Pernahkah terbayang bahwa di sela pekerjaan hariannya di bengkel, seorang mekanik spesialis mesin diesel masih sempat menulis puisi?
LAUNCHING: Suasana launching buku puisi ngapak "Waton Muni" karya Kus Diesel di Roemah Martha Tilaar (22/1) Gombong. Dalam gambar nampak parade pembacaan puisi-puisi ngapak [Foto: ArpanSphere]
Itu lah yang dilakukan Tunjung Kusmanto yang karena kesehariannya
bergumul dengan mesin diesel, kemudian lebih dikenal sebagai Kus Diesel, hingga
akhirnya puisi-puisi bahasa jawanya dapat terhimpun ke dalam kumpulan bertajuk
“Waton Muni”. Keunikan puisi berbahasa Jawa yang lazimnya disebut geguritan ini adalah bahwa keseluruhan
isi puisinya menggunakan bahasa jawa dialek ngapak.
Puisi ngapak karya Kus Diesel ini dilaunching di rumah budaya Martha Tilaar Gombong (22/1) sore itu. Penampilan
Kus Diesel didukung oleh 7 pegiat Komunitas Pusaka Gombong (Kopong) dibawah koordinasi
Sabur Herdian Ramin. Ikut juga berparade dalam perhelatan ini beberapa pegiat
seni tradisi Macapat seperti Trimo
Raharjo dan Nanang S Pamomong.
Pengelola Roemah Martha Tilaar Sigit Asmodiwongso
menyambut baik digelarnya puisi (geguritan) ngapak dan berharap akan ada
penulis lain menyusul apa yang telah dilakukan Kus Diesel.
Sastra Dialek
Lokal, Sebuah Rintisan
Kus Diesel, penulis puisi ngapak "Waton Muni"
Sastra dialek lokal yang dalam kasus launching “puisi ngapak” Kus Diesel, meski masih debatable; boleh dibilang sebagai sebuah
rintisan. Selain disambut hangat apresian yang hadir, Rocky Irawan juga banyak
mengomentarinya selaku pembawa acara. Pekan sebelumnya, di jagad virtual, juga
muncul seorang anak berseragam pramuka membaca puisi ngapak dengan apiknya. Komunikatif, luwes saja dan amat bisa
diterima.
Selama ini jika orang menyebut karya sastra geguritan memang dari aspek bahasa
cenderung berdialek timuran, mirip
dialek Kebumen timur, Purworejo atau Yogya. Ini mengingatkan idiom bandhek wetan kali yang acap
diperdengarkan untuk mengomentari Wong “Gombong”
Bumen yang bicara tidak dengan bahasa “ngapak”nya.
Seorang penyair (baca:
penggurit_Red) kelahiran Kebumen, Turyo Ragil Putro dari Ambal yang juga lebih
dahulu dikenal sebagai sastrawan jawa dan telah pula membukukan karyanya. Namun
jika disimak karya geguritan Turyo
pun tidak ditulis dengan dialek “ngapak” yang khas itu.
Kus Diesel menulis dengan bahasa “ngapak” dan itu sebuah
rintisannya.
“Ini satu hal yang membedakan Kus Diesel dari lainnya. Saat kita masih berfikir (puisi ngapak_Red), dia telah menuliskannya”, ucap Rocky Irawan sang pembawa acara siang itu.
Ngapak Sebagai Daya
Tarik
Tak banyak pengkritisan dalam sessi dialog di launching puisi ngapak “Waton Muni” Kus
Diesel ini, selain komentar mengejutkan dari seorang di belakang bahwa
penulisan “Waton Muni” masih kental idiom umum ketimbang benar-benar ungkapan gaya
ngapak yang sesungguhnya. Idiom umum yang dimaksud olehnya adalah cara ungkap
penulisan puisi yang berlaku pada umumnya.
Namun ada catatan menarik dari event langka di Roemah Martha Tilaar bahwa sebagai
sebuah khasanah budaya berkomunikasi, bahasa ngapak adalah dialek yang sarat
dengan daya tarik. Magnet ini bermula dari kesan lucu namun berkarakter khas, yang mencerminkan kultur blakasuta atau keterbukaan.
Puisi-puisi “Waton Muni” Kus Diesel, meski diungkap dalam
kosakata yang biasa, seperti ikut menuntun kesadaran akan spirit budaya lokal gombongan mengenai nilai-nilai keterbukaan
dalam blakasuta yang egaliter itu.
0 komentar:
Posting Komentar