Minggu, 28 Februari 2016

Tembang Macapat, Enerji dan Abstraksi Doa [3]

// bertapa tanpa rimba yang terpeta / bijaksana lebih baiknya / bawa lah demi kebaikan / ingat tidak gegabah / menyadari badan yang ringkih / suramnya sang cakrawala / rasa yang terbingkai / terurai mengharap atas anak / lancar si Rarindra Ratu Hestungkari / dalam pelukan lanjut nama //

SERAT: Tradisi dalam karya Serat yang bukan saja sarat muatan ajar mengenai kearifan yang tetep relevan, tapi juga elaborasi pemikiran-pemikiran kekinian [Foto: Mario M Sano]    

Sinyalemen yang dapat ditarik dari sharing Tetet Srie WD bahwa lahirnya Serat Dras Sumunar melalui tapa keprihatinan seorang ayah yang tekun  bermunajat, bahwa anak putrinya (Rarindra Ratu Hestungkari) dapat lah mencapai bontos kaweruh, merengkuh kebijaksanaan tinggi serta kemuliaan dalam perjalanan hidupnya; tak melenceng dari wiradat atas sang anak. Secara naluriyah, bagi sastrawan jawa yang telah melanglang buwana ini menempatkan fitrah keperempuanan sebagai kemuliaan.  

Capaian derajad kemuliaan putrinya adalah rengkuhan derajat kemuliaan linimasa perempuan jawa pada umumnya. Apa yang tersurat dalam Serat Dras Sumunar, dengan begitu, mereposisikan diri sebagai rangkuman asa penciptaannya. Jadilah ia -Serat Dras Sumunar itu- semacam abstraksi dari doa. Tentu, sublimasi kosakata pilihan masih saja menghamparkan ruang dan kisi-kisi yang dapat memunculkan interpretasi yang berbeda.

Yang jelas, usaha mengapresiasi karya sastra Jawa itu tak bisa pasifistik dengan berhenti setelah mendengarkan serangkaian tembang atau pun liris-liris geguritan belaka; yang dalam pagelaran macapat di Roemah Martha Tilaar dikonfigurasikan sebagai transisi fase-fase pergantian pupuh. Macapat sendiri, dalam bentuknya sebagai pupuh itu; mengkerangkai bagaimana secara spesifik kita dibuat mengaktifkan nalar berikut sensitivitasnya.

Begini lah masyarakat Jawa membangun kecerdasannya dalam dialektika amemayu hayuning bawana itu...                   

0 komentar:

Posting Komentar