- Catatan dari Paguyuban Pengkhayat Kepercayaan “Masyarakat Pancasila”
TATA-RITUAL: Ketua Paguyuban Masyarakat Pancasila, Jasmin Suwito didampingi sekretaris paguyuban, Drs Sukiman; memimpin ritual "akad nikah" versi kearifan tradisional setempat. Pendokumentasian ritual ini digelar Selasa ( 16/10) di Desa Grenggeng, Karanganyar, Kebumen [Foto: ap]
Selain dikenal sebagai basis home-industry kerajinan berupa anyaman pandan, ternyata Desa Grenggeng di Karanganyar menyimpan potensi
kearifan tradisional lain berupa kehidupan paguyuban masyarakat penganut
kepercayaan yang dikenal dengan nama “Resi Sangga Buana”.
Dalam perkembangannya, komunitas tradisional yang saat ini
memiliki penganut 96 orang, masih teguh mewarisi ajaran leluhur namun juga mampu berdialektika dengan perkembangan zaman; dan
menyebut dirinya sebagai suatu organisasi pengkhayat Masyarakat Pancasila
(Mapan).
Secara historis paguyuban pengkhayat kepercayaan ini
sangat dekat dengan kisah mendiang presiden pertama RI; Soekarno. Paguyuban yang
berdiri pada 1968 ini pada mulanya dipelopori oleh Ki Sanurtawi, Ki Wiryo
Ngaliman dan Ki Sanmukmin. Ketiga orang tersebut dibimbing oleh seorang mudhafir dari Rembang bernama Ki Bagus
Hadikusumo; kolega dekat Presiden Soekarno yang ngulandara ke pelosok daerah.
Menariknya, bagi komunitas tradisional ini menempatkan
falsafah hidup Pancasila bukan sekedar secara tekstual, melainkan sebagai nilai-nilai warisan sejarah yang
dijadikan dasar filosofis dalam konteks membangun
sikap personal, sikap kolektif maupun dalam kehidupan bersamanya.
Nilai-nilai ketuhanan, gotong-royong dan musyawarah,
dalam pandangan paguyuban pengkhayat Pancasila, sebagaimana tertera dalam
rumusan pandangan organisasi ini dan narasi sejarahnya; merupakan bagian inti
yang menyokong manifesto kelompok, berkaitan tentang pengkhayatan dan
pengamalan Pancasila.
Memudarnya
Toleransi
RITUAL: Tata-cara “Rukti Layon” (Merawat Jenasah_Red) secara tradisional diperagakan oleh Paguyuban Masyarakat Pancasila. Jasmin Suwito, Ketua paguyuban tradisi tengah menjelaskan tata-ritualnya [Foto: ap]
Ihwal maraknya kasus persekusi yang terjadi di banyak
tempat dewasa ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi komunitas Resi Sangga Buana.
Dalam rumusan manifestonya, Masyarakat Pancasila mempertimbangkan
bahwa kesadaran masyarakat dewasa ini sudah mulai pudar dalam mengkhayati dan
mengamalkan Pancasila sebagai landasan ideologi dan falsafah hidup bangsa.
Menyikapi fenomena bermasyarakat yang demikian, bagi paguyuban
pengkhayat kepercayaan Masyarakat Pancasila yang berdiri sejak 1968 ini
berpegang pada inti ajaran yang bersumber pada warisan nilai-nilai luhur yang
menginspirasi ajaran tentang ketuhanan, ajaran tentang alam semesta dan ajaran
tentang kemanusiaan. Yakni bahwa seluruh manusia adalah bagian dari
ciptaan-Nya. Sehingga kemanusiaan ditempatkan pada derajat yang sama dan setara.
Dengan demikian akan terbangun apa yang disebut sebagai toleransi atas
sesamanya.
Menurut pewaris pendirian Paguyuban Masyarakat Pancasila
sekaligus sesepuh “Resi Sangga Buana”,
Jasmin Suwito (66), pihaknya mengimani keberadaan Tuhan sebagai Dzatullah, Sifatullah, Wujutullah dan Nurullah; sebagai sebuah ajaran luhur
yang diwarisinya. Maknanya, tak ada
tafsir interpretasi sesuatu kelompok manusia atas eksistensi Tuhan itu lebih
benar ketimbang manusia lainnya. Dengan kata lain, ajaran ketuhanan itu
universal sifatnya.
Lakon Wahyu
Pancasila
WAYANG: Repertoar wayang kulit “Wahyu Pancasila” oleh Ki Dalang Langgeng Hidayat digelar Selasa (16/10) malam, pada acara “perekaman” tata-ritual paguyuban tradisi Masyarakat Pancasila (Mapan) di Grenggeng
Menurut Drs Sukiman, sekretaris paguyuban pengkhayat kepercayaan
Paguyuban Masyarakat Pancasila “Resi Sangga Buana” yang pada Selasa (16/10) malam
menggelar acara perekaman tata ritual “Akad Krama” (pernikahan_Red) dan “Rukti
Layon” (merawat jenasah_Red), pihaknya
menolak sebutan “Resi Sangga Buana” sebagai agama.
“Resi Sangga Buana itu bukan lah suatu agama, melainkan ini hanya nama sebuah paguyuban”, jelas Sukiman dari atas panggung.
Malam itu, atas dukungan Kanwil Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Jawa Tengah, paguyuban Masyarakat Pancasila memang tengah menggelar
repertoar wayang kulit dengan lakon “Wahyu Pancasila” yang dimainkan oleh Ki
Dalang Langgeng Hidayat.
Lakon “Wahyu Pancasila” ini secara filosofis memang
mengangkat kisah pertentangan kekuasaan dua negara yang memperebutkan
keberadaan guru bangsa yakni Semar Sang
Pamomong.
0 komentar:
Posting Komentar