AS Laksana | 13:07 WIB - Kamis, 29 Maret 2018
Sejak mendengarnya di Youtube tahun lalu, pertanyaan
Steven Pinker ini terus mengganggu pikiran saya sampai sekarang: Kenapa
kebanyakan tulisan buruk sekali mutunya?
Pinker adalah cendekiawan psikolinguistik dan kognitif
dari Universitas Harvard. Ia menekuni bagaimana pikiran bekerja, bagaimana
bahasa bekerja, dan fasih menjelaskan bagaimana bahasa bekerja sebaik-baiknya
untuk memikat pikiran manusia.
"Tulisan yang baik dapat mengubah cara kita memahami dunia," katanya.
Tulisan buruk tidak mengubah apa pun dan para penulis
buruk biasanya tidak menyadari bahwa tulisan mereka buruk sekali--entah itu
fiksi, puisi, esai, atau, yang sekarang ramai, puisi esai.
Kita bisa mengatakan sambil lalu bahwa mereka menulis
buruk karena tidak cakap menulis bagus. Namun penulis dan jurnalis The New
Yorker Malcolm Gladwell memiliki formula khusus tentang kemahiran:
latihan 10 ribu jam. Tiap-tiap orang perlu menjalani latihan 10 ribu jam untuk
menjadi maestro di bidang apa pun yang ditekuninya. Ia menggemborkan
"hukum 10 ribu jam" itu dalam bukunya Outliers, dengan merujuk hasil
penelitian Karl Anders Ericsson, pada 1993, terhadap para pemain biolin di
sekolah musik Berlin.
Hukum 10 ribu jam cepat memikat perhatian. Ia memberi
kita patokan tentang berapa lama waktu latihan yang kita perlukan untuk menjadi
maestro. Ericsson, yang dijadikan rujukan oleh Gladwell, buru-buru menyanggah:
"Gladwell keliru memahami hasil penelitian saya."
Untuk memperjelas urusan 10
ribu jam ini, psikolog Angela Duckworth suatu hari menemui Ericsson dan
menanyakannya langsung. Ia menuliskan petilan percakapan mereka di dalam
bukunya Grit:
The Power of Passion and Perseverance.
"Lihat, Profesor, saya joging kurang lebih satu jam tiap hari, beberapa hari seminggu, dan sudah melakukannya sejak umur saya delapan belas. Sudah ribuan jam saya berlari hingga sekarang, tetapi kelihatannya kemampuan lari saya tetap tidak memadai untuk bertanding di Olimpiade."
"O, menarik," jawab Ericsson. "Boleh saya mengajukan beberapa pertanyaan?"
"Silakan."
"Apakah anda menetapkan tujuan spesifik dalam latihan anda setiap hari?"
"Agar sehat. Agar tubuh saya tidak melar."
"Ah, ya. Tapi apakah anda memiliki target untuk, misalnya, meningkatkan kecepatan berlari atau menambah jarak tempuh? Maksud saya, apakah ada aspek khusus yang anda ingin tingkatkan dalam urusan lari?"
"Hmm..., saya rasa tidak."
Setelah memastikan bahwa Angela tidak memiliki catatan
rinci dan sistematis mengenai latihan larinya setiap hari, Ericsson mengatakan:
"Saya yakin anda pasti tidak memiliki pelatih."
Angela tertawa.
"Saya tahu," kata Ericsson lagi, "anda tidak meningkat dalam urusan lari karena tidak melakukan latihan dengan tujuan spesifik (deliberate practice)."
Orang bisa menghabiskan waktu 10 ribu jam, atau sepuluh
tahun atau bahkan tiga puluh tahun, namun kemahirannya tidak meningkat secara
signifikan. Misalnya, seorang pemain badminton kampungan sudah mulai memegang
raket sejak umur sepuluh dan tetap menjadi pemain kampungan pada umur dua puluh
lima.
Bagaimana cara mereka berlatih setiap hari, itulah yang
membedakan para maestro dari gerombolan cacing pita atau anggota kerumunan.
Para juara melakukan latihan
dengan tujuan spesifik. Para juara badminton tidak selalu memainkan badminton
sebagai sebuah performansi tiap kali mereka memegang raket di lapangan. Mereka
hanya berlatih servis, pukulan backhand, pukulan smash,
ayunan kaki, permainan net, dan lain-lain sampai mahir dalam semua aspek.
Mereka memberi perhatian pada bagian-bagian yang lemah dan berlatih sangat
keras untuk mengatasi kelemahan-kelemahan itu.
Para petenis profesional juga tidak berlatih setiap hari
dengan cara bermain tenis. Begitupun dengan pemain basket, penari, pelukis,
pemain piano, dan sebagainya. Untuk menjadi maestro, mereka berlatih sangat
keras pada aspek-aspek spesifik sampai mereka menguasai secara mahir seluruh
aspek itu dan mampu menggunakannya dalam sebuah performansi.
Dan mereka memiliki pelatih yang mencatat perkembangan
hasil latihan, memberi masukan, dan tahu bagaimana menggenjot aspek-aspek yang
masih lemah untuk ditingkatkan.
Para penulis tidak berlatih setiap hari dengan cara
seperti itu. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak berlatih menulis.
Banyak orang menulis meskipun
tidak memahami bagaimana cara menghasilkan kalimat yang bagus dan tidak
memiliki kepedulian terhadap kalimat. Mereka menulis tanpa pengetahuan yang
memadai tentang bagaimana menciptakan kalimat yang memiliki kekuatan untuk
memikat pikiran orang.
Mereka hanya menulis dengan cara menuruti saran yang
paling mudah diikuti: "Menulis ya menulis saja setiap hari." Kurang
lebih yang mereka lakukan setali tiga kepeng dengan pemain badminton yang
bermain di kampung-kampung atau para pecatur yang bertanding setiap hari di
gardu ronda.
Menulis adalah melukis dengan kalimat. Pelukis
menggunakan cat dan kanvas untuk menciptakan realitas dan mentransformasikan
ide di dalam benaknya menjadi bentuk kongkret di atas kanvas. Penulis
menggunakan kalimat dan halaman-halaman kertas (dan/atau layar komputer) untuk
tujuan yang sama: memperlihatkan kepada pembaca apa yang patut dilihat dan
diberi perhatian.
Pelukis melatih diri secara keras dalam aspek-aspek
spesifik untuk menjadi pelukis besar, penulis tidak tahu apa aspek-aspek
spefisik di dalam urusan tulis-menulis dan, konsekuensinya, tidak tahu apa yang
menjadi kelemahan mereka dan bagaimana memperbaikinya.
Para reporter menulis setiap hari dan bertahun-tahun
kemudian kebanyakan dari mereka tetap menulis buruk. Mereka mungkin lebih
lancar, tetapi mutu tulisan mereka tidak menunjukkan peningkatan berarti. Para
pengamen memainkan gitar berjam-jam setiap hari dan mereka tidak menjadi musisi
hebat. Saya berjalan kaki setiap hari, dari kamar tidur ke kamar mandi,
mondar-mandir di halaman rumah, pergi dari rumah ke warung dan kembali ke rumah
lagi, tetapi saya tidak menjadi atlet jalan kaki yang sanggup memenangi bahkan
sekadar lomba jalan kaki antarkecamatan.
Jadi, saran menulis ya menulis saja sudah jelas tidak
menghasilkan penulis bagus. Jika saran itu berhasil, tidak akan muncul
pertanyaan di awal tulisan ini.
Masalah terbesar dalam penulisan adalah kita tidak mampu
mengidentifikasi secara jelas apa aspek-aspek spesifik yang mendasari kemahiran
menulis. Jika kita memahami aspek-aspeknya, kita bisa berlatih tiap hari untuk
menjadikan diri menguasai kecakapan dalam semua aspek itu.
Kita bisa mengomentari bahwa sebuah tulisan tidak koheren
atau penulisnya tidak mampu merumuskan masalah secara tajam. Itu umpan balik
yang sifatnya sangat umum, tidak menjangkau detail. Lalu, apa latihan yang
harus dilakukan oleh seorang penulis jika tulisannya tidak koheren dan
perumusan masalahnya tidak tajam?
Saya tidak tahu apakah ada penulis yang setiap hari
berlatih keras dalam urusan koherensi atau merumuskan masalah saja selama satu
sampai dua tahun dengan ketekunan David Beckham berlatih tendangan bebas.
Mungkin tidak ada juga penulis yang berlatih keras menciptakan metafora, atau
membuat dialog, atau memfokuskan perhatian selama beberapa tahun untuk urusan
diksi.
Jika ada, tentu sangat menarik untuk mencari tahu apa
bentuk latihan yang dilakukannya dan bagaimana dia tahu bahwa dialog-dialognya
sudah kuat, atau metaforanya sudah secemerlang matahari pagi, atau tokoh-tokoh
dalam ceritanya sudah hidup dan sama gesitnya dengan tikus-tikus got.
Belum lagi urusan penyuntingan. Pada tingkat kalimat,
seorang penulis harus mampu mengevaluasi hal-hal seperti kesalahan tatabahasa,
ambiguitas semantik, kekeliruan referensi, dan berbagai kerancuan yang bisa
menyesatkan pemahaman. Ia harus mampu memperbaiki kesalahan logika, membereskan
kesalahan fakta, dan meluruskan inkonsistensi pemikiran. Masih ada lagi, pada
jenis tulisan tertentu seorang penulis harus mempertimbangkan pembacanya, suara
literernya, dan tingkat kerumitan tulisannya.
Penulis secara umum tidak melakukan latihan sadar, sebuah
latihan yang memerlukan keuletan dan ketekunan untuk menguasai aspek-aspek
spefisik, sebagaimana yang dilakukan oleh para atlet dan musisi dan
seniman-seniman lain. Mereka sekadar menulis, lalu menulis lagi, lalu menulis
lagi, persis dengan saya berjalan tiap hari dan tidak menjadi juara lomba jalan
kaki.
Para penulis buruk menulis setiap hari dan tidak memahami
bagaimana bahasa bekerja, sebab mereka tidak peduli terhadap bahasa dan tidak
memiliki kepekaan terhadap diksi. Mereka tidak memedulikan style--yang
oleh Pinker dirumuskan sebagai penggunaan kata-kata yang efektif untuk memikat
pikiran manusia.
"Kata-kata terbaik," katanya, "tidak hanya menyampaikan gagasan dalam cara yang lebih baik, tetapi juga menggemakannya dalam suara dan artikulasi yang kuat."
Dengan kata lain, penulis yang
baik tidak lahir karena mereka sekadar menulis tiap hari dan menjadi mahir
setelah 10 ribu jam. Ia dengan sadar melatih diri, secara keras. Ia mencintai
kalimat dan memiliki kepekaan terhadap bunyi dan irama yang lahir dari
penggunaan kata-katanya. Ia memiliki gagasan dan bisa menyampaikannya dengan
gaya--dengan kemahiran seorang maestro.
Sumber: Beritagar.Id
0 komentar:
Posting Komentar