Ayu Utami
Novelis
18 Feb 2016
Chairil Anwar
Kayak apa sih
perkembangan sastra Indonesia? Saya kerap mendapat pertanyaan itu dari orang
asing (dan orang dalam negeri juga sebenarnya) dan harus menjawab dalam waktu
kurang dari sepuluh menit. Jadi, ini biasanya yang saya katakan bagi mereka
yang buta sastra Indonesia:
1. Apa itu sastra Indonesia? Indonesia masih
muda. Republik ini baru berdiri 1945. Bahasa Indonesia baru dideklarasikan
tahun 1928. Sebelum itu? Yang ada sastra berbahasa daerah. Sastra Melayu, Jawa,
Bali, Bugis, dll. Merekalah cikal-bakal khazanah sastra Indonesia kemudian.
Kalau ingin mencicipi, ada
beberapa teks yang telah diterjemahkan dan masih beredar: Negarakertagama (Mpu Prapanca), Wedhatama (Mangkunegara IV), La Galigo (anonim,
Bugis), dll. Biasanya, kesusastraan ini bersifat religius-spiritual dan dekat
dengan keraton. Sebutlah ini babak “Sastra Berbahasa Daerah”.
2. “Sastra
Indonesia dalam bahasa Belanda.” Sebelum Indonesia merdeka, kaum intelektual memakai bahasa
penjajah: Belanda. Tulisan-tulisan berbahasa Belanda dari masa ini (sekitar
1900 sd 1945), yang berharga sampai sekarang, membawakan sikap kritis perihal
kolonialisme.
Yang wajib
kita baca adalah surat-surat Kartini (terjemahannya diterbitkan dalam
beberapa versi). Surat Kartini adalah karya sastra non fiksi yang sangat berharga.
Selain itu, baca juga Max Havelaar (novel karya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker). Keduanya
menginspirasi semangat kebangsaan sehingga terus dikenang di era Indonesia
merdeka.
3. “Sastra
dalam bahasa Melayu.” Bahasa
Melayu adalah bahan dasar bahasa Indonesia. Ia adalah lingua
franca di nusantara.
Ada bahasa Melayu yang digunakan kaum pujangga dan cendekia
kesultanan-kesultanan Melayu.
Ada juga yang
dipakai untuk berdagang dan komunikasi umum—biasa disebut Melayu Pasar. Untuk
mengintip teks yang masih tersedia, bisa cari Gurindam Duabelas karya Raja Ali Haji, yang berisi petatah-petitih. Itu yang
menggunakan Melayu tinggi.
Sementara itu,
mendekati 1900 hingga kemerdekaan, banyak novel berbahasa Melayu Pasar yang
ditulis dan diterbitkan oleh orang-orang Tionghwa. Ketika itu, mereka sudah
maju dalam industri media cetak.
Kalau mau baca, silakan pilih Drama
di Boven Digul karya
Kwee Tek Hoay, pernah diterbitkan ulang beberapa tahun lalu. Temanya berkenaan
dengan situasi penjajahan juga. Para penulis Tionghwa besar perannya, tapi
sering tidak diakui dalam sejarah sastra kita.
4. “Balai
Pustaka.” Di awal
1900-an itu, setelah ada politik etis, pemerintah Belanda ingin memberi bacaan
yang [mereka anggap] baik dalam bahasa-bahasa di negeri jajahan, terutama
bahasa Melayu. Mereka membuat Balai Pustaka yang menerbitkan karya-karya yang
dianggap memenuhi syarat.
Karena didirikan
Belanda, tentu saja buku-buku terbitan Balai Pustaka tidak kritis terhadap
penjajahan. Tema menonjol: konflik antara adat dan modernitas. Contoh yang
sangat terkenal: Siti Nurbaya (Marah Roesli), Tenggelamnya Kapan van der Wijk (Hamka)—keduanya pernah dijadikan film.
5. “Pujangga
Baru.” Ini nama
majalah yang diterbitkan oleh trio Sutan Takdir Alisjahbana, Armyn Pane, dan
Amir Hamzah tahun 30-an. Mereka ingin sebuah terbitan yang independen, tak
seperti Balai Pustaka, yang dikontrol Belanda.
Para intelektual
di balik Pujangga Baru sangat
sadar akan proyek kebangsaan. Dalam semangat Sumpah Pemuda, mereka
“menciptakan” bahasa Indonesia untuk kesusastraan bangsa yang baru—mencampur
dan menyerap kata-kata daerah ke dalam bahasa Melayu, tindakan yang
kontroversial di masa itu.
Benih puisi
modern Indonesia mulai lahir. Yang paling sering disebut sampai sekarang adalah
karya Amir Hamzah (penyair ini wafat secara tragis, dibunuh oleh barisan anti
bangsawan di masa revolusi kemerdekaan). Pujangga Baru berhenti terbit ketika Jepang berkuasa.
6. “Angkatan
45.” Ini tahun
Revolusi Kemerdekaan. Istilah “angkatan” juga tak bisa dilepaskan dari jargon
revolusi dan semangat zaman. Tiga nama yang sering disebut adalah Chairil
Anwar, Rivai Apin dan Asrul Sani, yang menerbitkan kumpulan puisi Tiga
Menguak Takdir, yang
menantang pendekatan Sutan Takdir.
Tapi, yang paling
ikonik tentu saja Chairil Anwar. Puisi-puisinya sangat berbeda dari tradisi
puisi sebelumnya. Sangat kontemporer. Bahkan masih bisa kita nikmati tanpa
terasa kuno sampai sekarang! Hampir semua anak Indonesia ingat sajak “Aku”.
7. “Modernisme
dan Sastra Indonesia.”
Ini bukan periodisasi waktu, melainkan pembabakan tematis yang bisa kita pakai
untuk melihat sastra Indonesia menjelang dan di awal kemerdekaan. Katakanlah,
dari era Sumpah Pemuda hingga Demokrasi Terpimpin (1930-an sd 60-an).
Proses modernisme di Indonesia
terjadi bersama kesadaran nasionalisme. Kemajuan, kemerdekaan, humanisme adalah kata-kata kunci dalam memahami babak ini. Yang wajib
dibaca untuk tema ini setidaknya Pramoedya Ananta Toer dan Sutan Takdir
Alisjahbana. Setidaknya, bacalah Bumi Manusia dari Pram, dan Layar Terkembang dari Takdir.
8. “Polemik
dan Politik Sastra.” Ini
juga perspektif lain yang bisa dipakai untuk mendalami sastra Indonesia di era
yang lebih panjang. Para sastrawan tidak hanya mengarang cerita atau menulis
puisi. Mereka juga beradu pendapat, bersikap politis, bermusuhan.
Polemik adalah
pertentangan pendapat secara terbuka, biasanya antara dua kubu. Setidaknya, ada
dua polemik yang wajib diingat. Pertama, Polemik Kebudayaan di tahun 30-an. Topiknya: apakah sastra Indonesia
harus baru, lepas dari belenggu masa lalu dan nilai-nilai Timur, atau
sinambung.
Untuk mendalami
ini, baca Polemik Kebudayaan (editor Achdiat Karta Mihardja). Politik Kebudayaan ini bersifat
intelektual, tak sampai saling cacimaki. Yang kedua,
perseteruan antara kelompok Lekra (organisasi di bawah payung PKI) melawan
Manifes Kebudayaan di tahun 60-an, yang berakhir bersama peristiwa berdarah
1965-66. Perseteruan ini kasar dan melibatkan tindakan sensor. Bahkan masih
menimbulkan debat panas hingga saat ini.
9. “Sastra
dan Rezim Militer.” Setelah
G30S dan pembunuhan massal terhadap tertuduh PKI (1965-66), Indonesia memasuki
rezim militer di bawah Jenderal Soeharto. Di masa ini ada pertumbuhan ekonomi
yang pesat. Daya beli meningkat.
Lahirlah
novel-novel populer, misalnya karya Marga T, Mira W, Ashadi Siregar, Motinggo
Busye, dll. Sering kali novel populer tidak mengangkat tema politis. Di ujung
lain, ada pengarang yang berusaha menyingkapkan ketidakadilan dan menyuarakan
korban.
Novelis yang
menggarap tema itu secara hati-hati, antara lain: Umar Kayam, YB Mangunwijaya
alias Romo Mangun, Ahmad Tohari, Seno Gumira Ajidarma. Era ini juga ditandai
pelarangan, misalnya terhadap karya Pramoedya dan penampilan penyair W.S.
Rendra. Penyair Wiji Thukul termasuk orang hilang, diduga karena puisi-puisinya
yang kritis. Salah satu kutipannya yang sangat terkenal: Hanya
ada satu kata: Lawan!
10. “Reformasi.” Reformasi Indonesia kebetulan diawali
oleh maraknya filsafat postmodernisme. Pendekatan dan kritik sastra di tahun
1990-an didominasi wacana postmodernisme. Saya sendiri menerbitkan novel
pertama di era ini: Saman,
yang mendapat penghargaan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1998 karena
dianggap menulis dengan cara baru, mendobrak tabu dan meluaskan cakrawala
sastra Indonesia.
Kejutannya, sepuluh hari setelah
peluncuran Saman,
Presiden Soeharto mundur. Rezim militer usai! Setidaknya tujuh tahun pertama
era Reformasi dipenuhi dengan karya yang mengusung tema kebebasan.
Pengarang
perempuan urban bermunculan—Jenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Vira Basuki,
dll—sehingga ada istilah yang sebenarnya agak mengejek, “sastra wangi”.
+1. Hingar
bingar Era Digital.
Perubahan politik Indonesia terjadi bersamaan dengan revolusi teknologi di
seluruh dunia. Kini adalah era digital. Teknologi ini memudahkan penerbitan dan
penyebaran teks. Keadaan sangat ramai dan bising. Segala pilihan ada. Dari
aspek best seller,
trend kebebasan di awal Reformasi bergeser menjadi trend novel religi dan
cerita sukses.
Contohnya, Ayat-ayat
Cinta (Habiburrahman
El Shirazy) dan Laskar Pelangi (Andrea Hirata). Pelbagai eksplorasi dan eksperimen sastra
terjadi, seperti penulisan novel ramai-ramai sampai fiksimini. Anak-anak muda
menulis dengan bahasa Inggris dan menampilkan “spoken words” tanpa rasa menyalahi keindonesiaan. Ada banyak perubahan paradigma
yang belum diteliti. Di tengah hingar-bingar ini, kritik sastra pontang-panting
mengimbangi kecepatan produksi sastra...
Di tengah bising
itulah, semoga tulisan yang [terpaksa] simplistis ini bisa membantu siapapun
yang awam untuk melihat peta besar sastra Indonesia. Sambil kita menunggu
kritik atau penjelasan yang lebih dalam. Misalnya, buku Anton Kurnia (Mencari
Setangkai Daun Surga) yang
akan terbit akhir Februari 2016 ini.
Sumber: Qureta
0 komentar:
Posting Komentar