Minggu, 21 Februari 2016

Wahyu Cakraningrat; Antara Tontonan dan Tuntunan [2]

ABIMANYU: Dalam "Wahyu Cakraningrat" Abimanyu diganggu oleh ancaman macan yang dalam asumsi dan realitas manusia umumnya menakutkan. Bagi pemimpin, tak ada watak takut menyikapi ancaman yang dimanifestasikan dalam sosok macan [Foto: Doc]

Di sela menonton pagelaran wayang ini ada frasa limbukan dan goro-goro; fase yang biasa ditunggu-tunggu audiens umumnya. Karena materinya melulu guyon intermezzo, joke-joke ataupun nyanyian yang menghibur. Proporsi populis pada jeda ini seolah berjalan linier dengan trend dan selera kekinian pasar.

Catatan menarik atas 2 fase ini pentas wayang alun-alun Kebumen  adalah munculnya ungkapan “nguri-uri budoyo” dari partisipan yang justru berasal dari kalangan pemangku kepentingan. Sebegitu menariknya hingga memicu perdebatan kami pasca kedua priyayi ini nyawer sang waranggana di depan audiens yang tersisa. Plus minus kemenarikannya terangkum dalam rangkaian pertanyaan: Benarkah budaya [tradisi] kita telah rusak tersisih? Jika benar, lalu siapa yang merusak dan menyisihkannya? Apakah karena itu lalu muncul frasa “nguri-uri” budaya itu? Dan bagaimana cara kita memperlakukannya?

Barangkali memang dalam bersit sesaat, saweran-saweran kepada para pelaku bakal jadi “cara-cara baru” memperlakukan kesenian tradisi. Dengan begitu lebih membuka kian lebar porsi tontonan ketimbang tuntunan. Tetapi, sesungguhnya ini berkait kelindan dengan problem masyarakat apresian hari ini.  

Dan bagaimana “Wahyu Cakraningrat” turun sebagai wahyu keraton dan untuk selanjutnya manitis pada seorang yang ditakdirkan sebagai “pancering ratu” tanah Jawa. Maka ini lah makrifat tuntunanya.


Narasi “Wahyu Cakraningrat”
        
CAKRANINGRAT-ABIMANYU: Pada akhirnya Cakraningrat "manjing-angga" manunggal ke dalam jagad Abimanyu yang teruji memiliki semua syarat-syarat kepemimpinan. [Foto: Doc]
_____

Sebagai sebuah tuntunan maka pementasan wayang dengan lakon “Wahyu Cakraningrat” ini, sesungguhnya sarat dengan wewarah keteladanan pemimpin daerah, bukan saja pada masa “turunnya wahyu” dan penobatan pemegangnya; melainkan juga realitas keselanjutannya. Wewarah lakon ini memiliki korelasi dalam aspek kultural dan spiritualitas Jawa yang  mengkonstruksi nalar sehat. Nalar sehat yang dimaksud adalah suatu pemikiran dialektis yang berkesadaran budaya dan memiliki kecerdasan dalam memahami perkembangan situasi kedaerahannya.

Bagi seorang pemimpin, kecerdasan seperti ini menjadi sangat penting karena segala abstraksi karunia-karunia [baca: wahyu] Tuhan telah diamanahkan kepadanya. Jaiz Tuhan pula yang turun menggerakkan masyarakat pemilih untuk sebuah konsekuensi kepadanya menjadi pemimpin (ratu) dan bahkan menurunkan trah kepemimpinannya. Kecerdasan yang (lebih dari sekedar pintar tapi juga mengerti dan mampu memahami) ada pada seorang pemimpin mengkonstruksi kebijaksanaannya. Kebijaksanaan demikian tentu berkorelasi secara signifikan dengan keputusan-keputusan penting dalam kepemimpinannya. Dalam idiom politik ini disebut kebijakan daerah yang dipimpinnya.

Ini lah narasi “Wahyu Cakraningrat” yang, sekali lagi, sesungguhnya belum tamat lakonnya itu. Apakah pemimpin yang penobatannya telah disyukuri dengan suka-cita itu sebagai salah satu dari “kontestan” pemburu wahyu; sebagaimana dinarasikan dalam pewayangan semalam?

Antara Lesmana Mandrakumara, Samba Wisnubrata, dan Abimanyu; tak berhenti menjadi mitos kekuasaan daerah hari ini. Dialetika yang akan menentukannya...      


0 komentar:

Posting Komentar