Jumat, 15 Januari 2016

Saut Situmorang vs Denny JA dan Politik Kebudayaan


Ranang Aji | 15 Januari 2016
ilustrasi: Locita.Co
Saut Situmorang dan Denny JA. Nama keduanya merupakan sastrawan Indonesia. Setidaknya seperti itu keadaannya bila dicermati dari yang terlihat. Ke duanya juga memiliki ambisi-ambisi tertentu, bila sekali lagi kita cermati ke duanya melalui apa yang telah mereka tulis. Baik dalam karya atau status di media sosial.
Saut Situmorang, penyair yang berambisi secara ideologis menempatkan sastra sebagai perlawanan terhadap basis idelogi tertentu (cenderung Marxisme). Meskipun karya-karya sastranya (puisi) lebih banyak berbicara perihal eksistensi manusia (mungkin saya salah), seperti halnya karya-karya sastra lain saat ini. Demikian pula Denny JA (yang belum 10 tahun bersastra, mungkin saya juga salah) -memperlakukan sastra sebagai alat perjuangan yang ia sebut sebagai melawan keadaan Indonesia dalam konteks pemikiran sosial yang bebas.
Saut Situmorang, mungkin adalah pribadi yang berisik namun jujur -mungkin juga keras kepala ketika merasa pada jalan yang benar. Sementara, Denny JA adalah pribadi yang ingin berkuasa dengan kebebasan yang didesain secara politis dan kekuatan modal.
Kasus perseteruan ke duanya, adalah pertarungan eksistensi. Petempuran yang memperkarakan siapa harus bertahta pada menara gading sastra Indonesia. Tentu, bukan soal yang remeh temeh. Karena eksistensi itulah kemudian yang menjadikan arah perilaku kebudayaan Indonesia akan seperti apa.
Sastra, mungkin terlihat kecil dalam ukuran penikmat, namun, sastra adalah panglima kebudayaan yang sakti mandraguna. Pemikiran-pemikiran di dalamnya akan membangun sebuah peradaban, perilaku yang menyebar sebagai propaganda dan mimetika di dalam masyarakat.
Raul Capote, misalnya, untuk beberapa kalimatnya yang menjatuhkan citra politik Kuba, mengaku akan dibayar 10 ribu dolar Amerika Serikat oleh agen CIA di tahun 1980-an di dalam novelnya. Demikian pula beberapa penyair Indonesia yang mengaku dibayar Denny JA untuk membuat puisi esai seperti Ahmadun Yosi Herfanda. Hal ini, tentu mengingatkan kita betapa pentingnya sastra dalam membentuk perilaku dan lingkungan masyarakat.
Melihat pertarungan Saut Situmorang dan Denny JA, sesungguhnya memaksa kita melihat dan mengenang pertarungan dua kredo seni di masa 1960-an, antara Seni untuk Rakyat dan Seni untuk Seni. Meskipun tak sama sistuasi dan kaualitasnya. Dua perdebatan yang sebenarnya merupakan perpanjangan wacana dalam pertarungan dua ideologi dunia ketika pemikiran antara humanisme universal (kapitalisme-sosialisme dan iluminati) melawan sosialisme-komunisme bermula.
Ketika itu, di Indonesia, Lekra, merupakan organisasi kebudayaan yang dominan yang secara jujur menempatkan kredo seni sebagai alat bagi perjuangan membentuk karakter bangsa. Seni untuk Rakyat. Maka bentuk realisme sosialis adalah persis seperti yang dimazabkan Marxim Gorky dari Rusia. Realisme Sosialis menjadi kitab yang mudah dicerna masyarakat dengan model uslub yang integral. Dengan itu, masyarakat akan mudah memahami dan terdoktrin.
Maka, Pramudya Ananta Toer menulis realisme dengan gamblang namun tidak gampangan seperti halnya karya-karya John Steinbeck dari Amerika Serikat di tahun 1930-an. Karya-karyanya dengan detail memikat dan plot serta karakter yang kuat. Kita mengakui, hingga saat ini, Pram merupakan salah satu sastrawan terbesar yang ada di abad 20 dan 21di Indonesia.
Pada era yang sama, beberapa pemuda yang genial, Goenawan Muhamad, Arif Budiman serta beberapa seniman lain seperti Taufik Ismail tiba-tiba muncul dan melahirkan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Mereka datang dengan membawa bendera humanisme universal untuk melawan Seni untuk Rakyat.
Seni untuk Seni. Sebagai antitesis Seni untuk Rakyat. Seni yang mengaku membebaskan diri dari tendensi politik. Sebelumnya, di Amerika Jackson Pollock, seorang perupa tiba-tiba menjadi wabah dunia dengan lukisan abstrak-ekspresionismenya yang diback-up Galeri Nasional Amerik Serikat. Sebuah karya yang benar-benar menampilkan kesan esoterisme. Kelak, kemudian hari, Jackson Pollock disebut sebagai alat bagi CIA untuk menyebarkan wabah isme ini demi melawan kebudayaan realisme-sosialis.
Karya-karya Seni untuk Seni ini lahir dengan liris, penuh gugatan atas eksistensi kemanusiaan yang merasa tak bebas berkehendak. Persoalan makro kosmos diturunkan dan dipusatkan menjadi entitas mikro ‘aku’. Sebagain karya lahir memang indah dan gagah dengan struktur kalimatnya yang terbentuk. Sebagian lagi tak berisis apa-apa. WS Rendra, kemudian menyindir para sastrawan itu sebagai penyair-penyair salon yang egois.
AKU BERTANYA/TETAPI PERTANYAANKU/MEMBENTUR JIDAT PENYAIR – PENYAIR SALON/YANG BERSAJAK TENTANG ANGGUR DAN REMBULAN/SEMENTARA KETIDAK ADILAN TERJADI DISAMPINGNYA/DAN DELAPAN JUTA KANAK – KANAK TANPA PENDIDIKAN/TERMANGU – MANGU DI KAKI DEWI KESENIAN (Sajak Sebatang Lisong)

Pertarungan Seni untuk Rakyat dan Seni untu Seni, pada akhirnya -secara de facto dimenangkan kelompok terakhir. Sejak itu, sastra Indonesia lebih didominasi karya-karya sastra gelap yang esoterik (untuk menyebut karya-karya berbasis doktrin dan petuah filsafat humanisme universal). Koran-koran yang dinaungi para redaktur yang terdoktrin seni untuk seni dengan senang hati memuat karya-karya jenis tersebut. Semakin gelap semakin seksi dan tampak pintar.
Kita, kemudian, hari ini -menjadi lalai dan abai, bahwa sesungguhnya, apapun itu, termasuk seni untuk seni merupakan bagian dari instrumen politik. Denny JA sendiri, bahkan secara gamblang mengakuinya sebagai alat perjuangannya dalam mengindoktrinasi pemikiran masyarakat melalui seni ketika diwawancarai jurnalis asal Jerman.
Pertarungan Saut Situmorang dan Denny JA, saya hanya ingin mengatakan, tentu saja bukan persoalan klaim-klaim sejarah sastra semata. Atau secara banal sebagai urusan hina menghina antara Saut Fatin Hamama. Pertarungan Saut adalah pertarungan kebudayaan tanpa disadari. Hanya saja, apakah para sastrawan kita menyadari? Termasuk, apakah dalam posisi ini, Denny JA yang memperjuangkan kebebasan tidak menghianati perjuangannya sendiri -bila membiarkan Saut ditahan karena mulutnya bebas memakinya dan teman-temanya dalam konteks pertarungan kebudayaan? Tapi, demikianlah manusia, mereka tetap saja zoon politicon yang bertarung untuk menjadi dominan dalam kebudayaan.

Sumber: Ranang Aji 

0 komentar:

Posting Komentar