ABIMANYU: Dalam "Wahyu Cakraningrat" Abimanyu diganggu oleh ancaman macan yang dalam asumsi dan realitas manusia umumnya menakutkan. Bagi pemimpin, tak ada watak takut menyikapi ancaman yang dimanifestasikan dalam sosok macan [Foto: Doc]
Di sela
menonton pagelaran wayang ini ada frasa limbukan
dan goro-goro; fase yang biasa
ditunggu-tunggu audiens umumnya. Karena materinya melulu guyon intermezzo,
joke-joke ataupun nyanyian yang menghibur. Proporsi populis pada jeda ini seolah berjalan linier dengan
trend dan selera kekinian pasar.
Catatan menarik
atas 2 fase ini pentas wayang alun-alun Kebumen adalah munculnya ungkapan “nguri-uri budoyo”
dari partisipan yang justru berasal dari kalangan pemangku kepentingan.
Sebegitu menariknya hingga memicu perdebatan kami pasca kedua priyayi ini nyawer sang waranggana di
depan audiens yang tersisa. Plus minus kemenarikannya terangkum dalam rangkaian
pertanyaan: Benarkah budaya [tradisi] kita telah rusak tersisih? Jika benar,
lalu siapa yang merusak dan menyisihkannya? Apakah karena itu lalu muncul frasa
“nguri-uri” budaya itu? Dan bagaimana cara kita memperlakukannya?
Barangkali memang
dalam bersit sesaat, saweran-saweran kepada
para pelaku bakal jadi “cara-cara baru” memperlakukan kesenian tradisi. Dengan
begitu lebih membuka kian lebar porsi tontonan ketimbang tuntunan. Tetapi,
sesungguhnya ini berkait kelindan dengan problem masyarakat apresian hari ini.
Dan bagaimana “Wahyu
Cakraningrat” turun sebagai wahyu keraton dan untuk selanjutnya manitis pada
seorang yang ditakdirkan sebagai “pancering ratu” tanah Jawa. Maka ini lah
makrifat tuntunanya.
Narasi “Wahyu Cakraningrat”
CAKRANINGRAT-ABIMANYU: Pada akhirnya Cakraningrat "manjing-angga" manunggal ke dalam jagad Abimanyu yang teruji memiliki semua syarat-syarat kepemimpinan. [Foto: Doc]
_____
Sebagai sebuah tuntunan maka pementasan wayang dengan
lakon “Wahyu Cakraningrat” ini, sesungguhnya sarat dengan wewarah keteladanan pemimpin daerah, bukan saja pada masa “turunnya
wahyu” dan penobatan pemegangnya; melainkan juga realitas keselanjutannya. Wewarah lakon ini memiliki korelasi
dalam aspek kultural dan spiritualitas Jawa yang mengkonstruksi nalar sehat. Nalar sehat yang
dimaksud adalah suatu pemikiran dialektis yang berkesadaran budaya dan memiliki
kecerdasan dalam memahami perkembangan situasi kedaerahannya.
Bagi seorang
pemimpin, kecerdasan seperti ini menjadi sangat penting karena segala abstraksi
karunia-karunia [baca: wahyu] Tuhan telah diamanahkan kepadanya. Jaiz Tuhan
pula yang turun menggerakkan masyarakat pemilih untuk sebuah konsekuensi kepadanya
menjadi pemimpin (ratu) dan bahkan menurunkan trah kepemimpinannya. Kecerdasan yang
(lebih dari sekedar pintar tapi juga mengerti dan mampu memahami) ada pada seorang
pemimpin mengkonstruksi kebijaksanaannya. Kebijaksanaan demikian tentu
berkorelasi secara signifikan dengan keputusan-keputusan penting dalam
kepemimpinannya. Dalam idiom politik ini disebut kebijakan daerah yang
dipimpinnya.
Ini lah narasi “Wahyu
Cakraningrat” yang, sekali lagi, sesungguhnya belum tamat lakonnya itu. Apakah
pemimpin yang penobatannya telah disyukuri dengan suka-cita itu sebagai salah
satu dari “kontestan” pemburu wahyu; sebagaimana dinarasikan dalam pewayangan
semalam?
Antara Lesmana
Mandrakumara, Samba Wisnubrata, dan Abimanyu; tak berhenti menjadi mitos
kekuasaan daerah hari ini. Dialetika yang akan menentukannya...
0 komentar:
Posting Komentar