Jumat, 30 Maret 2018

Hari Teater Sedunia : Catatan Rudolf Puspa


Rudolf Puspa

Sejak 1961 International Institute theater memulai tradisi yakni hari teater se dunia. Hal ini merupakan cetusan besar atas perenungan panjang sehingga memiliki keyakinan bahwa seni teater memiliki kekuatan daya hidup lewat panggung menyeruak ke dalam hati para pekerja dan penikmatnya. Setidaknya itulah yang aku tangkap dari peringatan hari teater se dunia.

Selanjutnya tanggal hari teater se dunia pun kemudian ditetapkan pada tanggal 27 Maret yang diambil sebagai penghargaan kepada penulis naskah absurd dari Perancis yakni Eugene Ionesco yang wafat karena kecelakaan mobil di Paris 27 Maret 1995. Kebetulan teater keliling waktu itu sedang berada di Rumania mengikuti festival teater internasional di Rumania.


Kini di tanah air pun kelompok-kelompok teater selalu memperingati hatedu dengan mengadakan beraneka acara. Utamanya acara selalu diadakan dari dan untuk pekerja teater. Para pekerja teater dari yang muda hingga yang sudah tidak aktif datang berkumpul, berbincang, diskusi, membuat pertunjukkan dan siapapun bebas menyaksikannya.  Tentunya suasana khas Indonesia akan terasa sebagai sebuah silaturahmi teater yang mengesankan. Bahwa ada kebutuhan antara seniman teater butuh ruang bertemu untuk bicara dari hati ke hati.

Suasana yang indah teateral tersebut sangat mengetuk hatiku untuk turut terlibat namun hingga hari ini saya masih belum berkesempatan karena memiliki acara lain yang waktunya bersamaan. Selalu berharap tahun depan bisa kesampean tentunya.  Terlebih di Solo, kota kelahiranku selalu tiap tahun ada acara hatedu yang sudah jadi rujukan secara nasional. Aku bangga dan meneriakkan rasa hormatku kepada teman-teman Solo yang setiap tahun menyelenggarakan perayaan hatedu.

Semakin nyata bahwa teater memiliki satu gerakan yang menyuarakan bahwa ada kedaulatan teater Indonesia yang harus selalu di suarakan sehingga semakin disadari bahwa gerakan teater Indonesia memiliki arti penting bagi turut berperan dalam penyelenggaraan bernegara dan berbangsa yang bermartabat. Tidah bisa dipungkiri gerakan teater Indonesia telah membuahkan hasil yakni makin ramainya kegiatan teater dikalangan remaja, di sekolah-sekolah sehingga makin banyak kini produksi teater yang merangkul kaum remaja untuk ikut aktif menjadi bagian dari kegiatan produksi teater.


Orientasinya profesional dalam kerja walau dalam hal materi masih belum mengarah kesana.
Pergerakan dengan pentas dari kota ke kota semakin mulai tampak ujutnya sehingga teater keliling mulai merasa tidak kesepian karena kini tidak sendirian bekerja pentas keliling. Setelah 43 tahun bergerak sendiri kini banyak temannya dan itu sangat membanggakan. Saya merasakan inilah hasil kerja puluhan tahun yang memberikan sinar cerah dan harapan bahwa teater bukan sesuatu pekerjaan yang tidak bisa menjawab pertanyaan para orang tua ketika mendengar anaknya mau berteater ; “ mau jadi apa hidupmu nak?”

Ketika anak-anak remaja semakin banyak yang menyukai bermain drama tentu tidak salah jika kami mulai mempertanyakan sejauh mana kementerian pendidikan dan kebudayaan ikut terlibat menyusun kurikulum yang memberikan dukungan bagi teater yang mulai digemari para anak didik tingkat smp dan sma. Namun hingga hari ini jika masih merasa sebagai anak tiri tentu saja hal yang memang juga sebuah kenyataan pahit. Alangkah baiknya jika pil pahit ini kita telan sebagai obat yang justru akan menjadikan kehidupan yang sehat.

Jika melihat kegiatan ekskul teater yang mendapat ruang dan waktu setelah selesai sekolah maka yang dihadapi adalah siswa siswi yang lelah 8 jam dijejali berbagai mata pelajaran selama sehari. Celakanya sering waktu yang diijinkan setelah solat Ashar dan pukul 17.00 sekolah harus kosong dari kegiatan pelajar. Hanya dua jam maksimal dan hanya seminggu sekali. Dalam setahun belum tentu bisa 52 minggu karena ada hari libur dan juga sering terpaksa libur karena ada kegiatan lain yang dipandang lebih penting. Dan dalam hari libur jika diajak latihan maka serempak kurang menerima karena bertumpuknya tugas-tugas dari tiap pelajaran sehingga tetap saja kelelahan juga.

Namun saya masih terhibur karena masih ada kelompok teater sekolah yang berani dan mau bekerja keras dan tidak peduli lelah beratnya. Justru merasakan bahwa dengan latihan teater maka jiwanya menjadi segar bugar. Juga agak beda dengan sekolah swasta yang maaf dimana etnis minoritas justru memiliki daya juang lebih baik. Ketika memilih teater sebagai ekskulnya maka mereka punya konsekwensi untuk disiplin. Dukungan pihak sekolah pun selalu tinggi dan membuka kegiatan teater bukan sekedar asal ada. Hanya masih juga sama kalau soal orang tua yang melempar pertanyaan yang sama juga.

Marilah kita terus bersatu padu bergandeng hati untuk terus melangkah bagai sang penyair besar Chairil Anwar yang berseru “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.

Selamat hari teater se dunia 27 Maret 2018.

Salam jabat hati

Jakarta 27 Maret 2018.
Rudolf Puspa

PojokSeni 

0 komentar:

Posting Komentar