//
bertapa tanpa rimba yang terpeta / bijaksana lebih baiknya / bawa lah demi
kebaikan / ingat tidak gegabah / menyadari badan yang ringkih / suramnya sang
cakrawala / rasa yang terbingkai / terurai mengharap atas anak / lancar si
Rarindra Ratu Hestungkari / dalam pelukan lanjut nama //
SERAT: Tradisi dalam karya Serat yang bukan saja sarat muatan ajar mengenai kearifan yang tetep relevan, tapi juga elaborasi pemikiran-pemikiran kekinian [Foto: Mario M Sano]
Sinyalemen yang dapat ditarik dari sharing Tetet Srie WD bahwa lahirnya Serat Dras Sumunar melalui tapa keprihatinan seorang ayah yang
tekun bermunajat, bahwa anak putrinya
(Rarindra Ratu Hestungkari) dapat lah mencapai bontos kaweruh, merengkuh kebijaksanaan
tinggi serta kemuliaan dalam perjalanan hidupnya; tak melenceng dari wiradat atas sang anak. Secara
naluriyah, bagi sastrawan jawa yang telah melanglang
buwana ini menempatkan fitrah keperempuanan sebagai kemuliaan.
Capaian derajad kemuliaan putrinya adalah
rengkuhan derajat kemuliaan linimasa perempuan jawa pada umumnya. Apa yang
tersurat dalam Serat Dras Sumunar, dengan
begitu, mereposisikan diri sebagai rangkuman asa penciptaannya. Jadilah ia -Serat
Dras Sumunar itu- semacam abstraksi dari doa. Tentu, sublimasi kosakata pilihan
masih saja menghamparkan ruang dan kisi-kisi yang dapat memunculkan
interpretasi yang berbeda.
Yang jelas, usaha mengapresiasi karya
sastra Jawa itu tak bisa pasifistik dengan
berhenti setelah mendengarkan serangkaian tembang atau pun liris-liris geguritan belaka; yang dalam pagelaran
macapat di Roemah Martha Tilaar
dikonfigurasikan sebagai transisi fase-fase pergantian pupuh. Macapat sendiri, dalam bentuknya sebagai pupuh itu; mengkerangkai bagaimana secara spesifik kita dibuat mengaktifkan
nalar berikut sensitivitasnya.
0 komentar:
Posting Komentar