Minggu, 02 Juni 2019

Prosesi Mudik Seniman Pantomim Bandung


2 Juni 2019 11:20 WIB

Mudik ala kelompok pantomim Mixi Imajimimetheatre Indonesia di Bandung. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)

BANDUNG, bandungkiwari - Mudik, sebuah kata yang memiliki tafsir luar biasa. Kata sederhana yang acap kali membuat banyak orang kelimpungan menghadapinya. Tidak terkecuali bagi jutaan umat manusia di negeri ini. Setiap akhir Ramadhan orang berlomba memerjuangkan hak mudik untuk bertemu sanak saudara dan handai taulan. .

Tafsir mudik yang bukan hanya sebatas memindahkan tubuh sesaat ke kampung halaman, memiliki makna lain bagi kelompok pantomim Mixi Imajimimetheatre Indonesia.

Seperti pada tahun sebelumnya, kelompok ini melakukan pertunjukan pantomim mudik atau Nyusur History Mudik Movement 8.

Mudik ala kelompok pantomim Mixi Imajimimetheatre Indonesia di Bandung. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)

Tahun ini Mixi Imajimimetheatre Indonesia mengusung tema: “Seni Mudik, Mudik Bersenilah”. Satu repertoar yang mengisahkan segerombolan tubuh-tubuh perantau berjalan mencari arah jalan menuju pulang ke kampung halaman.

Mereka seakan terjebak dalam migrasi tubuh bising kota. Kadang gerombolan itu diam. Menyapa. Senyum menyeringai, bertanya-tanya pada publik yang lalu lalang.

Mudik ala kelompok pantomim Mixi Imajimimetheatre Indonesia di Bandung. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
"Tapi tubuh-tubuh itu terus mencari di mana kelak mereka menemui tubuhnya sendiri. Tubuh mereka menjelma menjadi tubuh pembawa pesan, tubuhnya menjadi tubuh seni di ruang yang berderu polutan, bernapas raungan dan kerutan dahi dari kebingungan pilihan diantara ketidakpastian," ucap Wanggi Hoed yang mengomandani kelompok gerakan tanpa suara ini, di Bandung, Sabtu (1/6).
Mudik sendiri di mata Wanggi bernilai estetik. Baginya para pemudik itu adalah aktor yang menerjemahkan panggung dalam realitas sosial.

Mudik ala kelompok pantomim Mixi Imajimimetheatre Indonesia di Bandung. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
"Mereka hadir di kampung halamannya nanti dengan sangat berseni. Pemilihan pakaian yang dibeli buat lebaran menjadi hal penting untuk menunjang sisi estetika lebaran," tegasnya.
Memang tidak bisa dipungkiri, meningkatnya daya beli masyarakat untuk lebaran yang menghadirkan barang baru demi memerlihatkan keindahan.
Rumah yang dicat baru, hordeng yang diganti, bahkan toples cantik yang menghias meja dihadirkan demi mudik yang berseni.

Mudik ala kelompok pantomim Mixi Imajimimetheatre Indonesia di Bandung. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)

Lebaran menjadi puncak estetika setiap rumah tangga di manapun berada. Tanpa memandang strata sosial. Sang pemilik rumah tentu berusaha sekuat tenaga menghadirkan keindahan dan keresikan demi kenyamanan dan makna terdalam lebaran.

Terlepas dari obrolan tentang repertoar mereka. Sabtu (1/6) sore itu yang diiringi gerimis yang memulas wajah kota, Mixi Imajimimetheatre Indonesia berinteraksi langsung dengan masyarakat.

Mudik ala kelompok pantomim Mixi Imajimimetheatre Indonesia di Bandung. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)

Mereka hadir tanpa suara, tetapi sarat dengan bahasa menginterupsi keberadaan masyarakat yang sibuk menunggu buka puasa.

Tulisan di kertas yang memertanyakan dan menyatakan 'Kampungku, Kampungku, Di mana', 'Mencari Tanah Leluhur' atau 'Mencari Kampung Halaman', seolah mengingatkan kembali masyarakat pada esensi mudik.

Mudik ala kelompok pantomim Mixi Imajimimetheatre Indonesia di Bandung. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
"Pulang adalah peristiwa seni kehidupan dimana kita kembali ke asal di mana kita lahir," ujar Wanggi usai merecoki masyarakat dari Simpang Lima sampai Alun-alun Bandung.
Mudik memang seni yang melahirkan banyak kisah perjalanan, sementara lebaran adalah puncak keindahan yang memoles kembali manusia pada kesucian.

Mudik ala kelompok pantomim Mixi Imajimimetheatre Indonesia di Bandung. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
"Selamat Lebaran Hari Raya Idul Fitri 1440 H. Selamat Merayakan Mudik Semuanya", akhirnya manusia berpupur putih itu mengeluarkan kalimat, seraya menyusur jalanan. Menepi dari keramaian demi seteguk air putih dan pikiran pulang yang menggerogoti tubuh sosialnya. (Agus Bebeng)

0 komentar:

Posting Komentar