Minggu, 22 Oktober 2017

Golek Menak dalam Belantara Modernitas


Birul Sinari-Adi - October 22, 2017

Salah satu adegan Pementasan Semuan Joged Mataram “Pastha Anglari Pasthi” di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (19/10/2017). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Munculnya berbagai genre seni pertunjukan di Jawa, tercatat, tidak terlepas dari adanya pengaruh proses interaksi sosial dan budaya setempat dengan kebudayaan lain.

Hal itu diungkap saat acara Sarasehan “Golek Menak Dalam Belantara Modernitas” dan Pentas Tari “Pastha Anglari Pasthi”, Kamis (19/10/2017) di Bentara Budaya, Jakarta, Jalan Palmerah Selatan 17, Jakarta.
  
Sarasehan menghadirkan Bambang Pudjasworo, Dosen Seni Tari ISI Yogyakarta, dan Nungki Kusumastuti, Pegiat Seni, sebagai pembicara, serta Adi Wicaksono sebagai moderator.

Menurut Bambang, salah satu genre pertunjukan itu adalah Wayang Golek Menak. Jenis pertunjukan wayang dan juga dramatari Jawa ini menggunakan materi dramatiknya dari cerita Menak. Sementara cerita Menak adalah karya fiksi yang bersumber pada karya sastra dari kebudayaan lain. Yang berkembang dan  menyebar di kawasan Asia Tenggara.

Para pembicara sarasehan “Golek Menak Dalam Belantara Modernitas”, di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (19/10/2017). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Ada tulisan dari salah seorang peneliti Belanda, van Rinkel, itu mengatakan bahwa yang menyebar itu adalah versi Amir Hamzah, yang dari Persia. Yaitu yang kemudian dikenal atau yang tertulis dalam kitab Qissa I Emr Hamza itu,” kata Bambang.
Kitab yang ditulis pada masa Sultan Harun Ar Rasyid (766-809 M) tersebut sampai di kawasan Asia Tenggara dibawa oleh para pedagang muslim Persia. Dan mempengaruhi khasanah sastra Melayu, dengan munculnya wiracarita Hikayat Amir Hamzah. Hikayat ini merupakan cerita Menak versi Melayu, yang lantas tersebar ke Jawa, Bali, Lombok, hingga Makasar.

Menariknya, persebaran itu diikuti oleh proses enkulturasi. Hikayat yang berasal dari Persia kemudian terinternalisasi ke dalam lingkungan budayanya yang baru dan bahkan dianggap telah menjadi milik dari lingkungan budaya itu.

Lebih jauh, terjadi tafsir ulang dan penyesuaian dengan lingkungan budaya, pandangan hidup, dan kepercayaan masyarakat setempat. Karena itu, tidak mengherankan, ada banyak versi mengenai cerita Menak. Seperti yang berkembang di Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Lombok, dan Bugis.
“Itu juga yang terjadi di Jawa. Setelah sekitar tahun 1715 itu (Hikayat Amir Hamzah) ditransliterasi ke dalam Serat Menak oleh Carik Narawangsa (Narawita). Dan kemudian oleh Yasadipura, kemudian digubah dalam bentuk tembang, lalu diterbitkan Balai Pustaka. Maka kebudayaan mengenai Menak ini menjadi semakin luas,” ungkap Bambang.
Bambang Pudjasworo sebagai pembicara sarasehan “Golek Menak Dalam Belantara Modernitas” tengah memberi contoh gerakan tari Menak. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Serat Menak versi Yogyakarta digubah oleh Raden Ayu Purbaningrum yang ditulis sepanjang 148 jilid. Lebih lengkap daripada versi Yasadipura. Memuat  kisah mulai dari Menak Lare sampai Pedhang Kangkam Pamor Kencana (kisah anak keturunan Iman Suwangsa).

Proses enkulturasi dan transliterasi membuat kisah atau Hikayat Amir Hamzah mengalami penyesuaian dengan budaya Jawa. Hal ini terlihat dalam penyebutan nama para tokoh dan latar tempat terjadinya cerita.

Nama Amir Hamzah menjadi Amir Ambyah atau Wong Agung Menak Jayengrana. Ammar ibn Omayya menjadi Umarmaya. Buzurch Mihr menjadi Betal Jemur. Adi Ma’dikarab menjadi Jemblung Umar Madi. Dan, Mihr-Nigar menjadi Dewi Muninggar, Unekir menjadi Dewi Adaninggar.

Sementara, nama tempat seperti Mekah menjadi Puser Bumi. Akko menjadi Parang Akik, dan Medain menjadi Medayin. Sekadar untuk menyebut beberapa contoh.

Karakter tokoh juga mengalami penyesuaian dan disamakan dengan karakter tokoh pewayangan Jawa. Misal, Amir Ambyah atau Jayengrana disamakan dengan Arjuna atau Panji. Dewi Muninggar disamakan dengan Dewi Sumbadra atau Dewi Sekartaji.

Sebagai sastra lisan, cerita Menak sebenarnya telah dikenal oleh masyarakat Jawa jauh sebelum tahun 1715.  Atau sebelum proses transliterasi oleh Carik Narawita di masa Paku Buwana I di Kartasura.

Di dalam makalahnya yang berjudul “Tari Golek Menak Dalam Dialektika Perkembangan Tari Gaya Yogyakarta”, Bambang mengungkapkan bahwa di dalam Serat Sastramiruda disebutkan wayang golek Menak sebagai hasil kreasi Sunan Kudus pada tahun 1506 untuk kebutuhan syiar agama.
“Pengertiannya adalah bahwa ternyata Menak mungkin sudah berkembang sebagai sastra lisan pada waktu itu,” kata Bambang yang juga biasa dipanggil dengan nama Bambing.
Dengan kata lain, Sunan Kudus memanfaatkan cerita Menak yang sudah dikenal oleh masyarakat Jawa dalam bentuk sastra lisan dengan cara menciptakan wayang golek Menak  untuk kebutuhan syiar agama Islam di Jawa.

Menurut Bambang, semenjak proses transliterasi itu wayang golek Menak menjadi semakin popular di kalangan masyarakat Jawa, baik sebagai seni pertunjukan istana (keraton) maupun sebagai seni pertunjukan rakyat yang berkembang di desa-desa.

Pada awalnya wayang golek Menak berkembang di daerah pesisir Utara Pulau Jawa, lantas menyebar ke daerah Tegal, Cirebon, dan Banyumas. Pertunjukan wayang golek Menak menggunakan boneka wayang dari kayu, dan dimainkan tanpa kelir. Seperangkat gamelan Jawa berlaras slendro dan pelog menjadi pengiringnya.

Ketika kekuasaan Majapahit beralih kepada penguasa Islam pada abad XVI, dan kesusastraan Hindu Jawa semakin merosot, maka cerita Menak semakin popular di kalangan masyarakat Jawa. Dan, menginspirasi lahirnya beberapa genre seni pertunjukan Jawa, seperti wayang golek Menak, Jabur, Panjidur, Srandhul, wayang wong Menak, Srimpi dan Bedhaya dengan lakon Menak.

Sebelum wayang wong Menak diciptakan, di Keraton Yogyakarta cerita Menak memang sudah digunakan sebagai sumber materi dramatik tari Bedhaya dan Srimpi. Misal, tari Bedhaya Sinom karya HB VIII, yang mengisahkan pertempuran antara Dewi Adaninggar dan Dewi Kelaswara.
“Nampaknya internalisasi dari ajaran-ajaran Menak memang sudah merasuk di dalam alam pikiran Jawa masa itu. Dan kemudian terekspresikan dalam bentuk-bentuk seni pertunjukan,” ujar Bambang yang selama sarasehan juga memberi contoh gerakan tari Menak.
Wayang wong Menak adalah dramatari istana Jawa yang  merupakan ciptaan (yasan nDalem) Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1941.
“Tampaknya cerita Menak ini berkembang dan kemudian mempengaruhi atau menjadi sumber inspirasi untuk munculnya wayang golek Menak dalam pengertian wayang golek kayu itu. Ini menjadi sesuatu hal yang sangat menarik dan kemudian menginspirasi Sri Sultan HB IX untuk menciptakan sebuah drama tari yang berbeda dengan drama tari yang pernah diciptakan oleh ayahnya atau kakeknya,” tutur Bambang.
Suasana di ruangan sarasehan “Golek Menak Dalam Belantara Modernitas”, di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (19/10/2017). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Mengawali proses penciptaannya, Sultan HB IX mengundang Ki Widiprayitno. Seorang dalang wayang golek Menak dari Sentolo, Kulon Progo. Saat itu Ki Widiprayitno lantas mendalang wayang golek Menak di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta, disaksikan Sultan HB IX dan para guru tari.

Setelah itu berhasil diciptakan satu dramatari baru di Keraton Yogyakarta. Yaitu Wayang Wong Menak. Namun Sultan HB IX belum puas. Setelah 45 tahun kemudian, HB IX meminta agar gerak tari, gendhing, kostum, dan karakterisasi peran Wayang Wong Menak disempurnakan.
“Maka kemudian dikumpulkanlah para budayawan, akademisi, para seniman dari berbagai cabang seni untuk membicarakan masalah golek Menak itu. Dan itu adalah suatu kerja yang besar. Yang kemudian Sultan sebagai raja turun sendiri untuk menangani proses kreatif dalam penciptaan golek Menak,” cerita Bambang yang menjadi bagian dari tim yang memproses penyempurnaan wayang wong Menak pada tahun 1989.
Proses penyempurnaan wayang wong Menak (tari Golek Menak) berlangsung selama dua tahun lebih. Dan diwujudkan pada tahun 1989 dalam satu pergelaran wayang wong Menak dengan lakon “Kelaswara Palakrama”, di Bangsal Kepatihan Yogyakarta.

Di dalam penyempurnaan wayang wong Menak tahun 1989, dimasukkan gerak pencak dari Minang, dan tendangan Sunda. Jadi tidak hanya menggunakan tendangan Jawa.
“Kemudian ditetapkan satu karakterisasi di dalam golek Menak yang mengacu karakterisasi wayang wong,” kata Bambang yang di dalam makalah sarasehan juga mengungkapkan nilai ajaran dan asketisme dalam cerita Menak.
Menurut Bambang, HB IX menciptakan wayang wong Menak sebagai suatu culture identity, yang menjadi penanda masa pemerintahannya. Penyempurnaan garap dan masa keemasan wayang wong terjadi pada era HB VIII. Maka identitas budaya yang menjadi penanda HB IX adalah Wayang Wong Menak (wayang wong golek Menak).

Sementara Nungki Kusumastuti, pembicara lain, melihat perubahan gerak dan ide koreografi pada wayang golek Menak sebagai luar biasa. Meski tetap ada pakem-pakem yang dipegang dalam tari Jawa Yogyakarta, ia menganggapnya sebagai karya tari baru yang berangkat dari tari lama.

Sarasehan merupakan kerjasama Bentara Budaya Jakarta dengan Sanggar Tari Surya Kirana, Jakarta. Setelah sarasehan dilanjutkan dengan Pementasan Semuan Joged Mataram “Pastha Anglari Pasthi”, dengan penata tari Tatik Kartini Mustikahari.

*

0 komentar:

Posting Komentar