WAYANG SANTRI: Pementasan
Wayang Santri yang direaktualiai dalang Wido Seno Aji dari alm. Entus Susmono
(11/5) di Panggung Terbuka Ratih TV Kebumen [Foto: AP]
Reaktualisasi kisah-kisah klasik dalam konteks kekinian
rupanya tengah menjadi upaya intens dari narasi panjang pembaharuan jagad
pentas seni tradisional yang satu ini. Adalah Wido Senoaji, sang dalang dari
Ambal yang mencoba bertutur melalui pilihan media Wayang Santri dengan cara
mendalang selain wayang kulit pakeliran.
Meskipun sang Wido bukan perintis pembaharu Wayang
Santri, namun selama puluhan tahun sang dalang telah memainkan wayang golek lintas
kampung; sebagai basis berkesenian yang menjadi pilihannya.
Dalam konteks Kebumen, tumbuh kembang pewayangan bercorak
‘pesisiran’ ini mengingatkan pada tokoh dalang Sindu yang populis pada masa
lalu. Pada era berikutnya, dalang Ki Basuki Hendro Prayitno memainkannya pula.
Namun, secara khusus Wayang Santri yang -boleh jadi- metamorphose dari Wayang Sadat (Sutarjo, 2019); adalah corak warna lainnya. Dalam hal ini, Wido
Seno Aji membukakan kredo mendalangnya.
“Saya berguru dan meniru jejak dalang (alm_Red) Entus Susmono”, akunya di sela pentas (11/5) pada panggung terbuka Ratih TV Kebumen.
Selama 10 tahun Wido “nyantrik” pada dalang kondang yang
semasa hidupnya sempat menjabat bupati Tegal itu. Bedanya, pentas Wayang Santri
sang “suhu” dari tlatah Pantura itu
lebih fokus mengelaborasi kisah-kisah klasik ‘pesisiran’ Jawa. Meski begitu,
dalam pementasan wayang golek, Wido Seno Aji telah mulai menekuninya sejak
usianya masih anak-anak.
Musa dan Abrohah
Kalau Wayang Golek pada umumnya mengambil cerita dari Babad Persia seperti Kisah Menak atau dalam ‘akulturasi’ lain
berpakem pada Serat Panji, maka
Wayang Santri yang dimainkan Wido mengambil narasi yang berbeda. Reaktualisasi
‘kisah nabi’ atau ‘kisah klasik’ Mesir lama yang dituturkan dalam pentasnya,
diakuinya sebagai upaya korelatif menyesuaikan dengan konteks jaman dan situasi
tertentu; seperti puasa atau lainnya.
Demikian pula dalam soal memilih tokoh-tokoh Wayang
Santrinya. Wido tak mengambil resiko dengan sepenuhnya menampilkan ‘tokoh-tokoh
Mesir’, melainkan dengan tak meninggalkan penokohan dalam terminologi wayang
Jawa. Basis argumen Wido dalam soal pilihan tokoh wayang santrinya lebih pada
pendekatan yang mewakili gambaran watak secara umum.
“Fir’aun jadi seperti buto Cakil..”, komentar Krisnajati dari sisi penonton. “Padahal tak ada Cakil dikenal di Mesir”, imbuhnya.
MUSA-FIR’AUN: Penggalan
episode Kisah Musa dalam pementasan Wayang Santri yang dinarasikan “Dalang
Ambal” Ki Wido Seno Aji (11/5) [Foto: AP]
Barangkali ini memang hasil dari proses re-interpretasi
dan itu tak diharamkan dalam disiplin berkesenian; dan dari aspek pengembangan
jadi sah-sah saja. Ada semacam tesis yang
menguatkan manifestasinya. Bahwa pengembangan seni tradisi itu mengacu pada dua
prasyarat: keberanian berinovasi dan improvisasi dalam konteks relasi zaman (Hendroprayitno, Basuki, 2018). Ki
dalang Basuki ini juga mengelaborasi lakon-lakon Carangan berbasis sejarah lokal, seperti Kolopaking Arumbinang
lainnya.
Kisah-kisah klasik Mesir, sebagaimana juga kisah-kisah
nabi, bukan lah monopoli yang dinarasikan dalam lakon wayang golek tertentu –wayang
sadat maupun wayang santri- melalui pentas-pentasnya; termasuk episode Kisah
Musa, Fir’aun dan Raja Abrohah.
Wayang Santri dan
Visi Pembaharu
Sang Wido Seno Aji, selain sebatas mengikuti jejak guru
wayang santrinya, ia belum sampai meradikalisasi pembaharuan. Padahal sebagai
sebuah corak baru, wayang santri relatif terbuka peluangnya. Bagaimana
kehadirannya dapat diterima khalayak luas, termasuk generasi milenial hari ini, menjadi tema
perbincangan tersendiri para pemerhatinya.
Ada yang secara umum tengah menjadi upaya panjang
kalangan pelaku seni tradisi ini. Tetapi fokusnya lebih pada komposisi kemasan
dan proporsi yang dianggap paling utama: sebagai tuntunan dan tontonan.
Rupanya orientasi para pelaku cenderung lebih mengarah pada pilihan kedua.
Orientasi ini menghasilkan porsi hiburan yang lebih banyak ketimbang gambaran
visi pembaharuan aspek yang lebih mendasar.
PORSI HIBURAN: Penambahan
durasi hiburan seperti ini, secara umum, lebih mengedepan dalam event
pementasan seni tradisi; sebuah upaya umum pembaharuan? [FOTO: AP]
Menurut Jatmiko (Krisnajati,
2019) Wayang Santri memberikan
gambaran umum (wewayangan_Jw) tentang
kehidupan manusia pencari ilmu (santri) yakni ngelmu kaweruh kebajikan.
Audiens, sesuai fitrah dan kapasitas ilmiahnya, dapat mengambil hikmah
suri-tauladan dari cerita ‘islami’ yang disajikan sang Dalang.
Dalam porsi sajian tertentu, capaian dimaksud menjadi
target setiap pementasan, tak terkecuali untuk episode Kisah Musa dan Abrohah; yang
dinarasikan Wido dengan menyertakan “gamelan pitu” (7 instrument_Red) iringan pentasnya. Namun yang terjadi secara
keseluruhan bukan lah bobot kualitas dalam konteks pembaharuan konsepsinya.
Melainkan penambahan porsi hiburan (aspek
tontonan_Red) lebih banyak dari aspek narasi, yang seharusnya sebagai penguatan
substansi tuntunan. [ap]
0 komentar:
Posting Komentar