Oleh: Dieqy Hasbi Widhana - 20 Januari 2017
Yosep Anggi Noen, sutradara film "Istirahatlah Kata-kata" . Tirto.id/Andrey Gromico
Masa singkat pelarian Thukul yang digambarkan dalam film ialah periode paling kompleks dan krusial dalam sejarah politik Indonesia di akhir Orde Baru.
Karya sutradara Yosep Anggi Noen identik dengan shot para tokoh utama dari belakang dan dialog minimalis. Itu terlihat dalam film panjang perdananya, Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya (2012). Pendekatan kosa gambar yang sama itu masih ia pakai dalam Istirahatlah Kata-Kata. Penonton bisa menilai bahwa 'jiwa ketok' alias psikologisme tokoh dalam film Anggi tidak seketika menyeruak, melainkan diudar sangat pelan dan halus, dan cenderung multi-tafsir.
Seorang penyair pemberontak, penyair protes seperti Wiji Thukul, diterjemahkan Anggi dalam layar suara yang nyaris sunyi. Ia mengambil masa singkat pelarian Thukul sesudah 27 Juli 1996 yang dikejar-kejar aparat intelijen dan serdadu Orde Baru. Periode itu dipersingkat lagi ketika Thukul bersembunyi di Pontianak, Kalimantan Barat. Keseluruhan film berdurasi 97 menit ini hendak menampilkan Thukul sebagai sosok yang juga mengenal rasa takut, cemas, rindu, dan kesepian.
Dalam proses riset sebelum syuting, selain menyisiri setiap karya Thukul, Anggi juga menelusuri berkas-berkas yang berhubungan dengan kisah aktivis pro-demokrasi tersebut.
Puisi-puisi Thukul adalah kehidupan dekat sang penyair, kehidupan sehari-hari yang ia jalani, perjalanan realisme. Ini cukup bikin Anggi lebih mudah menuangkan konteks karya Thukul ke dalam layar. Bagi Anggi, Thukul dilahirkan dan hidup dengan ritme yang sinematik.
Proses pembuatan Istirahatlah Kata-Kata memakan waktu tiga tahun, sebagian besar tersita untuk riset dan pra-produksi. Ia telah menuntaskan sebuah proyek yang mengandung pesan terang ketika negara tetap abai dan melipat kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk penghilangan orang secara paksa yang menimpa Wiji Thukul.
Berikut perbincangan antara Yosep Anggi Noen dengan Dieqy Hasbi Widhana dari Tirto.
Apa yang mendorong Anda setuju menggarap film ini?
Biar kita ngobrolnya enak antar-generasi. Kalau ada sesuatu yang gelap, itu nanti sulit kita ngobrol antar-generasi. Film ini semoga menjadi jembatan. Iyo ora? Kasusnya belum selesai. Saya hanya mencoba membuat film, kemampuan dari diri saya, untuk mengingatkan negeri ini, untuk mengingatkan orang-orang bahwa masih ada yang hitam. Itu jembatan kita untuk mengerti zaman tertentu. Kalau tidak ada, nanti lupa, nanti gelap masa depan kita. Yakin aku.
Film itu dibuat untuk mencatat dan memancing pemikiran. Jadi, film ini tidak mengadili. Saya tidak membuat semacam ending yang saya putuskan. Ending dari film ini adalah sebuah pertanyaan, di mana (Wiji Thukul)?
Selain menelusuri dokumen untuk mengetahui konteks politik di balik kasus penghilangan paksa, apalagi yang Anda lakukan?
Saya bertemu banyak sekali orang di lingkaran teman dan saudara Wiji. Mulai dari Danial Indrakusuma (Jakarta), Halim HD (Solo), kemudian Mas Wahyu Susilo (adik Thukul). Martin Siregar (Pontianak), Thomas Daliman (Pontianak), Ida, istrinya Martin. Banyak sekali, lah. Orang-orang ini kan bekas PRD. Hilmar Farid (sejarawan) kan dulu terafilisasi di jaringan aktivis pro-demokrasi, lah. Ada Budiman Sudjatmiko (politikus PDI Perjuangan).
Kenapa diberi judul Istirahatlah Kata-Kata?
"Istirahatlah Kata-kata" puisi Thukul tahun 80-an, lho. Dan bukan puisi pelarian. Jadi sebenarnya film saya ini mencoba untuk memampatkan rentang waktu yang panjang. Mulai Wijji hadir sebagai manusia, kemudian dia hilang. Itu saya coba mampatkan hampir satu tahun dia bersembunyi di Pontianak. Misalnya, cacatan masa kecil dia yang juga menjadi calo tiket bioskop, saya wujudkan dalam adegan bioskop di Pontianak. Saya mewujudkan itu dalam film, itu tafsir. Jadi film ini adalah tafsir atas sejarah panjang dari perjalanan hidup Wiji Thukul.
Kalau Istirahatlah Kata-kata, ya karena menurut saya, ini paling kontekstual, lah. Terlalu banyak cuap-cuap hari ini. Banyak omong-kosong kita itu. Makanya dipilih Istirahatlah Kata-kata. Simpan sesuatu, rasakan sesuatu, nanti kita bangun lagi, lah. Beristirahat itu bukan diam, lho. Beristirahat itu sedang merenung supaya kamu punya kekuatan lagi untuk menyatakan yang sebenar-benarnya.
Mengapa memilih masa pelarian Thukul di Pontianak?
Setelah 27 Juli 1996, Partai Rakyat Demokratik dan Wiji Thukul itu tiarap. Kemudian negara menyatakan bahwa Wiji dan beberapa aktivis adalah "pemicu" dari kerusuhan di Jakarta, 27 Juli. Lalu semua orang pergi, tidak saling terkonsolidasi. Wiji kemudian disembunyikan di Pontianak.
Itu adalah periode paling kompleks dalam kehidupan seorang Wiji. Jauh dari keluarga, tidak punya pengalaman hidup di Pontianak. Jadi dia seperti orang yang benar-benar baru mengenali ruang dalam tekanan sebagai buron. Itu titik yang paling krusial dalam hidup dia. Akhirnya dia menyatakan kembali ke Jakarta, bergabung lagi dengan aktivis-aktivis menggulingkan Soeharto.
Apa yang terjadi di Pontianak adalah hal baru. Atau hal-hal yang melihat Wiji punya dua karakter: sangat unik sekaligus kompleks. Ketika di Pontianak, di satu sisi, dia takut betul bertemu aparat tentara dan polisi. Dia sering nunduk atau ketakutan. Di sisi lain, dia juga ke cafe, baca puisi di depan orang-orang. Itu kan sesuatu yang luar biasa. Karena memang semua manusia tidak bisa ditunjukkan dalam sebuah posisi yang terlalu biner: bahagia dan sedih. Tapi dalam kebahagiaan ada kesedihan; dalam ketakutan ada kegembiraan; dalam kerinduan ada kebencian.
Yang tidak ada di sinema Indonesia itu: semuanya kayaknya yang senang-senang, yang baik-baik, filmnya berwarna, tapi sifatnya hitam-putih semua. Tidak baik kemudian, bila kita memajang gagasan dalam sinema, hanya yang dipajang hitam-putih kehidupan. Harus menunjukkan bahwa setiap manusia itu kompleks. Itu yang ingin saya wujudkan dalam Istirahatlah Kata-Kata.
Bagaimana menafsirkan puisi realis, lalu menuangkannya dalam sinema?
Pertama, baca semua puisinya Wiji. Ada banyak sekali hal-hal yang menakjubkan di situ. Pusi Wiji yang dia rebutan ikan asin dengan kucing? Endingnya: 'kuberi dia kepala ikan, aku makan tubuh ikannya'. Artinya, itu kejenakaan yang sebetulnya siasat kehidupan orang-orang kelas bawah, yaitu berbagi, bahkan dengan makhluk yang lain. Itu sangat sinematik.
Kalau bicara mengenai Wiji dan puisi, menurut saya, tubuh Wiji Thukul itu puisi. Bahkan anaknya pernah bilang: Bapakku seperti puisi, singkat dan misterius.
Siapa yang menafsirkan konteks puisi Thukul?
Pertama saya. Tapi kemudian dibantu oleh Gunawan Maryanto. Saya melihat beyond the words, apa yang terjadi di luar kata-kata. Jadi teks itu saya baca menggunakan konteks. Kemudian saya berpikir, kira-kira subteks apa yang muncul dari teks dan konteks itu. Saya pikir juga puisi Wiji Thukul itu beragam. Ada yang bisa langsung telan. Ada yang quoteable. Ada juga yang enggak.
Yang penting bagi saya, melihat konteks bagaimana puisi itu ada.
Bagaimana proses pendekatan aktor dan aktris untuk menjiwai perannya?
Pertama, Gunawan Maryanto, saya sama sekali tidak berpikir mengenai bentuk, rupa. Kebetulan dia cukup mirip, ya. Tapi Gunawan Maryanto adalah penyair. Dia paham betul anatomi kata-kata. Dia paham betul tubuh puisi. Dia mampu merepresentasikan ulang dari tubuh yang membuat puisi.
Kalau Marissa Anita, mampu menguasai panggung. Saya juga tidak mau memilih sosok dengan bahasa Jawa yang terbata-bata. Engko dadi gak koyok uwong Jowo kuwi lho, aku ra seneng-e.
Saya pikir, kami berkumpul untuk menafsirkan sesuatu, bukan berkumpul untuk mengimitasi sesuatu.
Marissa sama Gunawan saya biarkan explore sendiri. Marissa enggak ketemu Sipon biar enggak meniru. Edo (Edwart Boang Manalu) ketemu Martin, tapi pas hari shooting. Pak Martin tinggal di Sanggau, jauh dari Pontianak. Saya membuat tafsir pada semua peran.
Yang kedua, keluarga Wiji memberi ruang pada kami untuk menafsir. Fitri Nganthi Wani (putri sulung Thukul) bilang kepada saya, “Bapak saya itu seorang pembuat puisi, seorang seniman. Dia menafsirkan situasi, dia menafsirkan zaman. Maka saya yakin anda-anda ini sebagai pembuat film juga punya hak untuk menafsirkan bapak saya.”
Seorang penyair pemberontak, penyair protes seperti Wiji Thukul, diterjemahkan Anggi dalam layar suara yang nyaris sunyi. Ia mengambil masa singkat pelarian Thukul sesudah 27 Juli 1996 yang dikejar-kejar aparat intelijen dan serdadu Orde Baru. Periode itu dipersingkat lagi ketika Thukul bersembunyi di Pontianak, Kalimantan Barat. Keseluruhan film berdurasi 97 menit ini hendak menampilkan Thukul sebagai sosok yang juga mengenal rasa takut, cemas, rindu, dan kesepian.
Dalam proses riset sebelum syuting, selain menyisiri setiap karya Thukul, Anggi juga menelusuri berkas-berkas yang berhubungan dengan kisah aktivis pro-demokrasi tersebut.
Puisi-puisi Thukul adalah kehidupan dekat sang penyair, kehidupan sehari-hari yang ia jalani, perjalanan realisme. Ini cukup bikin Anggi lebih mudah menuangkan konteks karya Thukul ke dalam layar. Bagi Anggi, Thukul dilahirkan dan hidup dengan ritme yang sinematik.
“Kalau bicara mengenai Wiji dan puisi, menurut saya, tubuh Wiji Thukul itu puisi. Bahkan anaknya pernah bilang, 'Bapakku seperti puisi, singkat dan misterius.' Ngeri. kan?” kata Anggi sesudah pemutaran perdana Istirahatlah Kata-Kata di Jakarta, 16 Januari lalu.Segera setelah proses produksi dan penyuntingan rampung, film yang diberi judul Solo, Solitude buat publik berbahasa Inggris ini tahun lalu diikutkan ke pelbagai festival film. Dalam setahun, Anggi memboyong sejumlah penghargaan. Piala Dewantara Film Terbaik Apresiasi Film Indonesia 2016 dan Golden Hanoman Award di Jogja Netpac Asian Film Festival 2016. Ia juga diputar di Festival del Film Locarno 2016, Concorso Cineasti del Presente Switzerland 2016, The Pacific Meridian International Film Festival Rusia, Filmfest Hamburg, Quezon City International Film Festival, dan sebagainya.
Proses pembuatan Istirahatlah Kata-Kata memakan waktu tiga tahun, sebagian besar tersita untuk riset dan pra-produksi. Ia telah menuntaskan sebuah proyek yang mengandung pesan terang ketika negara tetap abai dan melipat kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk penghilangan orang secara paksa yang menimpa Wiji Thukul.
“Film ini ... untuk mengingatkan orang-orang bahwa masih ada yang hitam,” tuturnya.Anggi lahir di Yogyakarta dan menyelesaikan pendidikan Jurusan Komunikasi di Universitas Gadjah Mada. Sejak SMA ia sudah menggarap sejumlah film pendek termasuk Kisah Cinta yang Asu (2015).
Berikut perbincangan antara Yosep Anggi Noen dengan Dieqy Hasbi Widhana dari Tirto.
Apa yang mendorong Anda setuju menggarap film ini?
Biar kita ngobrolnya enak antar-generasi. Kalau ada sesuatu yang gelap, itu nanti sulit kita ngobrol antar-generasi. Film ini semoga menjadi jembatan. Iyo ora? Kasusnya belum selesai. Saya hanya mencoba membuat film, kemampuan dari diri saya, untuk mengingatkan negeri ini, untuk mengingatkan orang-orang bahwa masih ada yang hitam. Itu jembatan kita untuk mengerti zaman tertentu. Kalau tidak ada, nanti lupa, nanti gelap masa depan kita. Yakin aku.
Film itu dibuat untuk mencatat dan memancing pemikiran. Jadi, film ini tidak mengadili. Saya tidak membuat semacam ending yang saya putuskan. Ending dari film ini adalah sebuah pertanyaan, di mana (Wiji Thukul)?
Selain menelusuri dokumen untuk mengetahui konteks politik di balik kasus penghilangan paksa, apalagi yang Anda lakukan?
Saya bertemu banyak sekali orang di lingkaran teman dan saudara Wiji. Mulai dari Danial Indrakusuma (Jakarta), Halim HD (Solo), kemudian Mas Wahyu Susilo (adik Thukul). Martin Siregar (Pontianak), Thomas Daliman (Pontianak), Ida, istrinya Martin. Banyak sekali, lah. Orang-orang ini kan bekas PRD. Hilmar Farid (sejarawan) kan dulu terafilisasi di jaringan aktivis pro-demokrasi, lah. Ada Budiman Sudjatmiko (politikus PDI Perjuangan).
Kenapa diberi judul Istirahatlah Kata-Kata?
"Istirahatlah Kata-kata" puisi Thukul tahun 80-an, lho. Dan bukan puisi pelarian. Jadi sebenarnya film saya ini mencoba untuk memampatkan rentang waktu yang panjang. Mulai Wijji hadir sebagai manusia, kemudian dia hilang. Itu saya coba mampatkan hampir satu tahun dia bersembunyi di Pontianak. Misalnya, cacatan masa kecil dia yang juga menjadi calo tiket bioskop, saya wujudkan dalam adegan bioskop di Pontianak. Saya mewujudkan itu dalam film, itu tafsir. Jadi film ini adalah tafsir atas sejarah panjang dari perjalanan hidup Wiji Thukul.
Kalau Istirahatlah Kata-kata, ya karena menurut saya, ini paling kontekstual, lah. Terlalu banyak cuap-cuap hari ini. Banyak omong-kosong kita itu. Makanya dipilih Istirahatlah Kata-kata. Simpan sesuatu, rasakan sesuatu, nanti kita bangun lagi, lah. Beristirahat itu bukan diam, lho. Beristirahat itu sedang merenung supaya kamu punya kekuatan lagi untuk menyatakan yang sebenar-benarnya.
Mengapa memilih masa pelarian Thukul di Pontianak?
Setelah 27 Juli 1996, Partai Rakyat Demokratik dan Wiji Thukul itu tiarap. Kemudian negara menyatakan bahwa Wiji dan beberapa aktivis adalah "pemicu" dari kerusuhan di Jakarta, 27 Juli. Lalu semua orang pergi, tidak saling terkonsolidasi. Wiji kemudian disembunyikan di Pontianak.
Itu adalah periode paling kompleks dalam kehidupan seorang Wiji. Jauh dari keluarga, tidak punya pengalaman hidup di Pontianak. Jadi dia seperti orang yang benar-benar baru mengenali ruang dalam tekanan sebagai buron. Itu titik yang paling krusial dalam hidup dia. Akhirnya dia menyatakan kembali ke Jakarta, bergabung lagi dengan aktivis-aktivis menggulingkan Soeharto.
Apa yang terjadi di Pontianak adalah hal baru. Atau hal-hal yang melihat Wiji punya dua karakter: sangat unik sekaligus kompleks. Ketika di Pontianak, di satu sisi, dia takut betul bertemu aparat tentara dan polisi. Dia sering nunduk atau ketakutan. Di sisi lain, dia juga ke cafe, baca puisi di depan orang-orang. Itu kan sesuatu yang luar biasa. Karena memang semua manusia tidak bisa ditunjukkan dalam sebuah posisi yang terlalu biner: bahagia dan sedih. Tapi dalam kebahagiaan ada kesedihan; dalam ketakutan ada kegembiraan; dalam kerinduan ada kebencian.
Yang tidak ada di sinema Indonesia itu: semuanya kayaknya yang senang-senang, yang baik-baik, filmnya berwarna, tapi sifatnya hitam-putih semua. Tidak baik kemudian, bila kita memajang gagasan dalam sinema, hanya yang dipajang hitam-putih kehidupan. Harus menunjukkan bahwa setiap manusia itu kompleks. Itu yang ingin saya wujudkan dalam Istirahatlah Kata-Kata.
Bagaimana menafsirkan puisi realis, lalu menuangkannya dalam sinema?
Pertama, baca semua puisinya Wiji. Ada banyak sekali hal-hal yang menakjubkan di situ. Pusi Wiji yang dia rebutan ikan asin dengan kucing? Endingnya: 'kuberi dia kepala ikan, aku makan tubuh ikannya'. Artinya, itu kejenakaan yang sebetulnya siasat kehidupan orang-orang kelas bawah, yaitu berbagi, bahkan dengan makhluk yang lain. Itu sangat sinematik.
Kalau bicara mengenai Wiji dan puisi, menurut saya, tubuh Wiji Thukul itu puisi. Bahkan anaknya pernah bilang: Bapakku seperti puisi, singkat dan misterius.
Siapa yang menafsirkan konteks puisi Thukul?
Pertama saya. Tapi kemudian dibantu oleh Gunawan Maryanto. Saya melihat beyond the words, apa yang terjadi di luar kata-kata. Jadi teks itu saya baca menggunakan konteks. Kemudian saya berpikir, kira-kira subteks apa yang muncul dari teks dan konteks itu. Saya pikir juga puisi Wiji Thukul itu beragam. Ada yang bisa langsung telan. Ada yang quoteable. Ada juga yang enggak.
Yang penting bagi saya, melihat konteks bagaimana puisi itu ada.
Bagaimana proses pendekatan aktor dan aktris untuk menjiwai perannya?
Pertama, Gunawan Maryanto, saya sama sekali tidak berpikir mengenai bentuk, rupa. Kebetulan dia cukup mirip, ya. Tapi Gunawan Maryanto adalah penyair. Dia paham betul anatomi kata-kata. Dia paham betul tubuh puisi. Dia mampu merepresentasikan ulang dari tubuh yang membuat puisi.
Kalau Marissa Anita, mampu menguasai panggung. Saya juga tidak mau memilih sosok dengan bahasa Jawa yang terbata-bata. Engko dadi gak koyok uwong Jowo kuwi lho, aku ra seneng-e.
Saya pikir, kami berkumpul untuk menafsirkan sesuatu, bukan berkumpul untuk mengimitasi sesuatu.
Marissa sama Gunawan saya biarkan explore sendiri. Marissa enggak ketemu Sipon biar enggak meniru. Edo (Edwart Boang Manalu) ketemu Martin, tapi pas hari shooting. Pak Martin tinggal di Sanggau, jauh dari Pontianak. Saya membuat tafsir pada semua peran.
Yang kedua, keluarga Wiji memberi ruang pada kami untuk menafsir. Fitri Nganthi Wani (putri sulung Thukul) bilang kepada saya, “Bapak saya itu seorang pembuat puisi, seorang seniman. Dia menafsirkan situasi, dia menafsirkan zaman. Maka saya yakin anda-anda ini sebagai pembuat film juga punya hak untuk menafsirkan bapak saya.”
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam
Yosep Anggi Noen menafsirkan masa hidup Thukul tidak hitam-putih: dalam rasa takut ada keberanian
Source: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar