Kamis, 18 Oktober 2018

Re-interpretasi "wahyu" Pancasila

  • Catatan dari Paguyuban Pengkhayat Kepercayaan “Masyarakat Pancasila”

TATA-RITUAL: Ketua Paguyuban Masyarakat Pancasila, Jasmin Suwito didampingi sekretaris paguyuban, Drs Sukiman; memimpin ritual "akad nikah" versi kearifan tradisional setempat. Pendokumentasian ritual ini digelar Selasa ( 16/10) di Desa Grenggeng, Karanganyar, Kebumen [Foto: ap]

Selain dikenal sebagai basis home-industry kerajinan berupa anyaman pandan, ternyata Desa Grenggeng di Karanganyar menyimpan potensi kearifan tradisional lain berupa kehidupan paguyuban masyarakat penganut kepercayaan yang dikenal dengan nama “Resi Sangga Buana”.

Dalam perkembangannya, komunitas tradisional yang saat ini memiliki penganut 96 orang, masih teguh mewarisi ajaran leluhur namun juga mampu berdialektika dengan perkembangan zaman; dan menyebut dirinya sebagai suatu organisasi pengkhayat Masyarakat Pancasila (Mapan).

Secara historis paguyuban pengkhayat kepercayaan ini sangat dekat dengan kisah mendiang presiden pertama RI; Soekarno. Paguyuban yang berdiri pada 1968 ini pada mulanya dipelopori oleh Ki Sanurtawi, Ki Wiryo Ngaliman dan Ki Sanmukmin. Ketiga orang tersebut dibimbing oleh seorang mudhafir dari Rembang bernama Ki Bagus Hadikusumo; kolega dekat Presiden Soekarno yang ngulandara ke pelosok daerah.

Menariknya, bagi komunitas tradisional ini menempatkan falsafah hidup Pancasila bukan sekedar secara tekstual, melainkan sebagai nilai-nilai warisan sejarah yang dijadikan dasar filosofis dalam konteks membangun sikap personal, sikap kolektif maupun dalam kehidupan bersamanya.

Nilai-nilai ketuhanan, gotong-royong dan musyawarah, dalam pandangan paguyuban pengkhayat Pancasila, sebagaimana tertera dalam rumusan pandangan organisasi ini dan narasi sejarahnya; merupakan bagian inti yang menyokong manifesto kelompok, berkaitan tentang pengkhayatan dan pengamalan Pancasila.

Memudarnya Toleransi

RITUAL: Tata-cara “Rukti Layon” (Merawat Jenasah_Red) secara tradisional diperagakan oleh Paguyuban Masyarakat Pancasila. Jasmin Suwito, Ketua paguyuban tradisi tengah menjelaskan tata-ritualnya [Foto: ap]

Ihwal maraknya kasus persekusi yang terjadi di banyak tempat dewasa ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi komunitas Resi Sangga Buana.
Dalam rumusan manifestonya, Masyarakat Pancasila mempertimbangkan bahwa kesadaran masyarakat dewasa ini sudah mulai pudar dalam mengkhayati dan mengamalkan Pancasila sebagai landasan ideologi dan falsafah hidup bangsa.

Menyikapi fenomena bermasyarakat yang demikian, bagi paguyuban pengkhayat kepercayaan Masyarakat Pancasila yang berdiri sejak 1968 ini berpegang pada inti ajaran yang bersumber pada warisan nilai-nilai luhur yang menginspirasi ajaran tentang ketuhanan, ajaran tentang alam semesta dan ajaran tentang kemanusiaan. Yakni bahwa seluruh manusia adalah bagian dari ciptaan-Nya. Sehingga kemanusiaan ditempatkan pada derajat yang sama dan setara. Dengan demikian akan terbangun apa yang disebut sebagai toleransi atas sesamanya.

Menurut pewaris pendirian Paguyuban Masyarakat Pancasila sekaligus sesepuh “Resi Sangga Buana”, Jasmin Suwito (66), pihaknya mengimani keberadaan Tuhan sebagai Dzatullah, Sifatullah, Wujutullah dan Nurullah; sebagai sebuah ajaran luhur yang diwarisinya. Maknanya, tak ada tafsir interpretasi sesuatu kelompok manusia atas eksistensi Tuhan itu lebih benar ketimbang manusia lainnya. Dengan kata lain, ajaran ketuhanan itu universal sifatnya.

Lakon Wahyu Pancasila

WAYANG: Repertoar wayang kulit “Wahyu Pancasila” oleh Ki Dalang Langgeng Hidayat digelar Selasa (16/10) malam, pada acara “perekaman” tata-ritual paguyuban tradisi Masyarakat Pancasila (Mapan) di Grenggeng

Menurut Drs Sukiman, sekretaris paguyuban pengkhayat kepercayaan Paguyuban Masyarakat Pancasila “Resi Sangga Buana” yang pada Selasa (16/10) malam menggelar acara perekaman tata ritual “Akad Krama” (pernikahan_Red)  dan “Rukti Layon” (merawat jenasah_Red), pihaknya menolak sebutan “Resi Sangga Buana” sebagai agama.
“Resi Sangga Buana itu bukan lah suatu agama, melainkan ini hanya nama sebuah paguyuban”, jelas Sukiman dari atas panggung.
Malam itu, atas dukungan Kanwil Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, paguyuban Masyarakat Pancasila memang tengah menggelar repertoar wayang kulit dengan lakon “Wahyu Pancasila” yang dimainkan oleh Ki Dalang Langgeng Hidayat.

Lakon “Wahyu Pancasila” ini secara filosofis memang mengangkat kisah pertentangan kekuasaan dua negara yang memperebutkan keberadaan guru bangsa yakni Semar Sang Pamomong.

Bagi publik di Desa Grenggeng, Karanganyar, pembabaran repertoar “Wahyu Pancasila” ini memiliki korelasi dalam konteks membangun masyarakat pancasilais yang memiliki tiga karakter kekuatan: berketuhanan, bergotong-royong dan bermusyawarah [ap]

0 komentar:

Posting Komentar