December 6, 2015 | Ikwan Setiawan*
Sumber foto Catur Arum: https://newhitzmp3.files.wordpress.com/2010/02/keroncong.jpg
Beberapa Permasalahan yang Mengganjal
Ketika para seniman lagu Banyuwangen mampu menegosiasikan gagasan kultural ke dalam moda industri kreatif, keuntungan secara kultural dan finansial memang tidak bisa dipungkiri. Namun demikian, popularitas lagu-lagu Banyuwangen dalam bentuk VCD maupun kaset, bukan berarti tidak menyisakan masalah-masalah yang terlihat sepele, tetapi sebenarnya berpotensi menjadi serius di kemudian hari. Di antara permasalahan tersebut adalah (1) persoalan royalti yang tidak ada dalam industri musik Banyuwangen, (2) genre musikal yang cenderung mengikuti kepentingan industri, sehingga mengurangi kemampuan eksploratif dari keberagaman budaya lokal dalam komposisi musikal Banyuwangen, dan (3) tidak adanya perhatian dari pemerintah. Kedua permasalahan tersebut perlu ditelaah secara kritis guna memberikan masukan kepada pengembangan industri musik di Banyuwangi.
1. Ketika Royalti untuk Hak Cipta Digantikan Biaya Pakai
Dalam industri kreatif, isu tentang royalti memang seringkali menjadi permasalahan. Seringkali terdengar konflik baik antara seniman dengan seniman atau seniman dengan pihak produser. Konflik yang sering terjadi terutama menyangkut kesesuaian jumlah royalti yang harus diterima oleh pencipta lagu ketika lagu mereka direkam dan diedarkan oleh pihak perusahaan rekaman ataupun terkait dengan digunakannya lagu mereka oleh penyanyi dalam momen di luar album. Mengapa royalti menjadi penting? Karena ia berkaitan langsung dengan pemberian keuntungan finansial terkait hak cipta yang menjadi milik sah dari seorang pencipta. Ketika keuntungan finansial tersebut tidak diberikan kepada pemegang hak cipta sebagai kreator dari sebuah ciptaan, maka di situlah awal terjadinya konflik.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2002, Bab I Pasal 1 dijelaskan beberapa terminologi yang penting untuk dipahami dalam konteks hak cipta atas ciptaan yakni: (1) Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi; (3) Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra; (4) Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut; (5) Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain; (6) Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer. Pembuatan undang-undang ini jelas dilandasi oleh keinginan negara untuk melindungi dan menghargai hak-hak eksklusif yang melekat pada diri seorang pencipta atas ciptaannya yang diproduksi dan disebarluaskan oleh pihak lain, termasuk dalam hal ini pihak industri.
Tentu saja, niatan luhur di balik undang-undang ini adalah untuk memberikan keuntungan secara material kepada pencipta yang ciptaanya diproduksi dan diedarkan secara massif oleh industri. Dalam level nasional, penerapan undang-undang ini tentu memberikan keuntungan berupa royalti yang diperoleh oleh pencipta lagu, misalnya, dari ciptaan mereka yang dinyanyikan secara grup atau solo dan diedarkan oleh major label, seperti Sony Music, Musica Studio, Warner Music, dan lain-lain. Sangat wajar kalau Ahmad Dani, misalnya, menjadi kaya raya dari pekerjaan menciptakan lagu karena lagu-lagunya laris-manis di pasaran. Sayangnya, pencapaian-pencapaian finansial dari karya atau ciptaan, tidak sepenuhnya dirasakan oleh para pencipta lagu di level lokal, seperti Banyuwangi, sehingga tidak semua pencipta lagu bisa menikmati keuntungan ekonomi secara maksimal dari ciptaan mereka.
Meskipun berada dan berproses di level lokal, bukan berarti para pencipta lagu Banyuwangen tidak mengerti royalti yang harus mereka peroleh dari lagu-lagu mereka yang direkam dan diedarkan oleh pihak rekaman. Sayangnya, belum ada pemahaman konsensual di antara para seniman musik tentang signifikansi royalti dari hak atas ciptaan mereka, karena pertimbangan-pertimbangan personal yang terlalu kuat. Akibatnya, pihak industri juga masih enggan untuk menerapkan sistem royalti untuk setiap produksi yang mereka lakukan. Tentang permasalahan tersebut Adis memaparkan:
“Persoalan royalti bagi pencipta lagu memang menjadi pikiran saya sejak di POB. Kalau pencipta lagu bisa mendapatkan royalti tentu saja kesejahteraan mereka semakin meningkat. Namun, waktu itu kawan-kawan kurang merespons. Ya, saya diam saja. Nah, waktu dengan Rolas, saya mengusulkan untuk menggunakan sistem royalti bagi penjualan album yang sudah dibuat. Awalnya, mereka sepakat, tetapi ujung-ujungnya tidak sepakat karena dianggap hanya menimbulkan keruwetan dalam hal pembayaran. Sampai sekarang tidak ada dukungan dari kawan-kawan seniman, Dinas terkait, apalagi produser. Produser sangat tidak mau dengan sistem royalti itu, mungkin akan bisa mengurangi keuntungan mereka. Seandainya kita pakai sistem royalti, dari penjualan album Kangen dengan Rolas yang terjual 150.000 copy, tentu kita akan dapat banyak duit. Saya waktu itu sudah mau separuh bayar di muka, separuh menunggu hasil penjualan, tetapi tetap tidak mau. Sempat juga usul saya itu jadi perbincangan di kawan-kawan Dewan Kesenian Blambangan. Tapi, ya, itu, cuma jadi perbincangan dan tidak ada langkah-langkah konkrit. Padahal persoalan itu kan sudah diatur dalam Undang-undang, tetapi semua seolah tidak tertarik membicarakannya.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Persoalan royalti sebenarnya menjadi masalah yang benar-benar ada, tetapi para pencipta lagu enggan untuk membahasnya secara serius. Kebanyakan dari mereka kebanyakan tidak mau ruwet, karena mereka sendiri memang membutuhkan uang dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari keluarga. Kalau masih menunggu pembayaran royalti setelah album terjual di pasaran, maka mereka akan menghadapi persoalan ekonomi yang pelik. Namun, kalau logika itu dibalik dengan peraturan royalti yang memberikan keuntungan berlipat bagi penciptanya, maka sangat mungkin para pencipta lagu lebih memilih pemberian royalti dibandingkan dengan sistem yang dipakai sekarang. Sayangnya, para pencipta lagu tidak mau membicarakan persoalan itu secara serius, sehingga cenderung menjadi kegundahan personal seperti dialami Adis. Lebih parah lagi, dinas terkait dan juga Dewan Kesenian Blambangan yang seharusnya memperjuangkan aspirasi para seniman, tidak berhasil memberikan solusi terhadap persoalan tersebut.
“Sistem yang dipakai sekarang adalah pihak produser membayar hak pakai dari lagu yang diciptakan oleh para pencipta. Mereka membayar sejumlah uang untuk setiap lagu yang direkam. Biasanya dibayar di muka dengan nominal yang tidak sama antara satu lagu dengan lagu lainnya. Untuk lagu-lagu baru yang dirasa akan diterima pasar, biasanya pencipta lagu yang bersangkutan akan menerima fee yang lebih banyak. Sementara, untuk lagu-lagu yang diciptakan oleh para seniman sepuh dan produksinya bersifat recycle, fee yang dibayarkan tidak terlalu mahal. Untuk lagu Semebyar, misalnya, Yon menerima honor Rp. 1.000.000,- untuk setiap album yang diproduksi (Wawancara, 20 Juli 2009). Sedangkan untuk lagu lawas yang dirilis ulang, honor yang diterima oleh para seniman sepuh lebih rendah, berkisar antara Rp. 250.000,- sampai Rp. 500.000,-. Meskipun demikian, para seniman sepuh, seperti Fatrah Abal, merasa model penghonoran tersebut sudah lebih baik dibandingkan dengan zaman dahulu” (Wawancara, 21 Juli 2009).
Memang, sekilas model penghonoran dari hak pakai juga sudah menguntungkan pihak pencipta karena di Banyuwangi biasanya satu lagu bisa direkam dalam beberapa album dengan pihak perusahaan rekaman yang berbeda. Ketika satu lagu direkam dalam tiga album, misalnya, maka pencipta akan mendapatkan tiga juta dari pembayaran hak pakai. Jumlah tersebut sebenarnya sangat sedikit ketika dibandingkan dengan pembayaran model royalti. Dalam hitungan sederhana, misalnya, satu album yang merekam karya seorang pencipta atau kelompok musik terjual menembus angka 100.000 copy, kalau per copy mendapatkan Rp. 250,- dengan sistem royalti, maka penghasilan mereka akan mencapai Rp. 25.000.000,-. Sementara kalau dihitung per lagu, maka nominal penghasilan pencipta lagu akan semakin besar tergantung jumlah lagu yang direkam. Sayangnya, sekali lagi, para seniman pencipta lagu tidak mau berpikir ruwet, karena yang mereka butuhkan adalah uang cash yang cepat didapat. Akibatnya, produser tertentu cenderung memberikan harga yang relatif murah karena mereka tahu para seniman tidak akan banyak protes. Memang, para seniman sendiri juga tidak mampu dan berani meningkatkan harga karena kalau hal itu dilakukan para produser tidak akan mau. Kondisi ini tentu akan mengganggu pendapatan mereka dari lagu.
Sebenarnya ada produser yang tetap memperhatikan kesejahteraan dari para pencipta lagu, meskipun dia tidak menerapkan sistem royalti untuk album yang beredar. Model ini diterapkan oleh, misalnya, Indra Wijaya dari Aneka Safari Record. Koming menjelaskan bahwa ketika penggarapan sebuah album, pencipta lagu akan mendapat honor dari hak pakai, tetapi ketika album tersebut ‘meledak’ di pasaran, maka Indra akan memberikan uang tambahan sesuai dengan peredaran VCD maupun kaset. Dengan model seperti ini, paling tidak, seniman pencipta lagu akan mendapatkan peningkatan kesejahteraan secara ekonomi. Memang, yang untung tetap saja produser, tetapi model ini bisa menjadi bentuk apresiasi bagi para pencipta lagu (Wawancara, 31 Juli 2009). Model ini—katakanlah “honor tambahan untuk popularitas lagu”—memang bisa menjadi model alternatif yang, untuk sementara, menguntungkan para seniman pencipta lagu karena produser mempunyai komitmen untuk memberi lebih dari larisnya lagu yang beredar. Meskipun demikian, para pencipta lagu tetap tidak bisa tahu berapa besar hak mereka sebenarnya, karena mereka tidak bisa tahu persis berapa copy album yang terjual.
Terlepas apakah model royalti atau model honor popularitas lagu yang akhirnya dipilih oleh para seniman pencipta lagu, tetap dibutuhkan pembicaraan khusus yang melibatkan para seniman pencipta lagu dan produser sehingga akan ditemukan kesepakatan bersama. Usulan Adis untuk membentuk paguyuban atau persatuan sebagai wadah bertemunya para seniman pencipta lagu untuk bertemu dan berdiskusi menyangkut permasalahan yang mereka hadapi bersama, sebenarnya menarik untuk dicoba. Minimal, dengan wadah tersebut, mereka secara terbuka dan jujur berdiskusi untuk menemukan kesepakatan-kesepakatan dalam menyikapi permasalahan, sehingga mereka mempunyai kesamaan pandangan ketika menyuarakan keinginan mereka kepada produser.
2. Ketika Koplo dan Techno Menjadi Trend: Antara Kepentingan Industri dan Sekedar Kulit dalam Lagu Banyuwangen
Popularitas lagu-lagu Banyuwangen di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi dan kabupaten sekitar, menunjukkan bahwa lagu-lagu tersebut, baik yang berasal dari era pasca 65 maupun era 2000-an mendapat tempat di hati para penggemar, sehingga mendorong pihak industri untuk menciptakan variasi-variasi komposisi penggarapan yang semakin memberagamkan pilihan album dan genre musik yang diproduksi dan diedarkan. Kepentingan industrial jelas menjadi faktor pendorong lahirnya genre-genre musik baru dalam cengkok dan lirik Banyuwangen, seperti house music, disco, rock-dangdut-koplo, keroncong, reggae, Jaipongan, elektone/organ tunggal, dan lain-lain. Karena awal kelahirannya dikonstruksi untuk industri, maka pihak produser lebih dominan dalam menentukan jenis penggarapan musiknya, meskipun para seniman pencipta lagu atau musisi bisa menawarkan gagasan-gagasan estetik untuk menentukan corak musik yang akan direkam dan diedarkan.
Dalam konteks idealisme berkesenian, beberapa seniman pencipta lagu dan penyanyi, sebenarnya kurang sreg dengan perkembangan genre musik baru—utamanya koplo—dalam lagu-lagu Banyuwangen. Yon, misalnya, dengan jujur mengakui bahwa “Secara prinsip, saya sebenarnya menolak musik koplo dalam lagu-lagu Banyuwangen. Tapi, ya gimana lagi, saya juga butuh uang” (Wawancara 20 Juli 2009). Pengakuan serupa disampaikan Adis, “Saya pernah juga menyanyi dalam format koplo. Itu kan mengikuti aransemen kelompok pengiring di atas panggung. Tapi, jujur saya sendiri merasa kurang klop” (Wawancara, 21 Juli 2009). Pengakuan kedua penyanyi tersebut menunjukkan bahwa mereka sebenarnya kurang bisa menerima genre musik dangdut koplo dalam penggarapan lagu-lagu Banyuwangen. Apalagi, keberangkatan musik mereka adalah musik eksperimen yang cenderung berirama kolaboratif—tradisional modern—yang berirama kalem. Namun, nyatanya, mereka juga tidak mampu menolak tawaran pihak rekaman yang, tentu saja, mendatangkan uang buat pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka.
Penuturan Koming mungkin bisa memberikan perspektif lain dalam memandang persoalan popularitas musik dangdut koplo Banyuwangen. Baginya koplo hanya “kulit”. Sebagai kulit, bisa semua genre musik digunakan untuk mengaransemen lagu-lagu Banyuwangen, tetapi esensinya tetap Using, baik dalam cengkok nada maupun lirik lagu. Jadi lagu-lagu Banyuwangen ibarat “gula” dicampur dengan teh ataupun kopi tetap terasa enak dan memunculkan beragam rasa, tergantung kesukaan penggemarnya. Dari aspek keterbukaan kultural, apa yang disampaikan Koming memang sesuai dengan karakteristik tradisi-lokal Banyuwangen yang terbuka terhadap pengaruh luar. Dengan dibungkus dalam kemasan koplo ataupun disko, mampu dinegosiasikan dalam konteks industri kreatif yang ternyata bisa digemari oleh masyarakat. Apalagi, masyarakat juga sudah terbiasa dengan musik dangdut koplo seperti yang mereka lihat dalam VCD Monata dan grup dangdut lainnya dari daerah seputar Surabaya. Dalam konteks ini, persinggungan antara keterbukaan para seniman pencipta lagu, musisi, penyanyi, dan industri menemukan titik-temu dan menghasilkan produk-produk lagu Banyuwangen yang semakin variatif. Persinggungan kreatif yang terjadi meskipun pada awalnya kurang disukai oleh beberapa seniman pencipta, penyanyi, dan musisi, biasanya memang menjadi inisiatif dari pihak produser. Pihak produser melihat adanya peluang untuk terus menciptakan variasi dalam musik Banyuwangen karena realitas penerimaan konsumen terhadap bermacam genre. Keterbukaan kultural dan kepentingan ekonomis dari para musisi menjadikan mereka bisa menerima tawaran-tawaran yang ada. Tidak mengherankan kalau pada era 2000-an lagu-lagu Banyuwangen berkembang pesat dengan bermacam genre musiknya.
Hibridisasi kultural dalam bentuk kesenian, utamanya musik, memang tidak bisa ditolak lagi. Di semua negara berkembang dan wilayah-wilayah lokalnya, percmapuran strategis antara musik lokal dengan musik global menjadi warna yang terus berlangsung hingga hari ini. Realitas musik di Banyuwangi, dengan demikian, bisa dibaca sebagai kecenderungan lahirnya “kosmopolitanisme estetik” (aesthetic cosmpolitanism). Regev (2007: 319) menjelaskan tentang konsep kosmopolitanisme estetik sebagai berikut:
… kosmpolitanisme estetik hadir bukan hanya melalui konsumsi karya-karya seni dan produk-produk kultural dari ‘pengalaman budaya dari wilayah-wilayah lain’, tetapi juga, dan lebih intensif lagi, melalui kreasi dan konsumsi terhadap kebanyakan seni dan budaya lokal yang diyakini mengekspresikan keunikan etno-nasional. Kosmpolitanisme estetik diproduksi ‘dari dalam’ budaya nasional… Kosmopolitasnisme estetik merupakan kondisi dimana representasi dan pertunjukan keunikan kultural etno-nasional mendasarkan secara luas pada bentuk-bentuk seni kontemporer seperti musik pop-rock atau film, sehingga bentuk-bentuk ekspresifnya melibatkan elemen-elemen stilistik yang diketahui diambil dari sumber luar yang dimasukkan ke dalam tradisi lokal. Kosmopolitanisme estetika….merupakan manifestasi utama dari glokalisasi: (re-) konstruksi lokalitas dalam merespons pada dan dalam pengaruh globalisasi. Ia mungkin bisa dikatakan sebagai kosmopolitanisme estetik yang banal, sebagai kosmopolitanisme sehari-hari dan cenderung kasar, tidak orisinil…atau kosmopolitanisme yang benar-benar terjadi dan ada…mengekspresikan kompleksitas aliran kultural di antara bagian-bagian jagat pada masa kini.
Kosmopolitanisme estetik lahir dari para kreator pada level nasional dan lokal yang mampu membaca realitas kesenian dan kultural yang tengah berlangsung secara massif. Mereka tidak langsung mengambil mentah-mentah pengaruh-pengaruh kultural luar, tetapi memasukkan, memodifikasi, dan memproduksi pengaruh luar ke dan di dalam budaya lokal mereka sehingga menghasilkan produk estetik yang unik dan berorientasi etnik dalam citarasa modern. Para seniman Banyuwangen, khususnya yang bergelut dalam dunia musik, telah melakukannya dengan karakteristik lokalitasnya sendiri dan terbukti mampu menjadi penanda lahirnya kreativitas kosmopolitanisme dalam lingkup yang sangat lokal, bahkan mampu menjangkau lingkup regional Jawa Timur. Meskipun oleh beberapa pemerhati, kondisi kosmpolitanisme estetik banyak dianggap sebagai bentuk yang banal, kasar, sehari-hari, dan mencerabut akar orisinalitas kesenian dan budaya sebuah masyarakat lokal, realitas tersebut lebih menarik dibaca sebagai kompleksitas yang terjadi dalam arus lalu-lintas budaya global-lokal yang terjadi hari ini.
Penanda yang paling kentara dari proses kosmopolitanisme estetik adalah kehadiran dan populeritas musik pop, khususnya pop-rock, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal. Regev (2007: 319) lebih jauh menjelaskan:
Musik populer, khususnya pop-rock, merupakan kunci utama dalam pemahaman ini. Perkembangan style musik pop-rock domestik di banyak negara mentransformasikan keunikan kultural masing-masing yang mereka miliki, sebagaimana diekspresikan dalam musik, ke dalam ruang estetika-sonik yang dimatangkan dengan suara-suara elektrik dan elektronik. Kondisi ini terinspirasi dan juga secara intensif terkoneksi pada trend stilistik dan karya-karya kanonik yang berhubungan dengan pop-rock Anglo-Amerika dan juga musik pop-rock dari entitas ento-nasional lainnya. Pop-rock mendemonstrasikan bahwa, dalam kondisi kosmopolitanisme estetik, model budaya dunia…tidak terpenjara pada lingkup budaya intrumental yang terasionalisasikan. Konstruksi keunikan etno-nasional dalam budaya ekspresif juga mengambil bentuk isomorfism, ketika kekuatan-kekuatan di dalam bangsa dimobilisasi secara mandiri untuk menciptakan pop-rock ‘mereka sendiri’, sembari meyakininya sebagai cara untuk menunjukkan keunikan pada modernitas akhir.
Meskipun mengambil inspirasi dari genre dan bentuk musik dari luar wilayah kebudayaan mereka, para seniman musik lokal, di Banyuwangi misalnya, berhasil menciptakan musik pop-rock mereka sendiri yang tetap beraroma lokal. Adaptasi dan modifikasi dalam bentuk pop-rock dan jenis-jenis turunannya merupakan strategi dalam menghadapi perkembangan dan transformasi kultural yang dialami oleh masyarakat pada era modernitas akhir yang ditandai dengan kapitalisasi kultural dalam setiap aspek kehidupan. Dalam perkembangannya, para seniman musik Banyuwangen, tidak hanya menyerap musik dari luar negeri maupun Jakarta, tetapi juga mengkolaborasikan dengan keragaman musik etno dari wilayah-wilayah lokal lainnya. Produk kolaborasi hibrid dalam musik ternyata tetap digemari oleh penikmat, meskipun tidak sepenuhnya beraroma Banyuwangen.
Rock-dangdut-koplo Banyuwangen, misalnya, sangat populer karena mengkolaborasikan genre rock, dangdut, dan koplo dalam spirit Using. Adapun ciri yang cukup menonjol adalah hentakan drum, rancaknya ketipung, serta permainan melodi yang tidak kalah dari grup-grup rock kelas nasional. Rancak musik ini dipadu dengan tingkah para penyanyi yang melakukan goyang-goyang atraktif yang menjurus ke performa sensual. Adapun grup musik rock-dangdut-koplo Banyuwangen yang terkenal saat ini adalah Denata.[1] Untuk penggarapan video klip-nya, genre musik ini biasanya menggunakan live performance di mana suasana pertunjukan begitu terasa, baik di café maupun di lapangan terbuka. Penyanyi yang tumbuh dan berkembang dari genre musik ini adalah Reny Faridah dan Rozy. Kedua penyanyi tersebut begitu sering muncul dalam VCD yang beredar di pasaran. Lengkingang suara, goyang atraktif, serta rancaknya musik menjadi formula keberhasilan genre musik ini dalam menaklukkan penikmat musik Banyuwangen.
Genre musik techno, yakni house-music juga ikut menyemarakkan industri musik Banyuwangi. Tidak seperti rock-dangdut-koplo yang mengusung kolaborasi beberapa instrumen musik, house-music Banyuwangen lebih menitikberatkan pada kemampuan arranger musik untuk meramu musik gedek yang menjadi menu diskotik di kota-kota besar dengan tone Banyuwangen. Meskipun mengedepankan bit-bit kencang yang membuat tubuh bergerak, house-music Banyuwangen secara unik memasukkan vokal penyanyi gandrung senior, seperti Temu, dengan cengkok-cengkok klasik-nya sehingga ‘percumbuan’ antara kegairahan musik tekno dan lenggak-lenggok vokal penyanyi menjadi sangat terasa. Banyak orang berpikir, mungkin cengkok vokal gandrung sangat sulit dimasukkan dalam musik tekno, tetapi pada tangan-tangan kreatif asal Banyuwangi, semua menjadi mungkin karena irama dan ritme gandrung sendiri juga sangat rancak dan dinamis, sehingga untuk disesuaikan dengan unsur tekno tidaklah sulit. Di samping kepentingan industri untuk menghasilkan keuntungan kapital, kehadiran house-music Banyuwangen juga menandakan kemampuan adaptif dan negosiatif seniman musik Banyuwangen ke dalam kehidupan kaum muda yang dinamis dan penuh gairah. Dengan demikian, kaum muda yang sudah biasa mengkonsumsi musik tekno bisa terus berada dalam pengaruh medan diskursif seni musik beraroma lokal, sehingga mereka tetap mengenal dan mencintai budaya lokal mereka di tengah-tengah serbuan musik industri dari Jakarta.
Dengan format yang lebih santai dan tidak telalu menghentak, racikan musik elekton/organ tunggal juga menjadi warna tersendiri dalam perkembangan musik Banyuwangen. Mamang adalah salah satu musisi yang menjadi pemrakarsa lahirnya penggarapan lagu-lagu Banyuwangen dalam format elekton. Dengan menyesuaikan dan memasukkan nada-nada khas Banyuwangen ke dalam ritme dan bit elekton, Mamang berhasil menyuguhkan karya musik yang tidak melibatkan banyak instrumen, tetapi tetap menarik untuk didengarkan. Dalam penggarapannya, elekton Banyuwangen tentu lebih murah dan ringkes, karena tidak melibatkan banyak musisi, sehingga keuntungan ekonomi yang dihasilkan juga lebih besar. Meskipun demikian, penggarapan dalam format elekton—dan juga house-music—menjadikan ciri komunalitas dari kesenian Banyuwangen menjadi hilang karena tidak banyak membutuhkan personel dalam proses kreatifnya.
Pengaruh musik pop-rock juga sangat kentara dalam beberapa album yang diberi tajuk pop-etnis Banyuwangen ataupun pop-etnis Using. Penggunaan instrumen dan model penggarapan komposisi ala pop dan rock sangat kental, meskipun, lagu-lagi, tetap berorientasi pada lirik dan cengkok Banyuwangen. Kentalnya unsur drum, keyboard, gitar, maupun bass menjadi penanda bahwa para seniman musik Banyuwangen juga dengan mudah mengadaptasikan genre musik yang banyak berkembang di ibukota sebagai bentuk adaptasi dari musik Anglo-Amerika. Meskipun demikian, para musisi Banyuwangen, seringkali tetap memasukkan unsur tradisi berupa kendang di tengah-tengah garapan pop-rock.
Keroncong, jaipong, dan reggae juga menjadi warna tersendiri bagi perkembangan industri musik di Banyuwangi. Akar keroncong yang cukup kuat di Banyuwangi, menjadikan genre musik ini juga bisa diterima sampai sekarang. Lagu-lagu Banyuwangen populer diaransemen dengan menggunakan keroncong. Meskipun demikian, cengkoknya vokalnya tetap menyanyikan gaya Banyuwangen, tidak seperti cengkok keroncong ala Gesang. Begitupula dengan Jaipong yang diaplikasikan dalam konsep aransemen lagu Banyuwangen adalah gaya menabuh kendangnya. Sementara, trend musik reggae yang sedang berkembang saat ini juga diserap secara kreatif oleh para musisi dengan penggarapan komposisi yang bisa menggiring penikmatnya bergoyang serasa masuk ke dalam dunia rasta dengan citarasa Banyuwangen.
Perkembangan-perkembangan tersebut semakin mempertegas keterbukaan dan sikap adaptif para seniman musik Banyuwangen terhadap masuknya pengaruh-pengaruh luar yang masuk. Mereka menyadari bahwa jenis-jenis musik baru tidak mungkin ditolak oleh masyarakat karena kuatnya pengaruh teknologi-informasi. Menyadari realitas kultural tersebut, para seniman musik melakukan siasat kultural dengan mengadaptasi dan menyerap unsur-unsur musik dari luar untuk diaransemen dalam format Banyuwangen, sehingga memberikan beberapa keuntungan. Pertama, tradisi musik khas Banyuwangen dengan lirik dan cengkoknya masih bisa terus dinikmati oleh masyarakat dengan komposisi yang lebih beragam, sehingga mereka tidak merasakan kejenuhan. Ketika setiap hari hanya disuguhi komposisi kendang kempul, bisa jadi mereka merasakan rasa jenuh sehingga akan mudah beralih ke genre-genre musik baru dari luar. Dengan racikan-racikan yang variatif dan terbarukan masyarakat penikmat yang mengalami transformasi selera kultural akan tetap mendapatkan lirik dan cengkok Banyuwangen, baik yang berasal dari tradisi musik gandrung maupun angklung dan perkembangannya hingga patrol opera. Kedua, musik Banyuwangen akan tetap bisa bersaing dengan musik-musik yang berasal dari luar cultural area-nya. Ketiga, dalam konteks industri, pasar tidak akan mengalami kejenuhan sehingga keuntungan finansial dari penjualan VCD dan kaset akan terus mengalir dan bisa menghidupi berbagai pihak yang terlibat dalam mata rantai produksi dan distribusi.
Hibridisasi kultural dalam bentuk kosmopolitanisme estetik dan kapitalisme industrial memang sudah menjadi kenyataan sehari-hari, baik dalam hal berkesenian dan menjalani hidup. Ketika realitas tersebut tidak mampu dijawab oleh para pegiat seni dengan menegosiasikan tradisi-lokal dalam konteks industri kreatif, maka kekuatan tradisi-lokal lambat-laun akan mengalami kemunduran. Negosiasi menjadi kata kunci karena dengannya para seniman bisa mengartikulasikan kepentingan tradisi-lokal dalam bentuk hibrid yang sangat modern. Hibridisasi akan sekedar menjadi peniruan dan pencampuran bentuk kesenian tradisi-lokal dengan kesenian modern-industrial yang tidak mempunyai makna kultural, tetapi sekedar sebagai hiburan, ketika para seniman di Banyuwangi tidak mampu melakukan pendalaman-pendalaman, meminjam istilah Andang, terhadap permasalahan sosio-kultural dan kekuatan elemen serta substansi tradisi-lokal yang ada di masyarakat. Pendalaman-pendalaman itulah yang akan memperkuat proses kreatif dalam penciptaan sehingga budaya lokal akan tetap berada dalam lingkup imajiner dan realitas dari masyarakat melalui produk-produk estetik yang selalu up to date.
Di samping itu, para seniman juga harus mampu melakukan negosiasi terhadap kepentingan industri. Artinya, dalam konteks industri kreatif, karakteristik dan keunikan yang mereka ciptakan dalam berkesenian merupakan “senjata utama” untuk memperkuat nilai tawar mereka di mata industri. Satu formula baku dalam industri kreatif adalah kreativitas yang akan membedakan satu seniman dengan seniman lainnya. Ketika mereka mampu menjaga kreativitas dan keunikan karya yang dihasilkan, pasar sebenarnya bisa memberikan penilaiannya sendiri; apakah menarik atau tidak. Kreativitas yang berangkat dari kekayaan tradisi-lokal Banyuwangen bisa menjadi pintu masuk untuk terus memperbarui keunikan-keunikan estetik sehingga para produser rekaman juga akan mengikuti pola tersebut karena ketika keseragaman produk mulai berkembang, saat itu pula pasar akan mudah jenuh. Kreativitas tersebut tidak selamanya harus mengikuti trend dan keinginan pihak industri yang memang cenderung tidak mau berpikir kompleks. Kreativitas-kreativitas baru malah akan mendukung dinamika industri dengan menciptakan peluang pasar baru, seperti yang pernah dilakukan oleh Yon dkk melalui POB.
Tidak semua produser mengharuskan atau selalu menawarkan resep genre musik industrial seperti house-music, pop-rock, maupun dangdut dalam produksi. Mereka juga memberi kesempatan dan mendorong para seniman untuk selalu berpikir dan berkarya kreatif. Secara implisit, Indra, produser Aneka Safari, menuturkan:
“Kesenian Banyuwangi itu akan tetap bisa bertahan kalau para senimannya kreatif dan produktif. Itu kuncinya. Kalau sudah tidak seperti itu lagi, maka otomatis akan punah juga. Nah, makanya, dibutuhkan juga kejelian untuk berkreasi bagi para seniman itu sendiri. Harus melihat peluang pasar. Untungnya, para seniman Banyuwangen sampai saat ini masih tetap kreatif dan produktif dan berpikiran terbuka. Maksudnya, mereka itu mau membuat kreasi-kreasi yang memberi warna baru, seperti rock dangdut. Lahirnya Denata, itu sebenarnya saya juga ikut berperan. Waktu itu saya tantang musisi-musisinya, “Masa’ kalah sama Surabaya dan Sidoarjo? Kelompok dangdut mereka sudah berkembang, seperti Monata dan Palapa? Masa’ Banyuwangi ndak bisa membuat seperti itu?” Akhirnya, Denata berkembang dengan pesat seperti sekarang ini.” (Wawancara, 30 Juli 2009)
Meskipun tetap mengusung kepentingan kapital, pernyataan Indra tersebut sebenarnya memberikan peluang kepada para seniman musik Banyuwangen untuk tetap kreatif dalam berkarya, sembari melihat peluang pasar. Meskipun contoh yang ia berikan adalah genre musik rock-dangdut, sikap kreatif para seniman sebenarnya bisa merambah genre-genre musik beraroma tradisi-modern. Dalam prinsip Indra, apapun bentuk kreasinya, ketika dia yang berasal dari etnis China bisa menyukainya, maka kemungkinan besar ia akan memproduksinya karena diperkirakan pasar bisa menerima bentuk kreasi baru tersebut.
POB dan patrol opera-nya telah memberi contoh inspiratif dalam memadukan instrumen modern dan tradisional dalam sebuah genre campur-aduk yang nyatanya bisa diterima oleh pasar. Sayangnya, setelah POB bubar, sampai sekarang bisa dikatakan belum ada ‘eksperimen hibrid’ yang bisa melampaui capaian kelompok ini. Sebagian besar garapan musikal yang diproduksi pasca-POB adalah pop industrial yang mengedepankan komposisi musik modern dan sangat jarang memadukan dengan keindahan rancak gamelan maupun angklung Banyuwangen. Kalau semangat kreativitas yang sadar zaman hanya semata-mata mengikuti selera pasar, maka industri musik Banyuwangen hanya akan terjebak dalam lingkaran industrial yang selalu melihat kecenderungan pasar, tanpa berusaha menciptakan pasar. Ketika prinsip menciptakan pasar, seperti yang pernah dilakukan Yon’s DD dan POB, bisa terus dikembangkan dalam benak para seniman muda Banyuwangi, maka eksplorasi, eksperimentasi, modifikasi, dan kolaborasi akan terus mengalirkan karya-karya baru yang bisa mengawal tradisi sekaligus membaca modernitas.
3. Mereka yang Ada, tetapi Tiada: Minimnya Perhatian dan Kebijakan yang Berpihak dari Pemerintah
Pemerintah sebenarnya sudah mengakui kontribusi dan signifikansi industri kreatif dalam mendukung laju pertumbuhan ekonomi dalam skala nasional, bahkan dalam pada periode SBY Jilid II ini sektor industri dan ekonomi kreatif akan diatur dalam kebijakan-kebijakan yang lebih jelas dan semakin mendorong kebutuhan regulasi yang bisa mendorong bergairahnya sektor usaha berbasis industri kreatif. Tentu saja, kabar tersebut sangat menggembirakan di tengah-tengah ketidakjelasan arah kebijakan pembangunan terkait sektor industri kreatif dan kebudayaan pada umumnya. Di bandingkan dengan negara-negara maju yang sepenuhnya menyadari kontribusi ekonomi industri kreatif, seperti AS, negara-negara Eropa (khususnya Inggris), Australia, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, maupun Singapura, Indonesia memang relatif tertinggal dalam menciptakan kebijakan dan regulasi yang mampu mendorong lahirnya kreativitas dan inovasi, baik bagi kreator maupun produser, sebagai faktor utama bagi industri kreatif. Di tingkat pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, kebijakan pada sektor budaya dan industri kreatif juga masih sebatas pada “sekedar ada” tanpa substansi dan arahan yang komprehensif, meskipun pada daerah tertentu seperti Bali kebijakannya sudah mulai ditata dengan baik. Ironisnya lagi, para penggerak industri dan seniman seperti dibiarkan bermain dan berimprovisasi sendiri dalam menciptakan, memproduksi, dan mendistribusikan produk-produk kreatif mereka, sehingga mereka seringkali harus memeras otak sendiri—bahkan harus menghadapi jalan buntu—ketika menghadapi masalah-masalah di lapangan.
Di Banyuwangi, kebijakan untuk sektor industri kreatif memang sudah mulai dipikirkan ketika industri kesenian mulai berkembang pasca 65. Pemerintah mengambil peran dominan dalam mengatur dan mengendalikan produk-produk kesenian yang diedarkan secara massif, utamanya terkait dengan produksi dan distribusi lagu-lagu Banyuwangen. Surat Keputusan (SK) Nomor um/1968/50 tertanggal 19 Mei tahun 1970 dan Surat Edaran Ketua RKPD No 51/RKPD/V 1972 adalah contoh produk peraturan yang dibuat dalam rangka mengatur perkembangan kesenian dan industri kreatif. Kontrol terhadap jenis dan bentuk lagu yang boleh beredar dan siapa yang mengedarkan secara institusional menjadi fokus utama kebijakan yang dilaksanakan. Masalahnya, ketika industri kreatif, khususnya lagu-lagu Banyuwangen, semakin berkembang pemerintah daerah sendiri tidak siap dengan perangkat kebijakan maupun peraturan yang bisa memperkuat, memberdayakan, dan mendinamisir proses kreatif, produksi, dan distribusinya. Aturan-aturan yang dipakai lebih terkait langsung dengan persoalan pendapatan daerah, semisal dari pajak dan penjualan pita cukai yang dipakai pada kaset dan VCD yang diedarkan. Dengan kata lain, pemerintah daerah terkesan acuh tak acuh terhadap beberapa isu strategis terkait regulasi.
Memang, peraturan dan kebijakan yang lebih disukai pemerintah daerah akhirnya semata-mata pada tataran sektor pendapatan sehingga melupakan pada kebijakan strategis untuk lebih merangsang, mendukung, dan memberdayakan aspek kreativitas dalam industri kreatif dan kebudayaan. Pada kebijakan strategis terkait pemberdayaan industri kreatif yang menekankan pada kreativitas dan pemberian kesempatan industri untuk berkembang akan menjadi fondasi utama dalam penyiapan dan peningkatan ekonomi kreatif yang sangat berguna bagi elemen-elemen masyarakat yang terlibat di dalamnya. Yang harus dipikirkan adalah keberimbangan kebijakan antara sektor kreativitas dan sektor industri. Apabila titik tekan yang diberikan hanya sebatas pada rangsangan untuk meningkatkan peran perusahaan-perusahaan yang bergerak pada sektor industri kreatif, maka sektor kreativitas seniman akan menjadi minor dan dalam perkembangannya akan mengganggu cita-cita ideal dalam pengembangan industri kreatif.[2] Padahal, ketika para kreator mendapatkan ruang dan kesempatan yang dilindungi oleh regulasi, produk-produk kreatif mereka secara otomatis akan mendorong dan menggerakkan sektor industri dan sektor-sektor lain yang menjadi turunannya.
Individu dan kelompok kreatif di Banyuwangi, ironisnya, lebih banyak memberi kepada pemerintah ketimbang menerima sesuatu. Artinya, dengan karya-karya kreatif, mereka bisa memberikan pemasukan berupa pajak kepada pemerintah daerah serta mengangkat citra budaya Banyuwangen, sedangkan pihak pemerintah seperti tidak menghiraukan keberadaan dan aspek-aspek pemberdayaan mereka. Ironisnya lagi, sampai sekarang pemerintah masih membuat larangan-larangan ideologi-politis terhadap proses penciptaan, produksi, dan distribusi lagu yang terkait dengan isu-isu sensitif seperti kasus 65.[3]Akibatnya, imajinasi kreatif para seniman musik seperti menemukan batasan-batasan yang mengekang kebebasan simbolik dan kreatif mereka. Untungnya, para seniman masih mempunyai energi dan semangat patriotisme kultural untuk terus berkembang dan tidak mandeg dalam proses kreatif. Keberanian dan semangat tersebut, pada akhirnya menciptakan mekanisme kultural pada diri para seniman yang sekaligus menjadi “api perjuangan” mereka. Pencipta dan penyanyi seperti Yon bahkan mengatakan, “Sama sekali tidak ada perhatian dari instansi, saya juga tidak pernah meminta, karena kalau meminta diperhatikan saya jadi tidak kreatif lagi, tidak bisa bikin lagu lagi, rugi saya” (penekanan oleh penulis, Wawancara, 20 Juli 2009). Dengan kata lain, ketidakpedulian pemerintah daerah terhadap para seniman musik dijadikan sebagai sebuah lompatan besar untuk terus memperjuangan kreativitas tanpa harus tergantung pada uluran tangan birokrat.
Memang, dalam beberapa persoalan, pemerintah kabupaten tetap memberikan apresiasi terhadap para seniman musik yang terbukti memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan industri kreatif di Banyuwangi, seperti pemberian penghargaan ketika peringatan HUT RI. Catur, misalnya, pernah mendapatkan penghargaan sebagai Kaum Muda Kreatif. Namun, pada dasarnya, itu hanya menyentuh bagian kecil dari bentuk perhatian yang sebenarnya bisa dilakukan oleh pemerintah. Itupun kalau pemerintah mempunyai kesadaran tinggi untuk tidak sekedar ‘memetik buah’ dari proses industri kreatif musik di Banyuwangi, tanpa mau bersusah-payah membuat regulasi dan kebijakan.
E. Gairah Ekonomi di Balik Industri Musik Banyuwangen
Salah satu isu besar dalam pengembangan industri kreatif, baik dalam skala nasional maupun lokal, adalah penguatan potensi ekonomi kreatif (creative economy) yang bisa muncul dari proses penciptaan, produksi, dan distribusi produk-produk kultural. Alur produksi dan mata rantai yang menyertai karya musikal, misalnya, bisa menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan baru, baik bagi mereka yang “punya keahlian” (talented) seperti pencipta lagu, musisi, operator studio, operator mastering dan penggandaan, pembuat desain cover VCD, pembuat video klip, dan lain-lain ataupun “yang tidak punya keahlian” (not-talented) seperti para penjual VCD di pinggir-pinggir jalan. Meskipun kesan yang muncul sangat kapitalistik, namun realitas pemberdayaan sektor ekonomi yang dibawa oleh industri kreatif khususnya musik perlu mendapatkan apresiasi karena mampu sedikit banyak mengatasi masalah pengangguran yang masih melilit anak bangsa. Kritik juga perlu diberikan sebagai upaya untuk lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas yang semakin baik bagi pemberdayaan ekonomi kreatif.
Membicarakan keuntungan finansial dengan para pengusaha industri rekaman di Banyuwangi memang tidak semudah yang dibayangkan. Mereka bisa saja terbuka tentang persoalan proses produksi dan strategi pemasaran, tetapi untuk membincangkan nominal uang yang diperoleh sangatlah susah. Meskipun demikian, dalam rumus ekonomi, seorang produser akan selalu berusaha untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Yang pasti, dengan mendirikan usaha industri rekaman di Banyuwangi, para pengusaha sebenarnya sudah ikut melahirkan ekonomi kreatif yang memberikan keuntungan ekonomis bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Para seniman pencipta lagu maupun penyanyi, misalnya, jelas mendapatkan honor dari pekerjaan kreatif mereka. Dalam subbab sebelumnya, mereka secara eksplisit mengakui mendapatkan keuntungan finansial yang sangat berguna bagi kehidupan mereka. Kalau mereka mendapatkan keuntungan finansial, tentu saja, hal serupa juga dialami oleh para pekerja yang bergerak pada sektor produksi dan distribusi serta mereka yang bergerak pada sektor-sektor turunan lainnya.
Dalam kerja industri kreatif, kreativitas yang berasal dari pengetahuan (knowledge) menjadi tonggak utama yang harus dikuasai oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Pengetahuan tentang penciptaan, budaya, teknologi, pemasaran, produksi, dan lain-lain menjadi faktor pendorong berkembangnya industri pada semua level. Dari aspek produksi, para pekerja yang berada dalam bidang mastering editing (audio dan visual), dan recording adalah individu-individu yang dituntut mempunyai kemampuan dalam kerja teknik dengan pemahaman estetika musik serta penguasaan teknologi. Di Banyuwangi, meskipun hampir setiap bulan muncul album baru, namun jangan dibayangkan mereka yang terlibat dalam proses produksinya adalah orang-orang berpendidikan tinggi. Mereka adalah individu-individu yang belajar secara otodidak untuk mendapatkan keuntungan ekonomis dari kerja kreatif mereka.
Di Sandi Record saja, tenaga kreatif yang terlibat dalam proses produksi dan distribusi adalah 15 orang tenaga tetap, sementara untuk freelance Arie Sandi tidak mencatatnya, karena silih berganti, terutama mereka yang terlibat dalam aransemen musik (Wawancara, 21 Juli 2009). Data tersebut belum termasuk jumlah mereka yang bekerja di Aneka Safari Record dan Khatulistiwa Record. Data awal tersebut menunjukkan bahwa industri kreatif musik di Banyuwangi mempunyai potensi untuk menggerakkan ekonomi kreatif karena mampu menyerap tenaga kerja dan bisa ditumbuhkan dari modal lokal, tanpa campur tangan pemodal besar dari pusat.
Di samping proses produksi, industri musik di Banyuwangi juga memunculkan peluang baru untuk para pedagang VCD dan kaset, baik yang menggunakan lapak di pinggir jalan maupun outlet-outlet kecil. Dari pengamatan penulis, di Banyuwangi para penjual di pinggir jalan, semisal di Genteng, lebih banyak memajang dan menjual VCD lagu-lagu Banyuwangen di bandingkan dengan VCD band nasional maupun dangdut koplo Jawa Timuran. Di Jember, kondisinya juga tidak jauh berbeda. Di kota yang mayoritas penduduknya adalah etnis Madura dan Jawa, lagu-lagu Banyuwangen begitu digemari sehingga VCD Catur Arum, Chandra Banyu, Reny Farida, dan lain-lain, lebih banyak mendominasi lapak-lapak pedagang, baik di kota maupun di kecamatan. Di Semboro, misalnya, dari 3 lapak yang ada, lagu-lagu Banyuwangen tetap menjadi primadona penjualan, bersaing dengan VCD bajakan band-band nasional maupun VCD asli dangdut koplo versi Monata maupun Palapa. Di Bondowoso dan Situbondo, lagu-lagu Banyuwangen bersaing dengan lagu-lagu dangdut berbahasa Madura yang mulai semarak, lagu-lagu religi, maupun VCD pengajian.
Sementara, para pengamen di bis jurusan Jember-Banyuwangi, juga ikut menikmati rezeki di balik populeritas lagu-lagu Banyuwangen. Selama penulis bolak-balik Jember-Banyuwangi untuk penelitian, hampir semua pengamen yang ada di bus menyanyikan lagu-lagu Banyuwangen yang populer seperti Sing Duwe Isin dan Tombo Kangene Ati yang dipopulerkan oleh Catur Arum. Para pengamen itu ada yang berkelompok maupun tunggal. Meskipun tidak terlibat langsung dalam proses produksi dan distribusi dalam industri rekaman Banyuwangen, mereka ikut juga menikmati rezeki dari proses tersebut. Semakin banyak lagu-lagu Banyuwangen yang dikenal masyarakat luas, termasuk para penumpang bus, maka mereka akan mendapatkan ‘bunga-bunga sosial’ yang semakin banyak dari penumpang. Dengan demikian, berkah ekonomi tidak hanya dirasakan oleh produser, pencipta lagu, penyanyi, maupun musisi, tetapi juga oleh mereka yang bekerja dari bus ke bus mendendangkan suara merdu yang menghibur perjalan para penumpang.
F. Beberapa Catatan dari Brang Wetan
Ketika peluang untuk melakukan kreativitas-kreativitas baru diberikan oleh produser, tantangan terbesar terletak pada para pemusik maupun pencipta lagu Banyuwangen. Setiap orang memang membutuhkan uang dan materi, tetapi kalau kebutuhan itu mengalahkan daya dan nalar kreatif, maka para seniman hanya akan menjadi “buruh-buruh modal” tanpa bisa berbuat banyak untuk menciptakan kreativitas-kreativitas baru yang berlandaskan lokalitas sekaligus menembus konvensionalitas. Lokalitas tetap harus dimaknai, direka, dan dimodifikasi ulang sehingga menjadi produk-produk hibrid yang tidak konvensional sekaligus bisa menaklukkan kecenderungan budaya pop masyarakat, utamanya kaum muda. Pilihan untuk tidak berpikir konvensional dalam memandang lokalitas, pada akhirnya, mampu menggiring pemusik dan seniman pencipta lagu untuk menciptakan karya-karya sederhana dalam selera pop, tetapi tidak kehilangan jejak dengan tradisi-lokal dan tidak sekedar mengekor pada musik pop Barat. Franki Raden, kritikus musik dan etnomusikolog ternama Indonesia, tentang persoalan tersebut menarik untuk dicermati. Ia mengatakan:
Untuk membuat musik yang sederhana….jelas diperlukan sebuah keberanian untuk berekspresi secara tidak konvensional. Kebenarian ini hanya ada pada seorang individu pemusik yang mempunyai keyakinan besar. Unsur yang paling penting agar seorang pemusik dapat memiliki keyakinan yang besar tidak lain adalah dukungan masyarakat luas terhadap setiap tindakan anggota yang kreatif, bukan larangan-larangan yang umumnya banyak terjadi di dalam pagar budaya negara-negara terbelakang yang konservatif. Dengan kata lain, konservatisme tidak akan pernah membuat suatu masyarakat menjadi kreatif dan produktif dalam semua bidang kehidupan, tak terkecuali musik. Hal inilah yang mungkin sulit terjadi di Indonesia. Apalagi dunia musik pop di Indonesia tidak tumbuh secara organik, tetapi mencangkok dari Barat. Para pemusik pop Indonesia selalu mulai membuat musik dengan mengambil sebuah model yang sudah jadi. Alhasil, yang muncul hanyalah tiruan-tiruan dari produk yang datang dari Barat.[4]
Para seniman musik Banyuwangen, memang tidak bisa dilepaskan dari kemampuan melampaui ketradisian kultur masyarakat dengan menciptakan kreasi-kreasi baru berbasis tradisi dengan nuansa yang lebih nge-pop dalam jalur industri. Memang mereka bisa jadi meniru kedinamisan dalam musik pop sebagaimana yang dipopulerkan oleh musisi Barat. Akan tetapi, mereka memiliki keterikatan yang kuat dengan akar tradisi yang kuat, sehingga kaya akan kemungkinan eksplorasi untuk menembus konvensionalitas tradisi-lokal dan kepentingan industri. Dengan cara tersebut, para seniman musik Banyuwangen sebenarnya punya berjuta sumber kreatif yang masih bisa digali dan dikembangkan sehingga kepentingan penyebarluasan tradisi-lokal bisa sejalan dengan kepentingan industri kreatif dalam warna kreativitas yang tidak pernah mandeg. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh tidak semata-mata dalam konteks ekonomis, tetapi juga keuntungan kultural untuk terus-menerus menyebarkan gagasan budaya lokal yang selalu terbarukan dan inovatif dalam transformasi sosio-kultural.
Sementara, untuk pihak pemerintah, termasuk di dalamnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Dina Pariwisata dan Budaya Banyuwangi, beberapa catatan terkait kebijakan yang bisa diambil juga perlu diberikan. Berikut beberapa kebijakan strategis yang bisa diusahakan oleh pemerintah Banyuwangi.
Pertama, penciptaan program-program terkait dengan peningkatan kesadaran dan kemampuan kreatifkaum muda dalam konteks berkarya, sehingga dalam konteks SDM, akan terjadi regenerasi yang ajeg. Adapun para tutor dari program-program tersebut bisa diambilkan dari para seniman musik senior maupun kalangan akademisi sehingga akan terjadi sharing pengalaman dan pengetahuan yang bisa menjadi inspirasi kaum muda untuk berkarya. Memang, banyak kaum muda Banyuwangi yang kreatif tanpa harus diberi pelatihan karena kondisi kultur dan kehidupan seni yang sangat mendukung. Program pelatihan kreatif, sebenarnya, hanya memberikan tambahan wawasan dan teknik dalam proses kreatif sehingga kreativitas yang dihasilkan akan lebih berkembang dan beragam. Dengan adanya regenerasi yang ajeg, maka ke depan seniman-seniman muda—baik pencipta lagu, musisi, maupun penyanyi—akan terus bermunculan dengan karakteristik mereka masing-masing, tanpa harus menuggu siklus 40 tahunan, seperti ketika Yon’s, Catur, Adistya, dan Koming muncul melengkapi kegairahan bermusik setelah era 60-an yang membesarkan nama Andang, Basir, Mahfud, maupun Fatrah Abal.
Kedua, memberikan dana stimulan bagi individu maupun kelompok yang secara meyakinkan mampu melakukan usaha-usaha kreatif dalam bermusik seperti berlatih, mencipta lagu, menggarap aransemen, serta menghasilkan karya yang semakin menyemarakkan jagat musik Banyuwangen. Dana tersebut, tentu saja, bisa diperoleh dari APBD maupun kerjasama dengan pihak swasta yang pemberiannya harus melalui proses seleksi yang terukur dan terarah dengan patokan dan sistem yang jelas dan transparan. Kehadiran dana stimulan tersebut diharapkan mampu menggerakkan nalar kreatif para seniman muda sehingga mereka akan berkompetisi dalam hal kreativitas. Dengan demikian, mutu lagu dan musik Banyuwangen tetap bisa terjaga dan tidak sekedar mengikuti selera musik nasional dan Barat.
Ketiga, menyelenggarakan festival ataupun even musik yang khusus mengangkat potensi lagu-lagu Banyuwangen karya para seniman pemula, bukan lagu-lagu yang sudah populer di pasaran. Dengan kebijakan ini, kreativitas lagu Banyuwangen, baik secara kuantitas maupun kualitas, akan terus mengalami proses kompetisi sehingga bisa semakin beragam dan tidak terjebak pada kemonotonan dan stagnansi karya. Tradisi festival perlu juga disosialisasikan, bukan semata-mata sebagai ajang kompetisi untuk memperebutkan juara, tetapi kompetisi untuk menyuguhkan karya kreatif, sehingga penentuan pemenang tidak lagi ditentukan dengan model juara 1, 2, dan 3, tetapi bisa dengan mengambil 5 atau 10 penampil terbaik. Model tersebut bisa digunakan untuk mengeliminir potensi konflik selama dan sesudah pertunjukan.
Keempat, membuat kebijakan yang tegas tentang royalti hak cipta yang memberikan kesempatan bagi pencipta lagu untuk menikmati kesejahteraan dari hasil jerih-payahnya secara proporsional. Memang, kebijakan ini bisa jadi menghadirkan perdebatan antara sesama seniman, antara seniman dan pihak produser, antara produser dan pemerintah. Namun demikian, dengan metode sosialisasi kekeluargaan dengan menjelaskan argumen keuntungan masing-masing pihak, konflik-konflik tersebut sebenarnya bisa dihindari. Selama ini memang belum ada keberanian dari masing-masing pihak untuk mendiskusikan persoalan tersebut secara terbuka dengan dilandasi semangat konstruktif untuk lebih memberdayakan kreativitas dan industri musik.
Kelima, pemerintah berkoordinasi dengan aparat kepolisian sudah seharusnya menegakkan aturan-aturan untuk menindak para pelaku pembajakan. Meskipun saat ini pembajakan untuk lagu-lagu Banyuwangen sangat minim,[5] kesiapan menghadapi tindak pembajakan sudah sepatutnya disiapkan oleh aparat terkait. Jangan sampai kasus album POB Layangan yang dibajak habis-habisan ketika pertama kali dilempar ke pasar terulang lagi karena hal itu bisa merugikan para seniman yang menciptakannya. Sebenarnya, pihak produser rekaman bisa saja melakukan cara-cara mereka sendiri untuk mengeliminir pembajakan, tapi mereka masih berpikiran positif terhadap aparat. Maka dari itu, kerjasama sinergis antara produser dan pemerintah serta aparat kepolisian mutlak dilakukan melalui dialog-dialog yang konstruktif sehingga kebijakan dan aturan yang dikeluarkan bisa menyentuh akar permasalahan dan bukan sekedar reaksi sesaat.
Selain catatan-catatan di atas, untuk pihak industri rekaman perlu juga diberikan beberapa masukan untuk semakin meningkatkan kualitas dan kuantitas industri musik Banyuwangen. Pertama, pihak industri sebisa mungkin mengembangkan “divisi riset dan pengembangan” (research and development/R & D) untuk mengobservasi kecenderungan dinamika pasar dan budaya yang berkembang dalam masyarakat sehingga bisa ditemukan model lagu yang bisa mempertemukan kepentingan kapital dan pemberdayaan budaya lokal. Di samping itu, divisi ini juga bisa menemukan strategi yang tepat untuk terus memasarkan dan memperluas produk. Kedua, pihak industri perlu menantang para seniman pencipta lagu dan musisi untuk menciptakan produk-produk lagu dan aransemen yang bersifat inovatif yang tidak semata-mata mengikuti trend pasar, karena hanya dengan cara itulah dinamika kreativitas akan terus terjaga pada lagu-lagu Banyuwangen.
Catatan-catatan di atas tentu hanya tawaran yang masih bisa dikembangkan untuk dinamika industri musik Banyuwangen. Sebagai tawaran, tentu banyak pertimbangan-pertimbangan yang bisa diambil dan disesuaikan dengan kondisi yang ada di Banyuwangi. Intinya, segala usaha yang bersifat kreatif dan inovatif sudah menjadi tuntutan bersama ketika para seniman, musisi, dan produser lagu-lagu Banyuwangen berusaha mendalami industri kreatif sebagai cara untuk mengembangkan ekonomi kreatif di tingkat lokal. Apabila mereka menyadari pentingnya persoalan tersebut dan mampu menjawab tantangan-tantangan inovatif dari industri kreatif lagu Banyuwangen, maka gada wesi kuning (gada besi berwarna kuning) yang menjadi senjata andalan Minak Jingga (pahlawan dalam legenda Blambangan), akan betransformasi menjadi tembang yang terus mengalir memenuhi nuansa kreatif dan ekonomi dari Bumi Blambangan.
[1] Tentang kelahiran Denata, Koming menceritakan bahwa pada awalnya Indra, produser Aneka Safari Genteng, menantangnya dengan mengatakan: “Masa’ musisi Banyuwangen tidak bisa membuat karya musik seperti Monata?” Mendengar tantangan tersebut, Koming dengan cekat menjawab: “Bisa!” Maka ia kemudian ikut membidani lahirnya Denata serta ikut memberikan arahan serta masukan dalam penggarapan musiknya. (Wawancara, 31 Juli 2009)
[2] Australia adalah salah satu negara yang menyadari pentingnya kebijakan dan regulasi untuk pemberdayaan industri kreatif. Pada masa pemerintahan Paul Keating, negeri Kanguru ini membuat cetak biru (blue print) kebijakan yang diberi tajuk Creative Nation dengan pilot project-nya Creative Queensland. Dana yang cukup besar diberikan utamanya dengan titik tekan pada perusahaan-perusahaan kreatif, warisan budaya, tempat-tempat historis, dan tradisi. Akibatnya, para kreator dan kreasinya, seperti drama, tari, dan multimedia tidak mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam kebijakan kultural tersebut, sehingga mereka tetap saja menjadi minor dalam hingar-bingar industri kreatif yang diharapkan. Akibatnya proyek tersebut hanya menjadi “mimpi besar pembuat kebijakan” dan menjelma “mimpi buruk bagi para penyedia dan kreator”. Lihat Flew, Cunningham, Stuart D. 2003. The Evolving Creative Industries: From original assumptions to contemporary interpretations, dalam http://eprints.qut.edu.au/4391/1/4391_1.pdf, diakses 2 Juni 2009.
[3] Sekitar 2008, salah satu album Catur Arum yang di dalamnya menyinggung lagu Genjer-genjer ditarik oleh perusahaan rekaman CHGB (Surabaya). Tidak ada alasan yang jelas kenapa lagu tersebut ditarik dari peredaran. Bisa diduga, penarikan tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh pihak pemerintah dan aparat terkait karena adanya ketakutan dan stigmatisasi terhadap Genjer-genjer yang sudah terlanjur diyakini oleh publik sebagai lagunya PKI. Kejadian tersebut merupakan kemunduran dalam proses kreatif karena bisa melanjutkan “tradisi ketakutan” untuk mengeskplorasi tema-tema sensitif. Padahal eksplorasi kreatif yang dilakukan seniman bisa menjadi sebuah titik awal untuk memberikan pemahaman yang lebih kritis dalam suasana menghibur terhadap masalah-masalah yang masih membelenggu kehidupan politik warga Banyuwangi, seperti tragedi berdarah 65, huru-hara Ninja 98, dan yang lain.
[4] Lihat, Raden, Franki, “Musik Pop Tidak Pernah Mati”, dalam Kompas, Minggu, 8 November 2009.
[5] Dalam pengamatan penulis, baik di Banyuwangi maupun di daerah-daerah lain seperti Jember, Bondowoso, dan Lumajang, VCD Banyuwangen yang dijual di lapak-lapak penjual, tidak ada yang bajakan. Menurut salah satu penjual di Semboro Jember, para pembeli rupa-rupanya sudah menyadari bahwa apa yang mereka beli adalah produk yang menekankan pada kekayaan budaya lokal, sehingga tidak pantas kalau mereka membeli bajakan, apalagi harganya relatif terjangkau, berkisar Rp. 10.000,- sampai Rp. 12.500,-. Hal yang berbeda berlaku bagi VCD band-band nasional dimana versi bajakan beredar secara luas. Di samping itu, para produser biasanya menyelipkan klip atau pesan tertulis dalam VCD tentang anjuran untuk tidak membeli VCD atau kaset bajakan.
* Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com
Sumber: MataTimoer