periode Reformasi sebenarnya tidak jauh berbeda, bahkan lebih mengarah ke neoliberalisme[5] yang lebih banyak menyerahkan urusan perekonomian ke dalam mekanisme pasar, tanpa banyak campur tangan pemerintah. Program untuk pengembangan kesenian lokal tetap berjalan di tempat. Sebaliknya, industri budaya yang digerakkan oleh “mesin-mesin produksi modal” Jakarta semakin menggila karena kelonggaran-kelonggaran yang diberikan negara terkait penanaman investasi internasional. Televisi yang terus-menerus memproduksi budaya global hadir setiap hari di ruang keluarga. Akibatnya, masyarakat dari hari ke hari semakin familiar dengan produk-produk industri budaya “bentuk Amerika rasa Jakarta”. Masyarakat diajak memasuki era budaya konsumen dengan bayangan-bayangan ideal ketersedian barang dan jasa yang melimpah.
Ketiga, pasar menjadi standard baru peradaban yang hendak dikembangkan oleh rezim dan kekuatan-kekuatan modal berdasarkan model-model yang dikembangkan di negara-negara maju. Semua mekanisme sosial, ekonomi, politik, dan budaya, meskipun masih berada dalam pengawasan pemerintah, diarahkan pada mekanisme pasar, yang memang tidak bisa ditolak lagi, dari desa hingga metropolitan. Pasar memberikan ‘rayuan-rayuan ideologis-nya’ untuk menarik setiap orang berpartisipasi di dalamnya. Namun, untuk bisa masuk ke dalam jejaring pasar, mereka harus mempunyai modal atau skillsyang sesuai kebutuhan pasar. Kalau tidak mempunyai salah satunya, maka bisa dipastikan mereka tidak akan bisa survive karena pemerintah memberikan porsi yang semakin sedikit untuk subsidi kepada rakyat. Sangat wajar kalau penerapan ekonomi politik neoliberal meskipun belum sepenuhnya, selalu menghadirkan kontradiksi-kontradiksi dalam kehidupan sosial.[6]
Dalam settting dan konteks sosio-kultural dan ekonomi politik di ataslah, para seniman Banyuwangen berada. Bagaimanapun mereka adalah bagian integral dari transformasi sosio-kultural yang disebabkan oleh sistem ekonomi politik tersebut. Di satu sisi mereka membutuhkan uang untuk bertahan dalam budaya pasar. Di sisi lain, mereka ingin ikut menyemarakkan kehidupan kultural yang tersentral dalam tradisi pasar agar kesenian Banyuwangen tetap bisa menjadi kegemaran masyarakat di tengah-tengah semakin beragamnya pilihan produk pasar yang digerakkan dari Jakarta. Dengan kata lain, proses masukknya mereka ke sistem dan mekanisme industri merupakan siasat untuk bisa diterima pasar, sekaligus strategi untuk menegosiasikan eksistensi budaya lokal Banyuwangen. Kalau memang pada akhirnya, pop-etnis hibridlah yang lebih populer, hal itu memang bisa dibaca sebagai bentuk hegemoni industri budaya terhadap kreativitas para seniman muda. Namun, paling tidak, mereka juga berhak mengatakan tengah melakukan perjuangan kultural di tengah-tengah ambivalensi orientasi kultural mereka dan semakin maraknya industri budaya made in Jakarta di masyarakat lokal. Pembacaan secara kritis terhadap kompleksitas proses kreatif dan perjuangan para seniman musik dalam ranah industri budaya tetap harus diperhatikan, sebelum mengatakan mereka terhegemoni atau tidak terhadap kecenderungan budaya modern yang bersifat global dan mekanisme industri budaya di tingkat lokal.
Catatan akhir
[1] Paring Waluyo & Hasan Basri, “Politik dan Bisnis dalam Industri Kesenian”, http://www1.surya.co.id/v2/?p=2791, diunduh 23 Juli 2009.
[2] Budaya residual merupakan beberapa pengalaman, makna, dan nilai yang sebenarnya tidak diverifikasi atau tidak bisa diekspresikan dalam terma budaya hegemonik, meskipun hidup dan dipraktikkan pada basis residu/sisa—kultural dan sosial—dari formasi sosial sebelumnya. Budaya residual seringkali berjarak dari budaya hegemonik, tapi harus dipahami bahwa dalam aktivitas kultural yang sesungguhnya bisa saja ia diinkorporasi ke dalam budaya hegemonik. Hal ini disebabkan beberapa bagiannya, beberapa versi darinya (khususnya jika budaya residual berasal dari beberapa area utama masa lampau), akan diinkorporasi apalagi ketika budaya hegemonik membuat makna dalam area tersebut. Praktik ini terjadi karena pada titik tertentu budaya hegemonik tidak bisa membiarkan praktik dan pengalaman residual keluar dari jejaringnya. Dengan demikian, sebagian budaya residual bersifat alternatif. Lihat, Williams, 2006:137.
[3] Berbeda dengan budaya residual yang bersifat alternatif, budaya emergent (baru muncul) bersifat oposisional. Budaya emergen membawa makna, nilai, praktik, penandaan, dan pengalam baru yang diciptakan terus-menerus. Budaya dominan-efektif berusaha meng-inkorporasi-nya karena mereka adalah bagian—tetapi belum merupakan bagian yang terdefinisikan—dari praktik kontemporer. Apapun yang berpotensi mengganggu budaya hegemonik, pada dasarnya, bersifat emergen. Namun, untuk budaya emergen yang bisa ditolerir dalam makna, nilai, dan praktik budaya hegemonik, maka mereka akan di-indorporasi, tetapi bagi yang tidak bisa, mereka akan diposisikan mungkin sebagai penyimpangan ataupun mereka yang melawan. Ibid.hlm.137-138.
[4] Karakteristik utama dari liberalisme terarah adalah mendasarkan pada perspektif ekonomi politik Keynesian dengan ciri mengedepankan kontrol dan campur tangan negara dalam mekanisme pasar, perdagangan, perluasan tenaga kerja, dan peningkatan kesejahteraan rakyat (Harvey, 2007: 10-11).
[5] Neoliberalisme—modifikasi dari pemikiran liberal Adam Smith—awalnya diterapkan di Amerika Serikat dan Inggris pada era 70-an ketika pemikiran Keynesian gagal mengatasi krisis yang disebabkan oleh krisis minyak sehingga mengakibatkan permasalahan-permasalahan sosial akut seperti pengangguran dan defisit keuangan negara karena tingginya belanja sektor publik, ambruknya nilai profitabilitas, serta ambruknya sistem harga di negara-negara berkembang (Lapavitsas, 2005: 33; Clarke, 2005: 50-51). Tesis utama dari neoliberalisme—yang dikembangkan oleh para ilmuwan di Swiss, Amerika, Inggris, dan banyak negara lainnya—adalah pembebasan pasar dari bayang-bayang birokrasi, karena pembebasan tersebut bisa menjalankan roda perekonomian secara efektif serta memberikan kesempatan kepada individu untuk mendapatkan akses sebesar-besarnya terhadap pasar. Mereka yang punya kompetensi modal dan skill-lah yang akan diterima pasar dalam ranah perdagangan bebas. BUMN juga harus mulai diprivatisasi bimbingan dari sehingga bisa memunculkan kompetisi yang sehat dan tidak membebani anggaran negara, seperti yang diarahkan oleh IMF, Bank Dunia, maupun WTO. Lihat Plehwe & Walpen, 2006: 27-45; Hull, 2006: 142-154; Harvey, 2007: 22; Carroll & Carson, 2006: 52-68; Weller & Singleton, 2006: 71-85.
[6] Beberapa akibat kontradiktif dari penerapan neoliberaisme adalah pengurangan mekanisme pasar dari campur-tangan negara menjadikan penciptaan regulasi-regulasi yang mendukung beroperasinya investasi dan peningkatan usaha sektor swasta, swastanisasi BUMN, dan penegakan aturan hukum (Duménil & Lévy, 2005: 9; Palley, 2005: 20-24; Harvey, 2007: 64-87; England & Ward, 2007: 12), maupun penggerakkan pasar mikro di tingkat akar rumput (Rankin & Sakya, 2007: 48-51). Dengan model praksis ekonomi tersebut, terdapat tatanan sosial baru yang: (1) semakin memperlebar jarak si kaya dan miskin dengan akumulasi modal pada elit-elit (orang-orang terkaya) dari kelas penguasa (Gérard & Lévy, ibid; Harvey, 2007: 32); (2) memunculkan kekaisaran-kekaisaran bisnis baru yang bersinergi dengan campur-tangan negara dan lembaga-lembaga internasional (Robinson, 2006: 13-14; dan, (3) meningkatknya angka pengangguran serta kemiskinan sebagai akibat tidak tertampungnya tenaga kerja tidak ber-skill dalam pasar kerja yang mengedepankan profesionalitas serta kurangnya perhatian pemerintah pada sektor publik (Johnston, 2005: 135-148).
*Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com

Sumber: MataTimoer 

0 komentar:

Posting Komentar