Minggu, 19 Mei 2019

Menggagas Repertoar ‘baru’ Cepet Dangsak

Catatan: Aris Panji Ws – 18 Mei 2019


 CEPET-LESUNG: Pertunjukan kolaborasi seni Cepet Dangsak Watulawang dengan Lesung Bonorowo di plaza utara alun-alun Kebumen. Proses pembaharu yang terus difasilitasi [Foto: SRMB]

Rubungan kecil di salah satu petarangan Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB), Sabtu (18/5) menelurkan ide seputar bagaimana mendudah dan mendadah tataran lanjut kesenian tradisi yang pernah dicuatkan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen; Cepetan Alas. Seni tradisi -pada entitas lainnya dinamai Tongbreng atau Dhangsak- yang nyaris kehilangan pamor ini pada satu dekade lalu, sesungguhnya, bukan lah semata sebuah seni pertunjukan

Dalam konteks sejarah tradisionalnya, kemunculan seni ‘topeng sosok’ ini memang tak berdiri sendiri. Ia tumbuh dan berkorelasi dengan ritual-ritual tertentu pada tradisi yang ada di beberapa desa yang membidaninya. Desa Karangtengah, Kajoran, Karangjoho, Sentul-Kalirejo, Silampeng-Gunungsari di Karanggayam, maupun Watulawang dan Peniron di Pejagoan hulu1. Ditengarai pula kemunculannya di tlatah Alian. Belakangan, meski hilang tergerus zaman, disinyalir adanya tradisi ‘cepetan’ melalui ritual racukan di masa lalu pada beberapa desa seperti Klapasawit, Sangubanyu dan pesisiran Urutsewu. 

Dari aspek sejarah, menurut penuturan mBah Ruslan2 kesenian ini bahkan merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap eksistensi budaya kolonialisme di masa lalu. Itu sebabnya mengapa dari desa-desa sekitar basis perkebunan onderneming pemerintah kolonial Hindia-Belanda lah, kelompok tradisi berkesenian ini lahir.

Meski memang tak ada referensi teks yang berkaitan langsung dengan sejarah kelahirannya, namun bukan berarti testimoni para pelaku dan penutur dari masa lalu ini tak penting. Karena apa? Jelas bahwa tradisi literasi itu tak melulu yang manifest dalam bentuk teksbook. Dan testimoni para penutur tradisi ini tentu bisa dijadikan telusur awal bagi periwayatan yang shahih.

Ketoprak Dangsak

Ketika DKD mendedah dan mempromosikan seni Cepetan atau Dhangsak ini sebagai salah satu icon seni tradisi Kebumen, akselerasi citra dan corak asli dalam konteks nya seolah berlaga dengan irisan mitos bahwa Cepet itu makhluk halus pengganggu kehidupan manusia. Mitos ini dikonstruksi melalui dongeng-dongeng klasik yang berkonotasi negatif, tanpa mempertimbangkan realitas bahwa justru manusia lah yang acap merusak keseimbangan hidup dan lingkungannya.

Ironisnya, terjadi penguatan yang berkonotasi negatif ini melalui beberapa koreografi tarian yang digarap seniman lainnya. Paradoks ini dinilai bakal makin bias interpretasi dan bahkan ‘menjerumuskan’ seni Cepetan, ketika dikemas menjadi paket-paket pembelajaran yang didistribusi ke sekolah-sekolah resmi. Jelas, dalam konteks pendidikan DKD bakal terkena percik getahnya.

Seiring dengan keinginan untuk menempatkan seni Cepetan pada alur dan materi historisnya, DKD membangun narasi baru dengan mengkolaborasi seni topeng sosok ini melalui pendekatan dan konsep ketoprak. Jadi lah “Ketoprak Dangsak”. Seorang penulis cerita Pekik Sat Siswonirmolo menulis lakon carangan Reksa Mustika Bumi. Saat dipanggungkan, narasi baru ini memuat pesan moral yang membangunkan tafsir baru audiens penontonnya  Rupanya bisa sedikit mendorong Cepetan ke tengah panggung dengan sajian performa lebih baru.


Beberapa testcase pertunjukan di panggung lokal menghasilkan promosi kelayakan pentas yang menjembatani pertunjukan hingga ke luar kota. Dan antusiasme penonton PRPP Jateng maupun TBRS Semarang3 boleh dijadikan salah satu ukuran bahwa upaya pembaharuannya telah mendapat tempat dan diterima khalayak. Sementara di sisi lain ‘polemik’ kecil yang dipicu oleh konotasi Cepet dengan stigma negatif yang dilekatkan, tetaplah berjalan  terbelah melewati dua jalur dikotomisnya yang berbeda.

Upaya naratif yang panjang dalam membangun perspektif baru atas seni tradisi Cepet Dangsak sebagai icon daerah ini, di satu sisi menghasilkan ‘perang’ wacana, antara dikotomi pengganggu dan penjaga pun berlanjut. Namun ini sekaligus membukakan peluang percaturan baru di sisi lainnya.

Dan karena berkesenian itu memerdekakan dalam makna tak menjustifikasi; maka ide melahirkan ‘repertoar baru’ muncul malam-malam itu...
[ap]

2 Ruslan, Mohamad; 2010

0 komentar:

Posting Komentar