Jumat, 10 November 2017

Polemik Budaya: Seni Parsipatoris Dan Dilema Peradaban

Oleh: Yos Suprapto*


Kredit foto: Lukisan Yos Suprapto, “Selamat Pagi Bung”, 
uk 175×145 cm, akrilik diatas kanvas, 2017

Seni adalah produk budaya manusia hasil interaksinya dengan alam sebagai usaha memproses untuk menciptakan peradabannya melalui kreativitas estetika. Sedangkan estetika adalah disiplin ilmu pengetahuan falsafah seni  yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan.
Oleh karena itu, berkesenian merupakan bagian dari sebuah proses kehidupan yang dilakukan oleh manusia di dalam menciptakan nilai-nilai subjektif maupun objektif. Berawal dari pengamatan terhadap alam sekitarnya itulah muncul gagasan yang melahirkan inspirasi sebagai konsep kerja yang kemudian dieksekusi melalui ketrampilan khusus (genetic fate) untuk menjadi karya kongkret yang inspiratif dan fungsional.
Dalam konteks peradaban secara umum, seni adalah bagian dari dialektika kehidupan yang memiliki peran penting dalam perubahan sosial di dalamnya. Karena seni memiliki peran penting dalam perubahan sosial di dalam sebuah peradaban, maka sebagai anggota masyarakat, seniman yang melahirkan gagasan dan karya konkret adalah subjek kesenian pendorong terciptanya interaksi sosial melalui karya-karyanya.
Sementara kemajuan teknologi yang berkembang dari masa ke masa dalam setiap peradaban selalu membawa perubahan bentuk kreativitas karya maupun nilai berkesenian. Hal ini bisa dilihat dari banyak contoh yang diambil dalam perjalanan sejarah kesenian itu sendiri. Kemajuan teknologi telah mampu mereproduksi kualitas dan kuantitas benda-benda seni dalam skala yang tidak pernah terjadinya sebelumnya. Bahkan kecanggihan teknologi komunikasi juga mampu mengubah segala keberkaitan dalam kehidupan berbudaya dan kesenian sebagai keniscayaan.
Fenomena ini mendorong munculnya consensus di  antara pengamat, kritikus, akademiwan kesenian yang mempercayai pergeseran nilai objek seni dan subjek seni  sudah sampai pada titik di mana relevansi sublimitas seorang seniman sebagai sang pencipta (‘creator’)  karya seni harus dipertanyakan. Pendapat semacam ini muncul ketika kemajuan teknologi dianggap telah mendorong adanya kesadaran baru yang mampu menerjemahkan karya seni sebagai sesuatu yang tidak bisa lagi diartikan sebagai benda seni menurut kriteria konsensus kalangan publik seni (seniman, kurator, galeri, dan kolektor), tapi juga perwujudan dari himpunan hubungan sosial (masyarakat) yang mensituasikan” benda tersebut untuk bisa disebut sebaga karya seni.
Seiring dengan terjadinya pergeseran tersebut, satu seniman sebagai pencipta bukan saja dipertanyakan tapi juga ikut tergeser. Muncul pandangan yang meyakini bahwa yang menciptakan karya seni itu bukan hanya seniman (pencipta karya seni), melainkan adalah masyarakat umum atau anggota masyarakat secara berbarengan. Seniman lepas dari posisinya sebagai penggagas dan inspirator, ia hanya menghasilkan benda atau bentuk-bentuk praktek kesenian (tari, teater, dll) sementara masyarakat atau publiklah yang mensituasikan benda yang dihasilkan tadi sebagai karya seni.
Menurut Martin Suryajaya pergeseran ini terjadi karena “dimungkinkan oleh meningkatnya kesadaran tentang akar sosial dari setiap karya seni…. (yang) dipandang sebagai produk pengakuan sosial tertentu, (sehingga) status seniman sebagai pencipta tergusur” (Martin Suryajaya, Dorongan ke arah Estetika Partisipatori, Yogyakarta 2015, hal 49). Lebih lanjut Martin menulis tentang pergeseran ini suka menimbulkan “suatu demokratisasi atas proses produksi artistik. Penciptaan karya seni bukan lagi hak privilese seniman, melainkan setiap anggota masyarakat. Dari sinilah timbul kesadaran bahwa setiap orang adalah seniman.” (Martin Suryajaya, op cit, hal. 49).
Tetapi ada pertanyaan yang kemudian muncul kalau setiap orang adalah seniman, lalu fungsi apa yang tersisa bagi seniman. Tetapi nyatanya Martin menjawab peran seniman hanya sebagai “organizer”. Mungkin, di dalam seni tari, teater, atau beberapa jenis seni rupa semisal seni rupa mural atau graffiti bisa jadi setiap pelaku yang dimaksud adalah semua seniman. Tetapi bagaimana jika dalam hal ini berkaitan dengan pelukis yang termediakan karvas dan cat atau pematung individu? Apakah tukang pembuat bingkai lukisan juga bisa dikatakan seniman? Apakah si penjual peralatan lukis atau pahat juga ikut melahirkan gagasan untuk mewujudkan karya konkret yang dikerjakan oleh seniman?
Di sini letak dilema yang dihadapi oleh para akademik seni  kontemporer dalam menguji kemampuannya membuat standar umum tentang pergeseran arti dan nilai seni yang diperdebatkan. Memang tidak bisa dinafikan bahwa perkembangan budaya yang ditunjang oleh kemampuan teknologi telah mengubah pola berpikir dan berkarya para seniman. Namun adalah naif apabila dengan adanya seni perlawanan terhadap kemapanan kapitalisme yang memunculkan teori “estetika partisipatoris”, semua fakta-fakta obyektif tentang subjek dan objek kesenian yang melibatkan individu sebagai anggota masyarakat dianggap tidak lagi memiliki relevansi nilai estetika. Demikian pula dengan anggapan bahwa yang lebih memiliki nilai standar hanya karya seni yang dibentuk oleh paradigma estetika relasional, dimana praktek kesenian itu ada serta berproses dalam ruang sosial dan setiap orang adalah agen-agen perubahan sosial. Sementara seniman professional hanya merupakan agen penghubung dalam melakukan proses penciptaan sebagai bentuk realitas sosial baru.
Menurut paradigma estetika semacam itu, ada atau tidaknya karya seni bukan lagi menjadi tujuan berkarya. Praktek kesenian semacam ini berpendapat bahwa seni pada dasarnya adalah fenomena hubungan sosial yang mana hakekatnya karya seni tidak bisa direduksi dalam bentuk benda seni. Sehingga yang terjadi adalah bahwa “karya-karya seni” hasil penciptaan kerja konkret yang dipamerkan lebih sering hanyalah merupakan dokumentasi dari proses kolektif dan itu disebut sebagai “karya-karya partisipatoris”.
Praktek berkesenian semacam itu memang bisa merupakan alat untuk membangun partisipasi aktif masyarakat dalam membangun peradaban gotong royong dan egalitarian. Namun dalam prosesnya, teori estetika ini tidak bisa menafikan begitu saja fakta objektif bahwa objek seni adalah muncul dari gagasan individu sebagai hasil pengamatannya terhadap alam lingkungan untuk kemudian dimusyawarahkan melalui berbagai cara. Hal yang juga tidak pernah dibicarakan oleh konsep pemikiran paradigma estetika ini adalah peran materi pendukung fakta objektif dalam konteks interaksi sosial dengan faktor ekonomi dalam merealisasikan kerja-kerja konkret yang disebut sebagai perwujudan agenda-agenda kolektif masyarakat dalam melakukan perubahan sosial.
Sehingga konsep ini berlawanan terhadap kemapanan melalui agenda kolektif antikapitalisme yang bertujuan untuk menciptakan perubahan sosial tersebut bukannya menciptakan pergeseran arti dan nilai, tetapi malah mendorong terjadinya benturan budaya yang bisa menghambat terjadinya penyerapan keharmonisan budaya yang dibutuhkan dalam membangun peradaban. Sebab dari perspektif objektif, bagaimanapun juga eksklusivitas dalam proses penciptaan gagasan atau karya konkret itu masih sangat dibutuhkan untuk menjaga terjadinya kevakuman budaya inspiratif.
Usaha menstandardisasikan estetika partisipatoris dalam kehidupan berkesenian merupakan dorongan menuju totalitarian yang bisa membahayakan peradaban itu sendiri. Ketika dalam sebuah masyarakat homogeny paradigm  estetika parsipatoris yang tidak pernah “steril” dari kepentingan politik dan ekonomi tertentu itu distandarisasikandi tengah masyarakat yang nirkecerdesan politik secara holistik, maka yang terjadi adalah munculnya keseragaman berpikir dan bertindak. Pada akhirnya peradaban terbukti tidak bisa dibangun di atas kesegaraman yang totaliter.
___
*Yos Supraptopelukis Indonesia, baru-baru ini, tepatnya 14 September-3 Oktober 2017, menyelenggarakan pameran tunggal bertema “Arus Balik Cakrawala 2017”, di Galeri Nasional Indonesia.

Sumber: Berdikari 

0 komentar:

Posting Komentar