SAMBUNG-RASA: Sessi kajian pasca pertunjukkan macapat. Sastrawan Tetet Srie WD memaparkan proses penciptaan sebagai jembatan mengapresiasi [Foto: Aris Panji Ws]
Tak bisa dipungkiri bagaimana luruh suasana
dalam Roemah Boedaya itu, dimana tembang-tembang jawa mengaliri jiwa yang hadir
di serambinya. Seolah ada spektrum tafakur yang melingkar, tak terpisah, tapi
juga tak terdera basah sisa hujan di luaran. Begitu lah suasana dibangun dari
getar serangkaian tembang-tembang jawa yang dilantunkan dari titah rasa. Selain Ika Lustiyati, ada Na Dhien,
KMA Arum, Ajang Mas, Sukinah, Heru RRI, Trimo Raharjo, Dian Kusumawati, Alek Sudianto,
Wagimin, Surawan dan Nanang SP.
Banyak lagi orang hebat menepi di sini.
Namun Serat Dras Sumunar juga terasa
benar hebatnya. Karya Tetet Srie WD yang diselesaikan selama 2 tahun pada 1986; tak lekang pesona magisnya hingga hari
ini. Bahkan sang Empu Anggit pada
saat melantunkan pupuh Mijil seperti
memuncaki kulminasi dalam reaktualisasi pergulatan seninya. Karya yang dibabar
pertama justru di mancanegara, yakni di Neully
sur Seine, Perancis; memang bukan karya biasa-biasa saja.
Terlebih bagaimana mengolah karya sastra
dalam pementasan collaseum dengan
kendala verbal dan bahasa yang berbeda; aspek pembelajaran berkesenian tentu
jadi resensi dan referensi besar. Karena saat petikan Serat Dras Sumunar dihelat di negeri sendiri, pun mengalami kendala
serupa. Untuk bisa memahami ikrah
karya sastra Serat seperti ini memang
butuh pergulatan lanjut dan intensitas dalam menyelami teleng kedalamannya.
“Saya kepranan
menyimak Dras Sumunar ini. Seperti
apa penjabaran prakarsa kepenulisannya..?”. Tak kurang seorang Ketua Umum DKD
Kebumen Pekik Sat Siswonirmolo melansir tanya ihwal kegamangan interpretasi
seputar ikrah karya ini, dalam respon apresiasinya.
“Dras Sumunar adalah sesuatu yang bersumber
di telenging ati manusia”, urai Tetet
Srie WD mengawali sambung rasa.
Teleng adalah pancer dari semesta hati, semesta yang mendadah laras kehidupan ke dalam
krenteg, mobah-mosik jadi spektrum spiritualnya. Membaca ikrah Serat ini memang menemukan
keterhanyutan, tapi yang menghidupkan takjub. Ini lah keterpengarahan itu...
//
tapa tanpa alas kang jinarwi / wicaksana den langkung prayoga /gawanen amrih
becike / eling nora gegupuh / puh apuhing raga kang aking / kingkin sang
dewangkara / rasa den kawengku / kumadarna nggadhang yoga / gancar pun Rarindra
Ratu Hestungkari / rinengkuh nulya asma //
[Dhandhanggula,
Serat Dras Sumunar, Tetet Srie WD]
[to be continued]
0 komentar:
Posting Komentar