Minggu, 27 Mei 2018

Wayang Menak di Tangan HB IX

Oleh: PURWADMADI - 27 Mei 2018


REVITALISASI: Salah satu adegan pergelaran wayang menak lakon Geger Mukadam karya Sultan HB IX yang ditampilkan POSB Retno Aji Mataram, Jogjakarta (6/5).

MEMBANGKITKAN se­ma­ngat penciptaan seni tra­di­si klasik yang mendobrak, men­transformasi simbol kehidu­­pan untuk mencari hakikat jati diri me­lakoni hidup sebagai ’’wa­yang’’ yang dimainkan ’’dalang sejati’’, jati diri kemakhlukan, melalui metafora personifi­ka­tif wayang golek (boneka), mung­kin menjadi peker­jaan besar generasi kini dalam menghargai karya budaya pendahulu.

Wayang golek menak atau wayang wong menak merupakan karya monumental dalam khaza ah tari klasik gaya Jog­jakarta yang coba diangkat ulang dari keterendaman za­man oleh Dinas Ke budayaan DIJ.
Di pendapa Akademi Komunitas Negeri Seni dan Budaya Jogjakarta, wayang menak dipergelarkan 6–8 Mei lalu oleh enam perkumpulan tari dalam enam lakon.

Enam lakon itu adalah Geger Mu­kadam yang dibawakan POSB Retno Aji Mataram, Menak Sorangan (Siswa Among Beksa), Bedhah Negari Ambarkustub (YPB Sasminta Mardawa), Jayengrana Winiwaha (Kridha Beksa Wirama), Retna Marpinjun (PK Suryo Kencono), dan Widaninggar Boyong (Irama Tjitra).

Lakon wayang menak ber­sumber dari Serat Menak dan Serat Ambya. Banyak sumber menyebutkan, lakon itu saduran dari buku Hikayat Amir Hamzah dalam khazanah sastra Melayu yang bersumber dari Qissail Emr Hamza dalam khazanah sastra Parsi-Arab. ’’Pen­ja­waannya’’ menjadi Serat Menak oleh kalangan pujangga dan carik di Keraton Kartasura atas perintah Ratu Blitar, istri Sunan Paku Buwono I, kepada Carik Narawita (1717).

Kemudian berlanjut pada masa Yasadipura I (1729–1802), pujangga yang mengalami masa Keraton Kartasura-Surakarta. Tradisi sastra menak berkembang menjadi kekayaan serat lakon dan serat wulang di keraton-keraton Jawa yang kemudian meluber hingga di kalangan rakyat.

Serat Menak digunakan sebagai sumber lakon pertunjukan wayang golek (boneka) dan populer di kalangan rakyat pada ma­sanya.

Raja Jogjakarta kala itu, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, sempat menyaksikan pertunjukan wayang golek pada tahun 40-an di daerah Kedu, Jawa Tengah.

Peristiwa itulah yang memicunya untuk menyusun tarian klasik dengan basis estetika tari klasik Jogjakarta, diperkaya unsur estetika wayang golek dengan sumber lakon selain Ma­ha­bharata, Ramayana, dan Panji (gedhogan).
Serupa golek menari? Bukan. Wayang golek menak karya Sri Sultan HB IX (1912–1988) tidak menyerupakan golek (kayu) yang sedang ditarikan dalang. Bukan meniru gerak golek.

Wayang golek menak memulangkan tariannya pada prinsip dasar tari klasik gaya Jogjakarta. Bukan menari serupa golek, melainkan menarikan tarian golek sebagai sebuah genre tari dalam khazanah tari klasik Jogjakarta, setara genre bedhaya-srimpi, beksan, dan wayang wong.

Karya monumental Sultan HB IX itu sempat vakum (ditam­pilkan) selama 1944–1980 ka­rena kesibukan Sultan terlibat dalam mengurus republik ini sejak 1945.

Me­mang, dalam bentuk pethilan (potongan adegan), tarian itu sering menjadi sajian bagi tamu dan turis dengan menampilkan garuda menak yang aksentuatif ke-Jogja-annya.

Baru sekitar 1985 sejumlah perkumpulan seni tari di Jog­jakarta diminta Sultan untuk melakukan revitalisasi wayang golek menak ciptaannya tersebut. Proses pembaruan itu, termasuk memasukkan unsur gerak silat Minangkabau, dalam pengawasan langsung Sultan.

Hasil kerja pembaruan secara kolektif oleh sejumlah perkumpulan tari tersebut secara bertahap telah diper tunjukkan beberapa kali di hadap an HB IX di Jakarta maupun Jog jakarta.

Pada akhir 1998 direncanakan pergelaran hasil final revitalisasi partisipatif itu. Namun, sebelum pergelaran tersebut dilangs­ungkan, pada 2 Oktober 1998 HB IX keburu wafat di Washington, Amerika Serikat. Memang, tari golek menak memiliki sumber penciptaan dari wayang golek (boneka kayu) dan karenanya ada se­jumlah pertanda kegolekan dan kemenakannya.

Di antaranya, detail prinsip rubuh bareng (duduk/simpuh bersama), unjal napas (menarik napas), api-api wuta (berlagak seperti buta), ngenceng driji-tapak tangan (jari-telapak tangan gerak lurusrapat), di samping prinsip dasar filosofi nyawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh.

Termasuk perkara teknik pengelolaan tubuh terkait dengan posisi deg (posisi berdiri), mendhak (meren­dah­kan badan), jujungan (angkat kaki), tolehan (cara mene­ngokkan kepala), pandengan (arah tatapan mata), pupu mlu mah (arah hadap paha), nglempet (perut kempis), cethik mlumah (sendi pinggang direnggang), menggunakan prisip tari Jogjakarta.

Tari golek menak diciptakan pada masa pendudukan Jepang (1942) dan dipentaskan lengkap untuk kali pertama pada 1944 di Keraton Jogjakarta. Setelah itu jarang dipentaskan.

Sedang­kan dalam bentuk fragmen atau potongan adegan, kini telah menjadi salah satu sajian pertunjukan khas Keraton Jogjakarta. Biasanya adegan pertarungan dua tokoh putri dalam lakon menak, seperti Kelaswara-Adaninggar, dengan meniti burung garuda.

Peningkatan frekuensi pemanggungan wayang wong menak sejatinya tidak berhenti pada perkara estetika teknis tarian, gerak dan komposisi, busana dan iringan, serta ekspresi lakon-lakon menak, melainkan memperkuat penan­da kedalaman perenungan dan ekspresi pengolahan energi ke budayaan dalam menjawab tantangan perubahan.

HB IX menciptakan wayang wong menak atau tari golek menak sekurangnya menca­tatkan momentum sejarah budaya. Yakni,
(1) menyerap energi kreasi rakyat menjadi sumber penciptaan ’’tari istana’’, (2) melengkapi sumber cerita yang mengandil tambahan struktur etika dan estetika dominan (Mahabharata-Ra­ma­yana- Panjia),
(3) meng­galang partisipasi pelaku seni dan empu tari di luar istana untuk mengutuhkan pen­ca­paian karya cipta Sultan,
(4) meramu paradigma estetika mapan (pakem-paugeran) tari klasik dengan sumbangan pakem ’’paugeran baru’’ yang selaras,
(5) memasuk kan unsur kekuatan khazanah budaya rakyat seperti wa yang golek (boneka), gerak silat tradisi Minangkabau, merupa kan upaya persenyawaan antar-lintas-kawin budaya yang mem­perkuat jati diri budaya nasional, serta
(6) memaknai kerja pelestarian bu daya tidak sebatas proses dup likasi, repitisi, reproduksi, dan ke­rja pengawetan lainnya, melain­kan merambah kuat pada ke­rja pengembangan dan pemanfaatannya.

Sri Sultan HB IX telah mem­berikan contoh kerja nyata bagaimana menemukan karya budaya baru yang tetap me­mulangkannya pada kekuatan akar tradisi budaya yang di­ba­ngun dan diperjuangkan para pendahulu bangsa.

Me­men­taskan wayang menak bu­kan sebatas membangkit­kan batang terendam, melainkan juga merupakan cara terhormat menghargai kerja-kerja budaya bermartabat para pendiri bangsa.

(*)

Purwadmadi, pemerhati dan penulis seni budaya

0 komentar:

Posting Komentar