Minggu, 28 Februari 2016

Tembang Macapat, Enerji dan Abstraksi Doa [2]

 SAMBUNG-RASA: Sessi kajian pasca pertunjukkan macapat. Sastrawan Tetet Srie WD memaparkan proses penciptaan sebagai jembatan mengapresiasi [Foto: Aris Panji Ws] 

Tak bisa dipungkiri bagaimana luruh suasana dalam Roemah Boedaya itu, dimana tembang-tembang jawa mengaliri jiwa yang hadir di serambinya. Seolah ada spektrum tafakur yang melingkar, tak terpisah, tapi juga tak terdera basah sisa hujan di luaran. Begitu lah suasana dibangun dari getar serangkaian tembang-tembang jawa yang dilantunkan dari titah rasa. Selain Ika Lustiyati, ada Na Dhien, KMA Arum, Ajang Mas, Sukinah, Heru RRI, Trimo Raharjo, Dian Kusumawati, Alek Sudianto, Wagimin, Surawan dan Nanang SP.

Banyak lagi orang hebat menepi di sini. Namun Serat Dras Sumunar juga terasa benar hebatnya. Karya Tetet Srie WD yang diselesaikan selama 2 tahun pada 1986; tak lekang pesona magisnya hingga hari ini. Bahkan sang Empu Anggit pada saat melantunkan pupuh Mijil seperti memuncaki kulminasi dalam reaktualisasi pergulatan seninya. Karya yang dibabar pertama justru di mancanegara, yakni di Neully sur Seine, Perancis; memang bukan karya biasa-biasa saja.

Terlebih bagaimana mengolah karya sastra dalam pementasan collaseum dengan kendala verbal dan bahasa yang berbeda; aspek pembelajaran berkesenian tentu jadi resensi dan referensi besar. Karena saat petikan Serat Dras Sumunar dihelat di negeri sendiri, pun mengalami kendala serupa. Untuk bisa memahami ikrah karya sastra Serat seperti ini memang butuh pergulatan lanjut dan intensitas dalam menyelami teleng kedalamannya.

“Saya kepranan menyimak Dras Sumunar ini. Seperti apa penjabaran prakarsa kepenulisannya..?”. Tak kurang seorang Ketua Umum DKD Kebumen Pekik Sat Siswonirmolo melansir tanya ihwal kegamangan interpretasi seputar ikrah karya ini, dalam respon apresiasinya.

“Dras Sumunar adalah sesuatu yang bersumber di telenging ati manusia”, urai Tetet Srie WD mengawali sambung rasa.

Teleng adalah pancer dari semesta hati, semesta yang mendadah laras kehidupan ke dalam krenteg, mobah-mosik jadi spektrum spiritualnya. Membaca ikrah Serat ini memang menemukan keterhanyutan, tapi yang menghidupkan takjub. Ini lah keterpengarahan itu...

// tapa tanpa alas kang jinarwi / wicaksana den langkung prayoga /gawanen amrih becike / eling nora gegupuh / puh apuhing raga kang aking / kingkin sang dewangkara / rasa den kawengku / kumadarna nggadhang yoga / gancar pun Rarindra Ratu Hestungkari / rinengkuh nulya asma //
[Dhandhanggula, Serat Dras Sumunar, Tetet Srie WD]

[to be continued]      

    

0 komentar:

Posting Komentar