Ardy Kresna Crenata - 12/10/2018
Dalam cerpen “2.0”, Dias Novita Wuri mengetengahkan salah
satu persoalan yang dihadapi masyarakat Jepang kontemporer, yakni semakin
tergantungnya mereka kepada robot. Dalam hal ini, robot tersebut adalah
android, yakni robot dalam wujud manusia. Dan karena latar waktu cerpen ini
adalah suatu titik di masa depan, android tersebut sudah relatif sangat maju
sehingga mereka dalam beberapa hal benar-benar menyerupai manusia.
Ada dua jenis ketergantungan terhadap android yang
dikemukakan di cerpen ini. Pertama, ketergantungan yang sifatnya afektif,
yang diwakili oleh ketergantungan Tuan Hojo kepada sesosok android
perempuan—kekasihnya. Kedua, ketergantungan yang sifatnya subordinatif,
yang diwakili oleh ketergantungan Tuan Pemilik kepada dua sosok android pelayan
yang dimilikinya.
Ketergantungan pertama terasa sangat manusiawi, dan
sangat intim. Tuan Hojo memperlakukan androidnya itu seolah-olah ia benar-benar
hidup, benar-benar manusia, dan benar-benar membalas kasih sayangnya. Dan
menarik sekali bahwa level kecanggihan si android ini tidak cukup baik,
sehingga sebenarnya mudah sekali mendeteksi bahwa ia bukanlah manusia—hanya
robot. Namun di mata Tuan Hojo, hal ini sama sekali tak mengusiknya. Kasih
sayang Tuan Hojo kepada si android begitu tulus. Begitu murni.
Ketergantungan kedua, sementara itu, tidak terasa
manusiawi, juga tidak terasa intim. Dan ini kontras sekali dengan level
kecanggihan dua android itu, di mana mereka bahkan bisa merasa sedih, prihatin,
iba, dan yang semacamnya; selain itu mereka pun bisa difungsikan sebagai
partner seks dan bisa meneteskan air mata. Di mata Tuan Pemilik, kedua android
ini hanyalah alat. Mereka ada untuk mematuhi perintah-perintahnya. Hanya itu.
Bahwa kemudian sebuah insiden pasca-mati-lampu yang
dialami Tuan Hojo dan androidnya mendorong diri-afektif kedua android canggih
itu bangkit, yang membuat mereka kemudian bertanya-tanya apakah Tuan Pemilik
menyayangi mereka atau tidak, dan akibat larut dalam kesedihannya “jantung”
mereka rusak dan mereka pun mati, kiranya menunjukkan bahwa jenis
ketergantungan Tuan Pemilik terhadap mereka tidaklah tepat. Sebagai sesosok
android yang memiliki diri-afektif, semestinya, ketergantungan pertamalah yang
mengikat mereka dengan Tuan Pemilik.
Tidak tepatnya jenis ketergantungan tersebut membawa kita
pada persoalan lainnya yang dihadapi masyarakat Jepang kontemporer, yakni
sulitnya mereka menjalin relasi. Tentu, yang dimaksud di sini adalah relasi
yang sifatnya afektif tadi, dan di saat yang sama tepat guna—juga tepat
sasaran.
Ketika yang ada di hadapan adalah sesuatu yang “hidup”,
yang memiliki diri-afektif, relasi yang dibangun justru relasi yang
subordinatif. Ketika relasi yang dibangun adalah relasi yang afektif, yang ada
di hadapan itu justru sesuatu yang “tak hidup”, yang tak memiliki diri-afektif.
Akibatnya adalah munculnya konflik dan penderitaan. Di
kasus Tuan Pemilik, penderitaan itu dialami oleh si android. Di kasus Tuan
Hojo, penderitaan itu dialami oleh dirinya sendiri. Seperti tidak benar-benar
ada komunikasi di antara kedua belah pihak dalam relasi. Aliran afeksi dalam
relasi itu, kalaupun benar ada, sifatnya satu arah.
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa bisa sampai seperti
itu, apa saja yang menjadi penyebabnya. Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan
terkait persoalan yang disinggung di awal tadi, yakni tentang ketergantungan
masyarakat Jepang kepada robot—android, dalam hal ini. Dan sebagai sebuah karya
sastra, cerpen “2.0”, sudah semestinya mencoba menjawabnya.
Persoalan dan
Motif di Baliknya
Mencermati kasus Tuan Hojo, bahwa ia kemudian membeli
sesosok android jadul untuk ia jadikan kekasihnya agaknya bertolak pada
kesepian yang dirasakannya. Tidak diinformasikan apakah ia pernah menikah atau
tidak, apakah ia memiliki anak atau tidak. Namun dari apa yang terpapar di
cerpen, terasa sekali, Tuan Hojo ini sendirian. Tetapi di sini pun masih belum
jelas, apakah ia sendirian dalam arti hidup sendiri atau tinggal
bersama orang lain tetapi merasa sendiri.
Di kasus Tuan Pemilik, alasannya sangat praktis. Kedua
android canggih itu dibeli untuk menjadi pelayan kafe yang dimilikinya, juga
untuk memenuhi kebutuhan biologisnya sewaktu-waktu. Apakah Tuan Pemilik juga
kesepian sebagaimana halnya Tuan Hojo? Mungkin saja, tetapi tentu kesepian yang
dirasakannya adalah kesepian yang lain, jenis yang berbeda. Sementara Tuan Hojo
memberikan kasih sayangnya yang tulus kepada androidnya, Tuan Pemilik terlihat
menghindari itu. Dalam pandangannya, relasi afektif seperti itu adalah sesuatu
yang mengganggu.
Di titik ini, perlu agaknya kita memperhatikan umur Tuan
Hojo dan Tuan Pemilik. Tuan Hojo, bisa dibilang, merepresentasikan orang-orang
Jepang yang sudah tua dan telah kehilangan banyak hal—waktu, kesempatan,
seseorang, mungkin juga uang. Karena itulah ia memiliki dorongan yang jauh
lebih kuat untuk menjalin sebuah relasi afektif dengan androidnya, di mana ia
menjadi satu-satunya pihak yang mengalirkan kasih sayangnya.
Tuan Pemilik, sementara itu, masih relatif muda, sedang
disibukkan oleh narasi hidup yang padat dan cepat, dan agaknya merasa tidak
punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang berkenaan dengan perasaan. Dalam hal
ini Tuan Pemilik merepresentasikan anak-anak muda Jepang yang terlampau terisap
oleh dunia kerja, yang karena itu lambat-laun kehilangan dorongan untuk
menjalin relasi afektif dengan manusia lain.
Sejauh ini, selain mengetengahkan dua persoalan tadi,
cerpen “2.0” juga menghadirkan, secara implisit, motif-motif yang memungkinkan
kedua persoalan tersebut muncul. Namun apakah itu sudah cukup? Menurut saya
belum. Pasalnya, pada kenyataannya, realitas kontemporer Jepang jauh lebih
rumit dari itu.
Realitas vs
“Realitas”
Salah satu hal yang perlu kita soroti adalah tidak adanya
informasi terkait lingkungan pribadi Tuan Hojo dan Tuan Pemilik—keluarganya,
pekerjaannya, kesehariannya di luar kafe, dll.. Tidak adanya informasi ini
menyebabkan kita tidak bisa memastikan orang seperti apa sebenarnya Tuan Hojo
dan Tuan Pemilik itu. Kalaupun dari apa yang dihadirkan di cerpen kita
memperoleh gambaran soal kepribadian mereka berdua, tetap saja, kita tidak bisa
melacak hal-hal apa yang turut andil dalam membentuk mereka menjadi seperti
itu. Tuan Hojo, juga Tuan Pemilik, seperti dihadirkan tanpa preseden, tanpa
masa lalu.
Hal lainnya yang perlu kita soroti adalah tidak adanya
informasi mengenai situasi sosial-ekonomi di kawasan di mana kafe itu berada.
Jika informasi tersebut ada, kita bisa mengetahui apakah beroperasinya kafe
tersebut di sana adalah sesuatu yang wajar belaka atau tidak, sehingga kita pun
menjadi tahu apakah Tuan Hojo dan Tuan Pemilik adalah bagian dari orang-orang
yang berada di jalur arus utama atau bukan. Selain itu, dengan adanya informasi
tersebut, kita pun bisa menelusuri kedua persoalan tadi lebih jauh, memastikan
apa sesungguhnya akar masalahnya, apakah itu masalah sosial-ekonomi atau yang
lainnya.
Masih ada kiranya hal-hal lain yang perlu kita soroti
dari cerpen “2.0”; detail-detail yang jika saja ada akan sangat membantu kita
dalam memahami persoalan yang diketengahkan si cerpen, tentunya secara
komprehensif. Sebuah cerpen, bagaimanapun, berasal dari realitas. Dan di dalam
dirinya cerpen tersebut menawarkan “realitas”, yakni realitas dengan sejumlah
perbedaan—detail-detail itu.
Jika perbedaan tersebut positif, dalam arti ia membantu
mengungkapkan apa yang tak terungkapkan di realitas, maka itu baik bagi si
cerpen. Dan memang itulah yang kita butuhkan. Sebuah cerpen yang berhasil,
adalah sebuah cerpen yang menghadapkan kita kepada realitas, untuk kemudian
memahaminya; bukan sekadar menawarkan kepada kita “realitas”, dan menjebak kita
pada perspektif yang sempit dan cenderung sederhana.
Mau mengingkarinya segigih apa pun, kita hidup di dalam
realitas. Dan ketika kita berhadapan dengan sebuah “realitas” yang ditawarkan
cerpen atau karya sastra lainnya, sejatinya, kita berharap setelah itu kita
memiliki perspektif yang lebih baik terhadap realitas, yang mestilah membantu
kita untuk lebih memahaminya, demi kebaikan kita sendiri.
Cerpen “2.0”, sebenarnya, sudah ada pada jalur tersebut.
Hanya saja, ia masih belum cukup jauh membawa kita menyelami persoalan yang
diketengahkannya.
Jika kita, misalnya, menyelami persoalan itu lewat
teks-teks lain, kita akan mendapati bahwa tiga di antara akar-akar masalahnya,
yang memayungi akar-akar masalahnya yang lainnya, adalah kapitalisme, sistem
pendidikan, dan budaya kerja yang berorientasi pada ketekunan. Dan cerpen
“2.0”, di sepanjang cerita, tak menghadirkan itu.
(*)