Catatan: Aris Panji Ws – 18
Mei 2019
Rubungan kecil di salah satu petarangan Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB), Sabtu (18/5) menelurkan
ide seputar bagaimana mendudah dan mendadah tataran lanjut kesenian tradisi
yang pernah dicuatkan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen; Cepetan Alas. Seni
tradisi -pada entitas lainnya dinamai Tongbreng
atau Dhangsak- yang nyaris
kehilangan pamor ini pada satu dekade lalu, sesungguhnya, bukan lah semata
sebuah seni pertunjukan
Dalam konteks sejarah tradisionalnya, kemunculan seni ‘topeng
sosok’ ini memang tak berdiri sendiri. Ia tumbuh dan berkorelasi dengan
ritual-ritual tertentu pada tradisi yang ada di beberapa desa yang
membidaninya. Desa Karangtengah, Kajoran,
Karangjoho, Sentul-Kalirejo, Silampeng-Gunungsari di Karanggayam, maupun
Watulawang dan Peniron di Pejagoan hulu1. Ditengarai pula kemunculannya di tlatah
Alian. Belakangan, meski hilang tergerus zaman, disinyalir adanya
tradisi ‘cepetan’ melalui ritual racukan di
masa lalu pada beberapa desa seperti Klapasawit, Sangubanyu dan pesisiran
Urutsewu.
Dari aspek sejarah, menurut penuturan mBah Ruslan2 kesenian ini bahkan
merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap eksistensi budaya
kolonialisme di masa lalu. Itu sebabnya mengapa dari desa-desa sekitar basis
perkebunan onderneming pemerintah kolonial
Hindia-Belanda lah, kelompok tradisi berkesenian ini lahir.
Meski memang tak ada referensi teks yang berkaitan langsung
dengan sejarah kelahirannya, namun bukan berarti testimoni para pelaku dan
penutur dari masa lalu ini tak penting. Karena apa? Jelas bahwa tradisi literasi
itu tak melulu yang manifest dalam bentuk teksbook. Dan testimoni para penutur tradisi
ini tentu bisa dijadikan telusur awal bagi periwayatan yang shahih.
Ketoprak Dangsak
Ketika DKD mendedah
dan mempromosikan seni Cepetan
atau Dhangsak ini sebagai salah satu icon seni tradisi Kebumen, akselerasi
citra dan corak asli dalam konteks nya seolah berlaga dengan irisan mitos bahwa
Cepet itu makhluk halus pengganggu
kehidupan manusia. Mitos ini dikonstruksi melalui dongeng-dongeng klasik yang
berkonotasi negatif, tanpa mempertimbangkan realitas bahwa justru manusia lah
yang acap merusak keseimbangan hidup dan lingkungannya.
Ironisnya, terjadi penguatan yang berkonotasi negatif ini
melalui beberapa koreografi tarian yang digarap seniman lainnya. Paradoks ini
dinilai bakal makin bias interpretasi dan bahkan ‘menjerumuskan’ seni Cepetan, ketika dikemas menjadi
paket-paket pembelajaran yang didistribusi ke sekolah-sekolah resmi. Jelas,
dalam konteks pendidikan DKD bakal terkena percik getahnya.
Seiring dengan keinginan untuk menempatkan seni Cepetan pada alur dan materi
historisnya, DKD membangun narasi baru dengan mengkolaborasi seni topeng sosok
ini melalui pendekatan dan konsep ketoprak.
Jadi lah “Ketoprak Dangsak”. Seorang penulis cerita Pekik Sat Siswonirmolo
menulis lakon carangan Reksa Mustika
Bumi. Saat dipanggungkan, narasi baru ini memuat pesan moral yang
membangunkan tafsir baru audiens penontonnya
Rupanya bisa sedikit mendorong Cepetan
ke tengah panggung dengan sajian performa lebih baru.
Beberapa testcase pertunjukan
di panggung lokal menghasilkan promosi kelayakan pentas yang menjembatani pertunjukan
hingga ke luar kota. Dan antusiasme penonton PRPP Jateng maupun TBRS Semarang3
boleh dijadikan salah satu ukuran bahwa upaya pembaharuannya telah mendapat tempat
dan diterima khalayak. Sementara di sisi lain ‘polemik’ kecil yang dipicu oleh
konotasi Cepet dengan stigma negatif
yang dilekatkan, tetaplah berjalan terbelah
melewati dua jalur dikotomisnya yang berbeda.
Upaya naratif yang panjang dalam membangun perspektif
baru atas seni tradisi Cepet Dangsak sebagai
icon daerah ini, di satu sisi menghasilkan
‘perang’ wacana, antara dikotomi pengganggu dan penjaga pun berlanjut. Namun ini
sekaligus membukakan peluang percaturan baru di sisi lainnya.
Dan karena berkesenian itu memerdekakan dalam makna tak
menjustifikasi; maka ide melahirkan ‘repertoar baru’ muncul malam-malam itu...
[ap]
2 Ruslan, Mohamad; 2010
0 komentar:
Posting Komentar