Minggu, 06 Desember 2015

Kidung dari Brang Wetan: Musik Banyuwangen dalam Gerak Industri (Bagian II)

December 6, 2015 | Ikwan Setiawan*


Sumber foto YonS DD: http://musikbanyuwangi.blogspot.co.id/2011/03/yons-dd.html

Silir Angin Berhembus: Musik Banyuwangen yang Bersaing
Dalam perkembangannya, lagu-lagu pop-etnik Banyuwangen memang lebih mendapat tempat di hati masyarakat, baik di Banyuwangi maupun di kabupaten-kabupaten tetangga (Jember, Bondowoso, Situbondo, Lumajang, Probolinggo), Surabaya dan sekitarnya,[1] Malang, Blitar, maupun Bali. Bahkan lagu-lagu Banyuwangen beredar luas di internet dalam format MP3[2] maupun video pertunjukan[3] dan bisa diunduh secara gratis. Pada era 2000-an muncul para seniman musik yang relatif masih muda usianya, tetapi sangat kreatif dalam menciptakan lagu berlirik Using dan digarap dengan iringan genre musik baru, lepas dari pakem kendang kempul yang sudah populer sebelumnya. Adalah Yon D.D. dan Catur Arum yang menjadi pioneer bagi munculnya kelompok-kelompok musik yang digawangi oleh seniman-seniman muda Blambangan dalam format musik yang lebih terkesan modern, meskipun tetap tidak bisa lepas dari unsur tradisinya; sebuah formula musik hibrid. Mereka berdua dan beberapa seniman lainnya mendirikan Patrol Opera Banyuwangi (dalam perkembangannya lebih dikenal dengan POB) pada tahun 2000. Album pertama POB dengan judul Layangan, ternyata meledak di pasaran, meskipun proses pembuatannya berliku-liku. Awalnya banyak dicibir dan dikritik, ternyata genre musik yang mengkombinasikan alat-alat modern seperti gitarkeyboardbassconga dan alat-alat tradisional seperti gamelan, angklung, kluncing, maupun kenthongan dengan campuran irama bosas, blues, dan keroncong, ternyata mendapat respons yang luar biasa dari masyarakat. Dengan beberapa lagu andalan seperti Layangan, Semebyar, Telung Segoro, Mawar, Jaran Goyang, dan Tetese Eluh, penjualan album yang diedarkan oleh Aneka Safari Record tersebut sampai dengan medio 2005, menurut Indra mampu menembus angka 50.000 keping.[4] Sampai tahun 2009, penjualan album tersebut masih saja berlangsung. Sebuah angka yang cukup fantastis untuk ukuran album yang dibuat dan diedarkan di level lokal, tanpa promosi besar-besaran melalui media massa elektronik.
Meledaknya album POB, pada akhirnya, memunculkan gairah baru bagi para seniman muda Banyuwangi untuk membuat kelompok-kelompok musik yang mengkolaborasikan musik lokal dan modern. Realitas penerimaan pasar terhadap album POB menjadi pijakan dalam proses kreatif yang mereka jalani. Kelompok musik, seperti Rolas—digawangi para musisi sekolahan dari SMK Muhammadiyah Rogojampi—pada 2002 merilis album bersama dengan vokalis Adistya Mayasari yang dulunya bergabung dengan POB. Belum lagi munculnya penyanyi-penyanyi muda yang ikut menyemarakkan gebyar kesenian Banyuwangi. Popularitas lagu-lagu Banyuwangen inilah yang menjadikan penanda baru bagi lahirnya semangat lokalitas di tengah-tengah modernitas yang disiasati oleh para seniman lokal. Bahkan, lagu-lagu Banyuwangen bisa menjadi tuan rumah di wilayahnya sendiri, meskipun harus bersaing dengan popularitas band dan penyanyi ibukota.  
Peterpan pada 14 Januari menggelar konser di Banyuwangi dan mendapat sambutan publik. Tak kalah meriahnya pada 16 Januari malam di Taman Blambangan artis setempat menggelar konser amal untuk bencana tsunami. Siang harinya, para artis lokal itu diarak keliling kota dengan mengendarai mobil terbuka. Di depan mereka ada rombongan penggembira berupa puluhan motor dari penggemar motor Honda Tiger. Di antara artis yang tampil dalam konser tersebut adalah Catur Arum, Adistya Mayasari, dan Niken Arisandi.[5]
Kaum muda Banyuwangi memang menggemari lagu-lagu yang berasal dari band dan penyanyi ibukota karena gencarnya promosi, utamanya melalui media televisi. Namun demikian, hal itu tidak menjadikan mereka melupakan lagu-lagu berbahasa Using yang tidak kalah menariknya, baik dari aspek genre musik maupun isi liriknya. Diaraknya seniman-seniman lokal keliling kota, menandakan bahwa mereka juga bisa menjadi idola bagi warga Banyuwangi, utamanya kaum muda. Mereka mempunyai kualitas vokal dan musik yang bisa diadu dengan aransemen dan komposisi yang dilahirkan oleh musisi Jakarta. Mereka juga bisa meniru, menggunakan, dan menyiasati praktik kultural dari industri hiburan, seperti artis diarak keliling kota sebelum pertunjukan, untuk mempertegas eksistensi mereka di tengah-tengah masyarakat Blambangan.
Lapak-lapak penjual VCD yang biasanya menjual VCD bajakan dari band-band ibukota (meskipun tentu ada juga yang asli), mulai dibanjiri VCD-VCD Banyuwangen yang setiap bulan bisa memproduksi beberapa album baru. Menariknya para pedagang tidak ada yang menjual VCD bajakan, meskipun pada awal-awal POB keluar, VCD bajakannya sempat beredar. Kondisi itu tidak hanya terjadi di lapak-lapak penjual di Banyuwangi, tetapi juga di Jember, Lumajang, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Surabaya, bahkan sampai Lamongan. Dari pengamatan penulis di Banyuwangi dan Jember, diketahui bahwa lapak-lapak tersebut mayoritas memang lebih banyak memajang lagu-lagu Banyuwangen dari bermacam genre musik, tetapi ada juga kesenian-kesenian lokal yang dipajang, seperti gandrung, kuntulan, kundaran, pacul gowang, angklung, jaranan, dan lain-lain.
Dinamika industri kesenian dan respons positif penikmat, semakin memperluas perspektif dari para pengusaha rekaman untuk memproduksi genre-genre musik baru yang meniru dari genre-genre musik yang populer, seperti house music dan disco. Popularitas dangdut koplo dan rock-dangdut yang diawali oleh Orkes Melayu Monata, Palapa, maupun Sera, juga menimbulkan inspirasi untuk memunculkan rock-dangdut Banyuwangen yang dimulai dengan terbentuknya Denata. Semua lagu yang dibawakan dalam genre musik tersebut adalah lagu-lagu Banyuwangen, baik yang berasal kendang kempul maupun ciptaan para musisi muda, seperti Yon, Catur, maupun Koming.
Apakah realitas kultural di atas menunjukkan terhegenominya kesenian Banyuwangen—utamanya lagu—oleh musik yang dipopulerkan oleh band dan penyanyi Jakarta? Apakah kondisi itu bisa membahayakan eksistensi kesenian dan budaya Banyuwangen di masa mendatang karena unsur lokalitasnya tinggal terletak pada lirik dan nada Using-nya saja? Apakah para seniman Banyuwangen tidak punya kemampuan untuk lebih memperkuat kesenian dan budaya lokal tanpa harus meniru kesenian global dan metropolitan? Ataukah, jangan-jangan para seniman Banyuwangen tengah menjalani siasat kultural untuk terus menegosiasikan gagasan dan ekspresi kulturalnya dalam konteks modernitas saat ini? Bagaimana negosiasi yang mereka lakukan dalam industri budaya dan bagaimana produk-produk yang tercipta? Pertanyaan-pertanyaan yang lahir dari realitas kesenian dan industri budaya di Banyuwangi bisa dijelaskan secara komprehensif dengan menggunakan perspektif globalisasi kulturalhegemoni kulturalkontra-hegemoni, hibridisasi kulturalkreativitas lokal, negosiasi lokalitas, dan politik identitasyang menjadi terma-terma spesifik kajian industri kreatif dalam kerangka global-lokal dengan perspektif cultural studies dan postcolonial studies. Alasan utama menggunakan perspektif tersebut adalah bahwa apapun yang dilakukan oleh para seniman Banyuwangen, utamanya seniman musik, dalam mekanisme industri budaya merupakan bentuk respons terhadap pengaruh budaya dari luar yang semakin gencar saat ini. Dalam konteks tersebut, mereka bisa saja terhegemoni, melawan, maupun bermain-main di ruang antara ambivalen untuk menegosiasikan lokalitas Banyuwangen.
Hibridisasi Kultural dan Negosiasi Lokalitas dalam Musik Pop Banyuwangen
Sejarah panjang industri rekaman di Banyuwangi dan hibridisasi kultural yang berlangsung dalam masyarakat, telah menjadi medan penyemai bagi munculnya para seniman muda yang secara sadar dan kreatif berusaha menciptakan genre-genre musik baru untuk ikut mewarnai dinamika kultural masyarakat. Mereka adalah para seniman muda yang lahir dari tradisi hibrid sebagai akibat pertemuan modernitas yang dibawa budaya global dan kekuatan budaya lokal yang didominasi oleh tradisi-lokal Using. Kesadaran untuk memahami karya musikal sebagai bagian dari industri budaya yang sedang berkembang, menjadikan mereka menyusun strategi dan rencana, menciptakan konsep, dan memproduksi lagu yang layak jual sehingga mampu menghasilkan keuntungan finansial yang sekaligus ikut pula dirasakan oleh mereka yang terlibat dalam proses produksi dan distribusi. Di samping itu, kreativitas mereka telah menjadi penanda bagi lahirnya kekuatan lokalitas Banyuwangen yang tidak hanya didominasi oleh mereka yang memposisikan diri sebagai seniman lokal dan budayawan, tetapi juga diwarnai oleh para seniman muda yang melalui industri budaya, ternyata semakin memperluas pemahaman terhadap budaya Banyuwangen dan beragam variannya di tengah-tengah masyarakat, baik di internal maupun di eksternal Banyuwangi. Berdasarkan realitas tersebut, perlu kiranya di-break downbeberapa isu terkait kreativitas para seniman muda, seperti Yon D.D., Koming, Catur Arum, dan Adistya Mayasari. Beberapa isu kreativitas tersebut antara lain: (1) pergulatan proses kreatif; (2) proses masuknya mereka ke dalam industri budaya dan pengaruh mekanisme industi terhadap kreativitas; (3) pengaruhproduksi lagu-lagu Banyuwangen terhadap dinamika kebudayaan lokal; dan, (4) siasat mereka dalam menghadapi hegemoni industri budaya dan menegosiasikan budaya lokal.
1. POB dan Genre Baru Musik Banyuwangen: Perjuangan dan Tantangan Menuju Industri Budaya
Banyuwangi memang tidak pernah sepi dari para seniman pencipta lagu. Ketika efek diskursif berupa stigmatisasi terhadap para pencipta lagu yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan Lekra, kekhawatiran akan mandegnya kreativitas musikal di bumi Blambangan sangat mungkin muncul. Pun demikian dengan maraknya pengaruh budaya global yang dari hari ke hari semakin menyesaki kehidupan warga Banyuwangi. Nyatanya, para seniman Banyuwangen memang tidak bisa dihalangi untuk muncul dan berkembang di wilayah yang subur ini. Mereka, dengan semangat zaman yang semakin modern, melakukan proses kreatif dalam konteks dan motivasi yang mungkin berbeda dengan para musisi senior, seperti Arif, Andang, Basir, dan Mahfud. Namun, yang patut diacungi jempol adalah kegigihan mereka dalam memformat ulang kekayaan tradisi-lokal Banyuwangen dalam bentuk yang lebih modern, sehingga negosiasi identitas kultural lokal tetap bisa berlangsung. Menariknya lagi, para seniman tersebut jarang yang mengenyam pendidikan musik secara formal, sehingga karya yang mereka lahirkan memang berasal dari proses panjang kehidupan kreatif yang mereka jalani secara otodidak dengan berdasar pada pengalaman-pengalaman bermusik di tingkat lokal serta pahit dan getir kehidupan itu sendiri.
Salah satu nama yang patut disebut dalam deretan para seniman pencipta lagu di Banyuwangi pada era 2000-an adalah Yon’s DD. Pria berusia 46 tahun, berperawakan kurus, dan perokok berat ini menjadi pioner lahirnya genre musik pop Banyuwangen yang sekarang banyak digemari. Mengapa demikian? Karena dari tangan dinginnyalah POB, sebuah kelompok musik yang mengusung musik campuraduk—tradisi dan modern—lahir dan menjadi inspirasi lahirnya kelompok-kelompok baru bergenre serupa. Meskipun dia tidak pernah belajar di sekolah musik maupun di institut kesenian, pengalaman hidup dan proses belajar otodidak telah menjadikannya berani berkarya, menembus batas-batas ketradisian masyarakatnya, meskipun tidak pernah meninggalkannya. Dengan menggandeng seniman muda lainnya, seperti Catur Arum dan Adistya Mayasari, dia berhasil menjadikan musik pop Banyuwangen sebagai salah satu ikon pertumbuhan industri kreatif bidang musik di tanah Blambangan.
Di rumahnya yang sederhana, di Kampung Lateng Banyuwangi, siang itu sembari menikmati rokok kretek kesukannnya, ia menuturkan pengalaman hidupnya dalam bermusik.
“Saya lahir di Banyuwangi 46 tahun yang lalu. Tamatan SMA tahun 1976, sempat kuliah dua semester, tidak selesai. Ketika kelas 3 SMP saya sudah terlibat dalam dunia musik, meskipun hanya sebatas pada setting alat dan angkat-angkat sound system. Pada 1984, saya ikut jadi pemain, tepatnya memegang tamborin, sekaligus mulai menulis lagu, tapi tidak ada yang selesai, utamanya bagian akhirnya. Karena sebuah kejadian, pada 1986 saya merantau ke Kalimantan. Di sana masuk ke perusahaan playwood. Bisa masuk, lagi-lagi juga karena musik. Saya bergabung dalam kelompok musik yang ada dan memegang guitar bass. Tahun 1988, saya diterima jadi PNS di Sulawesi Utara. Tahun 1990, keluarga meminta salah satu dari kami (saya dan adik saya) untuk pulang ke Banyuwangi. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang dan adik saya tetap meniti karir di Sulut. Tahun 1990 saya tidak punya pekerjaan tetap di Banyuwangi, akhirnya bergabung lagi dengan salah satu kelompok musik rock dangdut. Salah satu penyanyi dalam kelompok saya waktu itu adalah Nini Carlina (penyanyi dangdut Banyuwangi yang hijrah ke Jakarta yang terkenal dengan lagunya Gantengnya Pacarku). Sembari bermain musik saya tetap menulis lagu.” (Wawancara, 20 Juli 2009)
Tuturan Yon’s tentang tukang menata setting alat dan angkat sound menandakan kegigihannya untuk melakukan apa saja untuk mencari pengalaman dalam dunia musik. Untuk siswa SMP kelas 3, menjadi pekerja kasar mungkin tidak akan dilakukan ketika keluarga mereka berkecukupan. Bagi Yon, menjadi pekerja kasar hanyalah langkah awal untuk bisa belajar alat musik, sehingga ia bisa mendapat kebercayaan memegang tamborin dan selanjutnya gitas bass. Peristiwa tersebut, sekaligus menggambarkan bahwa Yon menjalani proses kreatif bermusiknya benar-benar dari nol, dari dunia panggung, bukan dari bangku akademis. Keberaniannya untuk merantau ke luar Jawa, Kalimantan dan Sulawesi Utara, menunjukkan kerasnya kehidupan yang harus ia alami. Kerasnya pengalaman hidup itulah yang kelak menjadikannya kuat dan bertahan di tengah-tengah perjalanan karirnya dalam bidang musik.  
Sebagai musisi yang sudah merasakan hingar-bingar panggung rock dangdut, Yon berusaha untuk tidak sekedar menjadi musisi. Menciptakan lagu adalah salah satu proses yang tetap ia geluti. Dalam menulis lagu, Yon mengakui bahwa lagu-lagu lama Banyuwangen, seperti yang diciptakan oleh Andang (kebetulan masih pamannya) maupun Basir, menjadi inspirasinya. Sementara dari musisi nasional, Gombloh menjadi idolanya, meskipun tidak pernah punya kasetnya dan hanya mendengarkan lagu-lagu Banyuwangen berirama kendang kempul dan pop nasional dari radio (Wawancara, 20 Juli 2009). Pernyataannya tentang kegemarannya pada lagu-lagu Banyuwangen dan Gombloh[6] menandakan bahwa Yon dan juga kaum muda Banyuwangi pada era 70-an dan 80-an berada dalam ruang antara kebudayaan. Di satu sisi, mereka tetap menggemari lagu-lagu berirama tradisi-lokal yang diaransemen dalam bentuk angklung, Melayu, dan kendang kembul, tetapi di sisi lain, mereka juga sudah terbiasa mendengarkan lagu-lagu pop nasional yang pada waktu itu sedang berjaya. Kedirian kultural seorang Yon yang berada di ruang antara itulah yang kemudian mempengaruhi karya kreatifnya.
Karena sudah menciptakan beberapa lagu yang belum di rekam dan dorongan bermusiknya yang begitu kuat, maka ia mengumpulkan beberapa seniman muda untuk diajak membentuk kelompok musik.
“Tahun 2000, saya mengumpulkan beberapa teman musisi, termasuk Catur untuk berproses membuat lagu-lagu Using. Catur merasa tidak ada teman untuk menyanyikan lagu-lagu daerah, yang sering yang di daerah saya, akhirnya Catur ke sini. Akhirnya lahir POB. Jadi markasnya POB ya di Lateng, mulai proses awal sampai berangkat rekaman. Karena Catur sendiri tidak punya banyak lagu, saya juga tidak punya banyak. Akhirnya ya punya saya dan dia kita gabung. Akhirnya saya mencoba merekam lagu-lagu yang dimainkan. Pada waktu itu tidak angklung tidak ada saron, tidak ada alat tradisionalnya sama sekali. Saya rekam tidak di studio, jadi direkam biasa sekedar arsip.” (Wawancara, 20 Juli 2009)
Setelah proses latihan dimulai, akhirnya diputuskan untuk membuat genre musik baru pop Banyuwangen yang menggabungkan alat-alat tradisional dan modern, tetapi tetap menggunakan Bahasa Using. Adapun motivasi Yon dan kawan-kawan melakukan kolaborasi alat adalah untuk tampil beda sehingga bisa menjadi daya tarik bagi penikmat musik di Banyuwangi karena kalau mengikuti arus kendang kempul, maka di atas kertas mereka akan kalah oleh para penyanyi senior seperti Sumiati yang sudah sangat terkenal (Wawancara, 20 Juli 2009).
Kegigihan POB dalam bermusik terlihat jelas ketika mereka mulai merambah jalur industri untuk memproduksi dan memasarkan lagu-lagu mereka. Dengan konsep musik kolaboratif yang melawan arus besar kendang kempul, tentu saja mereka berhadapan dengan masalah karena bagi para produser musik mereka sangat eksperimental sehingga terlalu beresiko untuk dipasarkan. Masalah lain yang mereka hadapi adalah realitas bahwa mereka belum terkenal sebagai musisi dan penyanyi. Yon menuturkan:
“Akhirnya saya keliling-keliling menawarkan lagu-lagu tersebut. Sampai juga ke Jakarta melalui seorang temen, tapi ndak ada yang tembus. Ndak tembus karena semua produser dan perusahaan rekaman waktu itu mengatakan mau menerima lagu-lagu tersebut tapi yang nyanyi dan nggarap musiknya bukan saya dan Catur serta kawan-kawan POB. Sementara saya kepingin yang menggarap lagu ini dan juga yang menyanyikan adalah kami. Saya juga ke Sumiati, dia mau menerima dengan catatan semua penggarapan musik kami berdua tidak ikut campur. Pertimbangan mereka kami belum punya nama maka tidak akan laku. Di tengah-tengah perjalanan ada seorang yang masuk, melihat kita latihan, lalu dia berminat untuk membiayai proses kami sampai rekaman, dengan tidak ada hitam di atas putih sama sekali. Karena ada yang membiayai, saya mengambil keputusan, minimal musiknya harus berbeda dengan yang ada. Saya memotivasi penyanyi yang ada, Catur dan Adis. Saya beri alasan kedua penyanyi ini untuk berbeda dari penyanyi yang lain, baik dari cara menyanyi, cengkok, maupun cara mengambil suara. Kami mengambil langkah mencampuradukkan musik tradisional dan modern. Pertimbangan utamanya, saya ingin tampil beda. Karena menurut saya, dengan itu orang akan sedikit kaget, bisa jadi mereka suka bisa jadi mereka tidak suka.” (Wawancara, 20 Juli 2009)
Meskipun awalnya ditolak karena kurang terkenal dan garapan musik kolaboratif terlalu beresiko, tetapi pilihan tegas untuk mempertahankan konsep bermusik dan penyanyi yang memang sudah mereka setting, ternyata menjadi ujian konsistensi dalam berkarya. Sehingga akhirnya muncul seorang produser asal Banyuwangi yang menetap di Jakarta yang bersedia membiayai proses produksi dan masteringalbum POB.
Dalam penggarapan album, para anggota POB harus mengalami perjuangan yang luar biasa, tetapi mereka sangat menikmatinya. Dalam ungkapan Yon: “Pada waktu itu penggarapannya sangat nikmat sekali. Satu not yang kita mainkan sangat berarti. Saya yang menciptakan melodi-melodi waktu itu, meskipun saya tidak tahu banyak tentang ilmu gitar” (Wawancara, 20 Juli 2009). Sementara Adistya Mayasari, salah satu penyanyi POB selain Catur Arum, menjelaskan pengalamannya ketika penggarapan album sebagai berikut:
“…tahun 2001 saya gabung dengan POB (yang dipandegani Mas Yon dan Catur)… Ketika saya bergabung dengan POB, sebenarnya itulah awal perjuangan saya. Bagaimana tidak, waktu itu kami membuat master di Jakarta selama 1 bulan, mana keadaan waktu itu lagi banjir lagi. Dalam proses pembuatan master itu, enginer-nya sampai mengejek kami, karena membawa alat musik tradisional, seperti saron dan angklung. Dia bilang, “besi tua” kok dibawa ke studio, mana bisa?” Karena orang studio sudah terbiasa dengan lagu-lagu pop modern, maka kami harus nyetem alat-alat tradisional di studio, mencocokkan dengan alat-alat modern, seperti gitar, bass, keyboard, dll. Sampai-sampai kami harus menipiskan salah satu bilah angklung di studio agar bisa stem.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Ejekan-ejekan oleh para engineer di Jakarta, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi POB. Sebagai musisi daerah mereka harus berhadapan dengan para engineer yang sudah biasa menangani musisi-musisi ibukota yang tidak pernah menggunakan alat musik tradisional dalam album komersil. Sekali lagi, ujian untuk konsistensi mereka harus berhadapan dengan kecenderungan umum industri musik yang sudah melupakan musik tradisi-lokal. Toh, akhirnya mereka tetap bertahan sampai penggarapan album tersebut selesai dengan judul Layangan.
Ketika album Layangan beredar di pasaran (yang mengedarkan waktu itu Aneka Safari Record), banyak pihak yang memandang sinis dan kurang menghargai. “Semua musisi Banyuwangi pada waktu itu bersuara sumbang, di tambah kaset belum laku, dan baru laku setelah enam bulan”, tutur Yon (Wawancara, 20 Juli 2009). Adistya menambahkan:
“Waktu album POB keluar pertama kali di Banyuwangi, banyak yang menolak dan bahkan mengejek. Mereka bilang musik kayak gembreng. Saya bisa memaklumi karena mereka memang sudah terbiasa mendengar dan menikmati lagu-lagu kendang kempul. Nah, musik kami itu kan waktu itu terdengar asing, tidak familiar, sehingga mereka kurang menyukai. Tapi, waktu berjalan, lama-kelamaan masyarakat bisa menilai bahwa lagu-lagu yang dibawakan POB itu memang beda dan menarik. Akhirnya album kami meledak.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Menjadi wajar kalau musisi Banyuwangen yang sudah mapan dengan kendang kempul menganggap musik yang diusung POB sebagai musik gembreng (kaleng, pen). Mengapa? Karena mereka selama ini sudah terbiasa memainkan dan menyanyikan lagu-lagu Banyuwangen dengan kendang dan kempul yang menonjolkan irama rancak sebagai ciri khas musik dangdut Banyuwangi, tanpa menggunakan gamelan. Sementara, musik yang diusung POB menggabungkan gamelan (saron), angklung, kenthongan, kluncing, gitar, conga, bass cethol, dan keyboard, menghasilkan irama yang menyerupai keroncong, bosas, dan blues. Sebenarnya musik POB lebih terasa nuansa etnisnya dibandingkan dengan kendang kempul. Tapi karena musik mereka cenderung lebih lembut, maka masyarakat membutuhkan waktu sekitar enam bulan untuk bisa menikmati dan memberi apresiasi album Layangan.
Keyakinan dan ketegasan pilihan dalam mengusung genre patrol opera dalam bermusik dan menggarap lagu merupakan resep sukses dari POB dalam blantika musik Banyuwangen. Prinsip untuk memberikan “musik yang berbeda” di tengah-tengah popularitas kendang kempul, merupakan strategi yang lazim dalam industri kreatif. Ketika pasar sudah penuh dan jenuh dengan kendang kempul, kehadiran POB dengan genre musik gembreng-nya ternyata mampu menjadikan penikmat musik Banyuwangen ‘terhenyak’ untuk meluangkan waktu sekedar menikmati lagu-lagu mereka. Sampai akhirnya album tersebut meledak, apalagi ketika dibuat format VCD-nya. Dalam format VCD tersebut dibuat video-video klip yang tidak kalah dengan buatan PH Jakarta. Video klip yang ditampilkan juga variatif dan tidak monoton dari satu lagu dengan lagu lainnya. Kontekstualisasi tematik dengan isi lagu menjadi pertimbangan khusus bagi kru POB untuk membuat video klip. Misalnya, dalam lagu Layangan, video klip yang ditampilkan mengingatkan masyarakat, baik generasi muda maupun tua, tentang permainan layang-layang yang sangat populer si seluruh tanah air, termasuk Banyuwangi. Sementara dalam lagu Semebyar yang dinyanyikan Adistya, video klip dipenuhi dengan gambar Adis yang tengah menunggu dan berharap kedatangan kekasihnya karena berita tentang pernikahan mereka sudah tersebar kemana-mana (semebyar dalam Bahasa Using). Menariknya, semua klip yang ada dalam album itu disutradari oleh Yon karena dia juga mempunyai pengalaman berteater sehingga untuk mengarahkan adegan dan cerita dalam video klip album, tidak terlalu sulit (Wawancara, 20 Juli 2009).
Di samping keyakinan untuk mengusung genre musik baru dalam tradisi musik Banyuwangen serta narasi menarik dalam video klipnya, POB juga mengusung lagu-lagu dengan ragam tema yang semakin memperkaya muatan dan mutu musikalitas mereka. Sama seperti yang dilakukan oleh para pencipta lagu senior seperti Andang, Mahfud, Fatrah Abal, maupun Basir, Yon dan Catur—sebagai pencipta sebagian besar lagu dalam album Layangan—juga mengusung beberapa tema andalan dalam lagu mereka, antara lain: (1) cinta dan kisah romantisnya, (2) kritik sosio-kultural, (3) kehidupan rakyat kebanyakan dan pesona alam bumi Blambangan, dan (4) eloknya budaya Banyuwangen. Lagu Layangan, misalnya, secara tekstual memang berisi tentang bagaimana orang memainkan beragam bentuk, gambar, dan warna layang-layang. Namun secara interpretatif, lagu tersebut, sebagaimana dijelaskan Andang, merepresentasikan “perbedaan—baik politik, sosial, dan kultural—sebagai realitas yang tidak bisa ditolak karena setiap orang dan masyarakat memang terlahir untuk berbeda. Perbedaan inilah yang harus dihargai, bukannya ditakuti. Meskipun beda, manusia tetaplah bersaudara” (Wawancara, 1 Agustus 2009). Sementara, lagu Gandrung Blambangan, dengan video klip pentas tari Gandrung, dengan jelas mengekspresikan bagaimana tari rakyat ini sangat populer di masyarakat, termasuk menampilkan aturan-aturan dalam menarikan tari pergaulan ini. Sedangkan lagu Telung Segoro, menggambarkan bagaimana seorang laki-laki yang mencari kekasih hatinya sampai harus menyeberangi tiga lautan, tetapi tidak juga berhasil menemukannya.
Dari album Layangan terdapat sebuah lagu, Tetese Eluh, yang cukup populer karena liriknya yang begitu melo, melas, dan nelongso, sehingga banyak orang menganggap lagu itu tentang seorang laki-laki yang setiap hari hanya bisa menangis sampai harus kehabisan airmata karena ingin bertemu dengan sang kekasih. Wajar kalau penikmat berasumsi kalau lagu itu semata-mata tentang cinta dan romantismenya, karena dalam video klip yang ditampilkan cuma sekelompok laki-laki dan penyanyi bermuka muram. Kalau saja video klip hasil shooting yang disutradari oleh Yon tidak dihapus, maka penikmat akan punya asumsi yang berbeda jauh. Yon menceritakan:
“Saya tidak tahu berapa Aneka Ria Safari membeli masternya POB, saya tidak tahu menahu. Begitu keluar, ada gambar-gambar yang seharusnya muncul dalam album tidak muncul. Karena produser ketakutan dengan gambar-gambar yang kami buat, karena dianggap membahayakan. Yakni lagu Tetese Eluh, gambarnya sudah berubah semua. Kebetulan saya yang menyutradarai semua, karena temen-temen menganggap saya bisa karena lama bermain drama. Di lagu itu sebenarnya ada gambar-gambar tentang pemberontakan 1948, 1965, penembakan misterius, dan peristiwa Ninja. Sebenarnya lagu itu bukan lagu romantis, meskipun secara tekstual terkesan romantis. Lagu itu sebenarnya tentang tragedi sejarah berdarah yang terjadi pada bangsa ini. Saya ingin mengingatkan banyak orang agar tragedi itu tidak lagi terjadi dalam kehidupan bangsa ini. Waktu itu sebenarnya saya memunculkan gambar Petrus dan Ninja. Syairnya terkesan melo, karena saya sesuaikan dengan suasana sekarang, makanya saya buat syair tragedi menjadi terkesan romantis. Seandainya gambar-gambar yang saya bikin tidak dipotong, saya yakin semua orang akan cepat mengingat peristiwa lagu-lagu itu. Saya kecewa, dan saya tidak pernah melihat VCD tersebut? Karena rasa dalam batin saya tidak bisa menerima … (Mas Yon menangis terisak). Lagu itu sebenarnya mengingatkan banyak orang yang kehilangang orang-orang yang hilang karena peristiwa itu, bisa istrinya, anaknya, ibunya, saudaranya. Makanya itu tentang kesedihan yang luar biasa bagi mereka, sehingga muncul lirik, sedino-dino mung nangis gawene, sampai tidak keluar airmatanya tetapi mereka tetap menangis. Untuk reff-nya baru saya jawab kenapa dia menangis, kepingin seru ketemu nong kembang hang bisa ngudang atine. Bunga itu bisa bapak, ibu, temen, kekasih, karena kepingin ketemu orang yang dibawa kejadian itu yang tidak pulang hingga sekarang. Kalau hidup di mana dia, kalau mati di mana paesannya. Kalau pakai kata kuburan, berarti ada tempat makamnya. Karena tidak diketahui itu makamnya atau apakah ia masih hidup maupun mati, makanya dibuat paesan. Kalau gambar-gambar yang saya maksudkan dimunculkan, maka orang-orang akan cepet nangkep maksud sebenarnya.” (penekanan oleh penulis, Wawancara, 20 Juli 2009)
Luka mendalam yang dialami oleh korban maupun anggota keluarga mereka dalam peristiwa berdarah seperti Peristiwa Berdarah Madiun (1948), G 30 S, Petrus, dan Ninja jelas menjadi inspirasi terciptanya lagu tersebut. Dalam lagu tersebut, Yon lebih memilih mengambil sisi keluarga korban yang harus terpisah dan dipisahkan oleh orang-orang yang mereka cintai (disimbolisasikan dengan kembang/bunga). Mereka tidak tahu lagi di mana para korban itu berada, baik kalau masih hidup atau sudah meninggal. Betapa sedih mereka sampai harus menangis setiap hari sehingga airmata mengering.
Lagu Tetese Eluh dengan jelas memperlihatkan keberpihakan para seniman muda Blambangan terhadap isu-isu kemanusiaan yang masih hangat di tengah-tengah masyarakat. Mereka ingin menyampaikan pesan bahwa tragedi berdarah tidak seharusnya terjadi lagi di Indonesia karena hanya menyisakan penderitaan bagi rakyat. Sayangnya, pesan kritis dan humanis yang hendak mereka sampaikan karena video klip mengalami sensor dari pihak distributor yang merasa ketakutan kalau klip-klip tersebut diloloskan. Stigmatisasi terhadap Peristiwa 65 menjadi pertimbangan utama usaha penyensoran tersebut. Rupa-rupanya masih ada ketakutan berlebihan dari pihak industri dan juga birokrasi terhadap pengungkapan kembali kasus 65, meskipun hanya dalam bentuk lagu. Dari kasus tersebut, bisa diinterpretasikan bahwa ketakutan terhadap efek Peristiwa 65 masih bercokol dalam memori kolektif birokrat maupun pihak industri kreatif di Banyuwangi. Kondisi ini sangat disayangkan karena dalam iklim keterbukaan saat ini, seharusnya segenap elemen masyarakat Banyuwangi harus berani membuat revisi terhadap sejarah kelam yang menimpa apara seniman Banyuwangen karena diduga terlibat dalam Lekra dan Peristiwa 65. Kalau usaha tersebut tidak pernah muncul, maka masyarakat Banyuwangi akan tetap berada dalam bayangan dan beban masa lampau serta tidak mampu lepas dari stigmatisasi yang melekat.
Meskipun terbilang hanya berusia dua tahun (berdiri tahun 2000 dan tidak pernah berkumpul lagi tahun 2002), kehadiran dan popularitas POB dalam blantika industri musik Banyuwangen, telah membukakan mata para seniman muda dan senior Blambangan bahwa untuk bisa mengisi dan mewarnai dinamika kebudayaan tidak harus dengan bersikap pakem minded dan menolak masuknya unsur-unsur modern. Sebaliknya, keterbukaan yang bersifat adaptif, menjadikan para seniman muda bisa berkreasi dalam ruang dan praktik hibridisasi yang menghasilkan format baru, musik hibrid. Musik hibrid tersebut tidak harus meninggalkan keragaman musik lokal dan tidak juga menolak dinamika musik modern, tetapi meramunya menjadi suguhan yang berbeda sehingga masyarakat penikmat bisa tertarik dan membeli album yang diproduksi. Para seniman yang tergabung dalam POB telah memberi pelajaran berharga bahwa untuk bisa diterima pasar, bukan berarti harus ikut ke dalam arus pasar, tetapi bisa melawan dengan produk-produk baru sembari menciptakan pasar baru. Di samping itu semua, “kegigihan dan prinsip tidak mudah menyerah” menjadi kunci penting untuk bisa menaklukkan kerasnya kompetisi dalam industri musik yang saat ini sudah menjadi pilihan profesi para seniman muda. Masalahnya, apakah seniman-seniman muda pasaca-POB mempunyai kegigihan serupa? Atau, jangan-jangan mereka sekedar menuruti keinginan para pemodal industri budaya? Tentu pertanyaan-pertanyaan tersebut membutuhkan pembacaan lebih lanjut.
Catatan akhir
[1] Popularitas kendang kempul di wilayah sekitar Surabaya, seperti Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, dan Lamongan tidak lepas dari peran Orkes Melayu beraliran koplo, seperti MonataNew Pallapa, dan Sera,yang menampilkan lagu-lagu Banyuwangen terkini dalam pagelaran mereka.
[2] Ketika penulis mencari di situs 4Shared.com dengan kata kunci “Kendang Kempul”, muncul 215 item lagu Banyuwangen dalam format MP3. Lagu-lagu yang bisa diunduh berasal dari bermacam genre, seperti kendang kempul, dangdut koplo, maupun pop etnik. (Diakses 18 Januari 2009, jam 07.45 WIB). Itu belum di situs-situs lain.
[3] Video pertunjukan lagu-lagu Banyuwangen, terutama yang berformat dangdut koplo, bisa diakses dari Youtube dan situs-situs lain dengan kata kunci “video kendang kempul”.
[4] Lihat “Banyuwangi Bernyanyi Sendiri”, Rubrik “Kehidupan”, Kompas, 13 Pebruari 2005.
[5] Ibid.
[6] Pada era 80-an Gombloh menciptakan musik pop yang bertema komedi, kritik sosial, dan patriotisme. Beberapa lagunya yang cukup terkenal antara lain: Apel, Kau Gantungkan Cintaku (Di Radio), dan Gebyar-gebyar.

*Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com

Sumber: MataTimoer 

0 komentar:

Posting Komentar