Tembang
Macapat, Enerji dan Abstraksi Doa
Tetet Srie WD di tengah Gelar Macapat "Serat Dras-Sumunar" di Roemah Budaya Martha Tilaar [Foto: Aris Panji Ws]
Serangkaian
pupuh tembang jawa dalam bunga rampai “Dras Sumunar” usai digelar di Roemah Martha Tilaar Gombong Kebumen (27/2/2016). Rangkaian yang lengkapnya
terdiri dari 1.000 gatra [pada_jw] tembang
seperti Dhandhanggula, Mijil, Sinom,
Pangkur dan Durma, karya Tetet
Srie WD, yang telah dipentaskan di berbagai negara Asia, Eropa dan Afrika. Petikan
karya sastra Jawa ini dilantunkan langsung oleh Tetet Srie WD dengan melibatkan
tak kurang dari 10 orang termasuk 3 seniman yang menyertai perjalanannya;
Na Dhine, Heru RRI dan KMA Arum. Beberapa seniman setempat juga menyertai perhelatan
langka ini...
Serat sebagai karya sastra Jawa tak melulu
lahir dalam budaya tradisi di masa yang telah berlalu. Masyarakat lama telah mengenal
berbagai karya sastra adiluhung sejenis
sebagai bagian khasanah kesusasteraan lama. Dalam khasanah klasik itu setidaknya
ada Serat Pararaton, Wedhatama,
Wulangreh, Tripama, Centhini, Jayeng Baya, Sasangka Jati, Sabdo Palon, hingga
karya fenomenal seperti Serat Gatholoco dan
Darmo Gandul; serta banyak lagi karya
klasik lainnya. Sedang di era kekinian tradisi serat ini terus dielaborasi oleh
para sastrawan Jawa. Salah satu penulis sastra Jawa [baca: pangripta_pen] serat ini adalah Tetet Srie WD dengan karya Serat Dras-Sumunar (1986).
Karya yang dalam serat aslinya terdiri tak
kurang dari 1.000 gatra tembang macapat
ini memuat aspek falsafah perjalanan hidup manusia, dari soal-soal cinta, gejolak
muda, pengembaraan, bahkan juga kritik sosial hingga kawruh seputar kearifan dan
nilai-nilai spiritualitas kehidupan. Ada sajian pengantar dari rintisan Teater Kopong menyertai. Helatan bernuansa
ritus menyimak tembang-tembang macapat namun
jadi terasa gayeng hingga usai
dinarasikan. Diikuti sambung rasa dibawah
fasilitator Sigit Tri Prabowo.
TETET SRIE WD: Penampilan penulis serat "Dras Sumunar" di Roemah Martha Tilaar Gombong [Foto: Mario M. Sano]
Penulisnya, Tetet Srie WD; berada di tengah deretan penembang dengan konfigurasi simbolik yang fokusnya menggambarkan visi kesastraan dari karya seratnya. Ini muncul pada fase tembang dengan sepuluh gatra pupuh Dhandhanggula yang dilantunkan perempuan muda berbakat Ika Lustiati, siswi SMA1 Gombong. Konfigurasi demikian menjelaskan bagaimana sastrawan yang juga seorang koreografer Tetet Srie WD ini ingin menempatkan tema besar kesetaraan gender sebagai sebuah arus utama yang menghilir karyanya. Mainstreaming mana, dalam karya visioner Serat Dras-Sumunar ini mengeksplor basis kultural dan filosofi Jawa yang melandasinya; yang membedakan Sastra Jawa dengan Sastra Barat.
Penulisnya, Tetet Srie WD; berada di tengah deretan penembang dengan konfigurasi simbolik yang fokusnya menggambarkan visi kesastraan dari karya seratnya. Ini muncul pada fase tembang dengan sepuluh gatra pupuh Dhandhanggula yang dilantunkan perempuan muda berbakat Ika Lustiati, siswi SMA1 Gombong. Konfigurasi demikian menjelaskan bagaimana sastrawan yang juga seorang koreografer Tetet Srie WD ini ingin menempatkan tema besar kesetaraan gender sebagai sebuah arus utama yang menghilir karyanya. Mainstreaming mana, dalam karya visioner Serat Dras-Sumunar ini mengeksplor basis kultural dan filosofi Jawa yang melandasinya; yang membedakan Sastra Jawa dengan Sastra Barat.
Dunia Barat sendiri menyambut pentas “Dras-Sumunar”
sebagai karya serat yang dipanggungkan dengan pernik spektakularitasnya...
0 komentar:
Posting Komentar