Darma Legi
Para pembicara menyampaikan
materinya pada kegiatan Diskusi Nasional tentang "Membongkar Skandal
Proyek Puisi Esai", di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), jln. Perintis
Kemerdekaan, Kota Bandung, Selasa (13/3/2018).
Laporan: Asep Awaludin | Selasa, 13 Maret 2018 | 19:17 WIB
SEJUMLAH sastrawan, seniman,
pemerhati sastra, aktivis sastra, dan aktivis budaya bakal berkumpul membahas
proyek puisi esai Denny Januar Ali atau Denny JA. Kegiatan yang digelar dalam
sebuah diskusi nasional bertajuk 'Membongkar Proyek Puisi Esai' digelar di
Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Selasa,
(13/3/2018).
Sejumlah sastrawan seperti Ahda Imran, Hikmat Gumelar, Yana Risdiana, Ari J. Adipurwawidjana, Heru Hikayat, dan Matdon nampak hadir dalam acara tersebut. Bahkan mereka didaulat sebagai narasumber dalam diskusi kali ini.
Direktur Institut Nalar Jatinangor, Hikmat Gumelar mengatakan, diskus ini digelar lantaran perlunya menolak upaya Denny JA melakukan 'politik uang' pada dunia sastra.
Penolakan dilakukan, setelah Denny JA mengumumkan dirinya sebagai tokoh sastra. Kemudian disusul dengan klaim dirinya pencetus lahirnya genre puisi baru yaitu 'Puisi Esai'.
Klaim tersebut, menurut para sastrawan, setelah Denny JA menerbitkan 40 buku puisi esai bersama 250 penulis puisi esai. Namun bagi mereka, kelahiran genre ini bukan tercipta secara alamiah tetapi dengan rekayasa Denny JA sebagai kapitalis yang mengunakan uang untuk membiayai semua ambisinya.
Sejumlah sastrawan seperti Ahda Imran, Hikmat Gumelar, Yana Risdiana, Ari J. Adipurwawidjana, Heru Hikayat, dan Matdon nampak hadir dalam acara tersebut. Bahkan mereka didaulat sebagai narasumber dalam diskusi kali ini.
Direktur Institut Nalar Jatinangor, Hikmat Gumelar mengatakan, diskus ini digelar lantaran perlunya menolak upaya Denny JA melakukan 'politik uang' pada dunia sastra.
Penolakan dilakukan, setelah Denny JA mengumumkan dirinya sebagai tokoh sastra. Kemudian disusul dengan klaim dirinya pencetus lahirnya genre puisi baru yaitu 'Puisi Esai'.
Klaim tersebut, menurut para sastrawan, setelah Denny JA menerbitkan 40 buku puisi esai bersama 250 penulis puisi esai. Namun bagi mereka, kelahiran genre ini bukan tercipta secara alamiah tetapi dengan rekayasa Denny JA sebagai kapitalis yang mengunakan uang untuk membiayai semua ambisinya.
"Sebetulnya puisi esainya tidak bermasalah. Tapi kalau puisi esai Denny JA bermasalah, karena tidak memenuhi aturan main perpuisian. Masalahnya menjadi besar lagi ketika, puisi-puisi esai Denny JA khusunya dalam buku 'Atas Nama Cinta', itu diklaim sebagai satu jenis baru puisi, dan sekaligus juga puisi-puisi itu dianggap lebih bermutu daripada puisi yang tidak termasuk dalam kategori puisi esai. Maka puisi-puisi Indonesia yang lainnya, seperti karya-karya puisi lainnya itu dianggap menjadi puisi lama dan tidak relevan karena tidak memiliki ciri puisi esai seperti catatan kaki, dan belum diangkat ke layar lebar seperti puisi dia. Nah itu bermasalah, karena puisi itu dianggap berdasarkan diri sendiri dan ini dilakukan dengan membayar orang dengan menggelembungkan dirinya," tuturnya.Hikmat juga mencoba membandingkan puisi esai Denny JA dengan puisi WS. Rendra. Ia melihat keanehan pada puisi Denny JA. Menurutnya, bagaimana bisa puisi sebagai kejadian nyata bisa ditegaskan dengan catatan kaki.
Bagi Hikmat, puisi itu akan selesai sebagai teks indah tanpa harus ada catatan kaki. Bahasa dan sastra menjadi kesantunan tertinggi manusia dan itu dilakukan tidak dengan uang ketika disebut sebagai tokoh, tapi dengan karya.
"Puisi itu harus didasarkan kejujuran," ungkapnya.
Sumber: GalaMedia News
0 komentar:
Posting Komentar