Catatan: Mahesa
Danu
Kesenian bukan sekedar
menghidangkan hibuaran. Lebih penting dari itu, kesenian harus menjadi
“penyambung lidah” bagi berbagai persoalan sosial di sekitarnya.
Persis seperti
diingatkan oleh WS Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong:
“apakah artinya berkesenian bila terpisah dari derita lingkungan?”
Kesenian tidak
bisa berdiri netral di tengah ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang
menindas rakyat-banyak.
Dalam lini waktu
perjalanan bangsa ini, tidak sedikit kesenian yang hadir di tengah-tengah
perjuangan rakyat tertindas. Dia menjadi senjata efektif untuk memecah
kesunyian dan kebisuaan. Dan terbukti, kesenian juga efektif untuk menyadarkan
dan menggerakkan rakyat banyak.
Berikut
ini lima kesenian rakyat yang kerap menjadi penyambung lidah kaum tertindas:
Ludruk
Ludruk lahir dari
rahim berkesenian rakyat Indonesia. Tentang asal-usul Ludruk ini, ada beberapa
versi penjelasan. Ada yang bilang ludruk lahir di Jombang. Namun, ada pula yang
bilang ludruk dilahirkan di Surabaya. Yang jelas, ludruk lahir di Jawa Timur.
Ada versi yang
menyebutkan, ludruk sudah muncul tahun 1890. Penggagasnya bernama Gangsar,
seorang tokoh yang berasal dari desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali
mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan jogetan.
Versi lain
menyebutkan, ludruk dipelopori oleh orang bernama Santik, petani dari Desa
Ceweng, Kecamatan Goda, Kabupaten Jombang, pada 1907. Waktu itu, Santik bersama
dua kawannya, Pono dan Amir, mengamen dari desa ke desa.
Ludruk kemudian
berkembang senafas dengan perjuangan rakyat. Tahun 1920an, tokoh-tokoh
pergerakan mulai melirik ludruk sebagai sarana penyadaran dan pengorganisasian
massa rakyat. Sebut saja: Dr Sutomo dan Bung Karno.
Pada tahun 1933,
Cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO). Kelompok ini aktif
menentang fasisme Jepang. Anggotanya sekitar 60-an orang. Setiap pertunjukan
mereka diawali dengan kidung jula-juli: bekupon omahe doro, melok Nipon soyo sengsoro (bekupon
rumah burung dara, ikut Jepang makin sengsara). Cak Durasim ditangkap dan
disiksa oleh Jepang.
Contoh lainnya:
Bintang Merah. Kelompok ini berdiri semasa berkobarnya Revolusi Agustus 1945.
Pimpinannya adalah Matekram. Ia gugur saat mempertahankan Bojonegoro dari
serbuan Belanda. Bintang Merah membangkitkan perlawanan rakyat melalui
pementasan di kampung-kampung, pabrik-pabrik, pegunungan, dan lain-lain.
Tak lama
kemudian, Bintang Merah berganti nama menjadi “Suluh Massa”. Filosofinya:
hiburan adalah obor massa untuk mendekatkan massa dengan revolusi. Dalam
membangkitkan semangat revolusioner rakyat, kelompok Suluh Massa mengangkat
cerita-cerita rakyat: Pak Sakerah, Sawunggaling, Bontotan Surabaya, dan
lain-lain.
Di tahun 1950-an,
ludruk makin berkembang pesat. Lahir kelompok-kelompok Ludruk seperti Irama
Massa (Banyuwangi), Madju Trisno, Sinar Baru, Suluh Massa (Bojonegoro), dan
Marhaen (Surabaya). Ini kelompok ludruk yang berdiri di barisan revolusi.
Namun, pasca
peristiwa G.30 S, ludruk agak surut. Banyak pemain ludruk yang dicap PKI. Di
bawah Orba, ludruk dipakai penguasa untuk kepentingan mereka.
Dengan bahasa
yang sederhana, lugas, dan egaliter, Ludruk bisa menjangkau rakyat banyak.
Drama yang diangkat oleh Ludruk terkadang satire dan berbau protes sosial.
Ketoprak
Ketoprak juga
lahir dari rahim berkesenian rakyat jelata. Kesenian ini lahir di awal abad ke-20,
tepatnya 1922, di era Mangkunegaran. Peralatannya sederhana: lesung, alu,
kendang dan suling.
Awalnya, ketoprak
berkisah tentang kehidupan rakyat jelata. Juga sarana untuk mengeritik penguasa
kerajaan. Namun, gara-gara pernah mentas di Istana, ketoprak sempat diculik
sebagai hiburan para bangsawan.
Di masa
perjuangan anti-kolonial, ketoprak jadi senjata perlawanan. Tjipto
Mangoenkoesoemo, seorang tokoh pergerakan di awal abad ke-20, menjadi ketoprak
sebagai senjata perlawanan, baik untuk menghantam para peodal maupun penguasa
kolonial Belanda. Saat itu Dokter Tjipto mengangkat lakon “Ki Agen Mangir”
untuk mengeritik penguasa feodal.
Tahun 1933,
karena kerap menyuarakan perlawanan rakyat, penguasa kolonial melarang
pementasan ketoprak. Penguasa kolonial berdalih, ketoprak bisa memicu
kejahatan, pelacuran dan kriminalitas.
Tahun
1937, seniman ketoprak mengorganisasikan diri dalam badan perjuangan, yaitu
Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia (Bakoksi). Bakosi
terang-terangan mendukung perjuangan kemerdekaan lewat jalan kesenian.
Tahun 1950-an,
ketoprak makin populer dan meluas. Banyak seniman ketoprak yang berhimpun di
bawah Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra).
Bakosi sendiri
sangat dekat dengan organisasi kesenian berhaluan kiri itu.
Karena
itu, pasca peristiwa G 30 S 1965, banyak seniman ketoprak yang turut ditangkap,
disiksa dan dipenjara. Mereka dicap membawa ketoprak menjadi kesenian komunis.
Reog
Bicara reog,
orang akan ingat Ponorogo. Reog memang identik dengan Ponorogo. Dari banyak
kisah, kesenian reog memang lahir, tumbuh dan berkembang pesat di Ponorogo.
Konon ceritanya,
kesenian reog lahir sebagai bentuk protes alegoris terhadap Raja Majapahit,
Brawijaya V. Raja terakhir Majapahit ini menikahi seorang putri dari kerajaan Campa.
Masalahnya, Raja Brawijaya V sangat tunduk pada istrinya itu. Itulah yang
membuat banyak pengikutnya kecewa.
Salah satunya Ki
Ageng Kutu Suryongalam. Namun, untuk melawan Majapahit, kekuatan Ki Ageng Kutu
sangat kecil. Karena itu, dia kemudian menggunakan model protes alegoris: singa
(Barongan) dikangkangi merak (Dhadhak Merak).
Di masa kolonial
Belanda, reog juga hadir sebagai senjata perlawanan. Karena sengitnya
perlawanan reog ini, penguasa Belanda mencoba melakukan adu-domba. Tidak hanya
itu, Belanda juga mendorong isian pementasan reog lebih ke mistis dan
takhyul–terpisah dari kehidupan nyata.
Di zaman Jepang,
reog juga ditindas habis, karena dianggap berpotensi mengumpulkan massa. Baru
setelah proklamasi kemerdekaan 1945, seniman reog juga menemukan kemerdekaan
berkesenian. Reog pun menjadi bagian dari revolusi kemerdekaan.
Di tahun 1950an,
jelang pemilu 1955, reog makin populer. Terutama setelah partai politik,
terutama PKI, menyadari kemampuan reog dalam memobilisasi massa dalam jumlah
besar. Juga untuk menyemerakkan karnaval politik jalanan.
PKI sendiri
mengorganisasikan seniman reog ke dalam wadah Barisan Reog Ponorogo (BRP). BRP
berkontribusi besar dalam menyemarakkan kampanye-kampanye PKI. Di Ponorogo, PKI
menang pemilu.
Namun,
lagi-lagi peristiwa G 30 S 1965 menjadi pukulan balik bagi kesenian reog.
Banyak yang dicap-PKI. Mereka dikejar-kejar, ditangkap, disiksa dan dibunuh.
Usai 1965, reog
bangkit lagi melalui Nahdatul Ulama (NU) dengan nuansa Islami. Kali ini sudah
dijinakkan, tak punya roh perlawanan lagi. Belakangan, Golkar juga memanfaatkan
kesenian reog untuk mendulam suara di pemilu.
Makin lama reog
makin surut dan nyaris tidak mendapat perhatian pemerintah. Hingga, pada tahun
2007, reog diklaim sebagai kebudayaan Malaysia. Baru di situlah kita marah dan
sadar kita punya kebudayaan rakyat bernama reog.
Wayang
Wayang juga lahir
dari rahim kesenian rakyat Indonesia. Sejarah wayang terbilang panjang. Ada
yang menyebut wayang sudah ada sejak 1500 SM. ada juga yang bilang Wayang
muncul di zaman raja Airlangga yang memerintah Kahuripan pada 1009-1042 M. Ada
juga yang mengaitkannya dengan raja Jayabaya di Kediri.
Awalnya, wayang
adalah hiburan rakyat. Namun, sempat dicaplok menjadi budaya feodal. Lantaran
itu, wayang dibumbuhi banyak kisah mistis, takhyul dan kisah-kisah heroik para
bangsawan.
Namun, pada saat
revolusi Agustus 1945, wayang kembali jadi alat perlawanan. Pada 10 Maret 1947,
dalam pertemuan Badang Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) di Madiun,
Jawa Timur, disepakati wayang sebagai sarana propapanda kemerdekaan.
Inilah yang
melahirkan kesenian wayang yang disebut “wayang suluh” atau “wayang merdeka”.
Suluh berarti penerangan, pencerahan, atau pembebasan pemikiran rakyat.
Wayang suluh
dibuat dari kulit, tetapi sosoknya mengambil tokoh-tokoh pergerakan, seperti
Bung Karno, Bung Hatta, Amir Sjarifuddin, Diponegoro, dan lain-lain. Tema yang
diangkat oleh wayang ini adalah tema-tema perjuangan.
Di tahun 1950-an
hingga pertengahan 1960-an, wayang berkembang cukup progressif. Lekra, salah
satu organisasi seniman kiri zaman itu, berusaha merevolusionerkan wayang
dengan menghilangkan unsur-unsur mistisnya.
Wayang kemudian
didorong bercerita kehidupan nyata rakyat jelata. Kalaupun ada cerita Ramayana
dan Mahabharata, itu sudah didekonstrusi. Ramayana diubah menjadi kisah
pertentangan kelas, yakni antara yang tertindas (Rama dan rakyat kera) melawan
Rahwana (penindas).
Tahun 2003,
wayang dinobatkan oleh UNESCO sebagai maha-karya dunia yang tidak ternilai
dalam seni bertutur. Wayang menjadi sumbangsih kebudayaan Indonesia untuk
memperkaya kebudayaan dunia.
Lenong
Lenong adalah
seni teater rakyat yang lahir di Betawi di sekitar abad ke-19 dan awal abad
ke-20.
Ada yang bilang,
lenong hanyalah hasil teaterisasi dan pengembangan musik Gambang
Kromong. Gambang Kromong adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan
alat musik Tionghoa, seperti Sukong, Tehyan, dan Kongahyan.
Versi lainnya
berpendapat, lenong berasal dari pengembangan wayang Abdul Muluk. Kesenian itu
sudah dikenal di Sumatera sejak 1886, yang dipengaruhi oleh komedi parsi dan
wayang Tiongkok. Wayang Abdul Muluk masuk Jakarta sekitar 1910-an. Nama Lenong
sendiri muncul pada tahun 1920-an. Pada saat itu, musik pengiringnya adalah
gambang kromong.
Menurut
sejarahwan Betawi, Alwi Shahab, kelahiran Lenong tidak bisa dipisahkan
dipisahkan dari perlawanan diam-diam terhadap sistem tanam-paksa (cultuurstelsel)
Belanda. Kita tahu, tanam paksa melahirkan perlawanan, termasuk di Betawi. Ada
tokoh seperti Si Pitung, Si Jampang dan Entong Gendut.
Lenon sendiri ada
dua jenis: lenong dines/denes dan lenong preman. Lenong dines mengangkat kisah
raja-raja atau bangsawan.
Kalau mentas,
pemainnya menggunakan kostum resmi. Bahasa yang digunakan pun bahasa resmi atau
melayu tinggi. Sebaliknya, lenong preman justru mengangkat kehidupan rakyat
sehari-hari. Cerita yang diangkat pun adalah cerita-cerita perlawanan rakyat.
Kostumnya mengikuti rakyat kebanyakan.
Letak kekuatan
Lenon ada di dialognya yang humoris dan kadang satire. Kritik sosial bisa
dilontarkan melealui banyolan para pemainnya. Kadangkala Lenong juga
mengangkat cerita-cerita pahlawan rakyat, seperti Si Pitung, Si Jampang, Ayub
Jago Betawi, Nyai Dasima, dan lain-lain.
Mahesa Danu,
0 komentar:
Posting Komentar