Minggu, 28 Januari 2018

Puisi Ngapak "Waton Muni" Kus Diesel; Sastra Rintisan

Pernahkah terbayang bahwa di sela pekerjaan hariannya di bengkel, seorang mekanik spesialis mesin diesel masih sempat menulis puisi?

LAUNCHING: Suasana launching buku puisi ngapak "Waton Muni" karya Kus Diesel di Roemah Martha Tilaar (22/1) Gombong. Dalam gambar nampak parade pembacaan puisi-puisi ngapak [Foto: ArpanSphere]

Itu lah yang dilakukan Tunjung Kusmanto yang karena kesehariannya bergumul dengan mesin diesel, kemudian lebih dikenal sebagai Kus Diesel, hingga akhirnya puisi-puisi bahasa jawanya dapat terhimpun ke dalam kumpulan bertajuk “Waton Muni”. Keunikan puisi berbahasa Jawa yang lazimnya disebut geguritan ini adalah bahwa keseluruhan isi puisinya menggunakan bahasa jawa dialek ngapak.

Puisi ngapak karya Kus Diesel ini dilaunching di rumah budaya Martha Tilaar Gombong (22/1) sore itu. Penampilan Kus Diesel didukung oleh 7 pegiat Komunitas Pusaka Gombong (Kopong) dibawah koordinasi Sabur Herdian Ramin. Ikut juga berparade dalam perhelatan ini beberapa pegiat seni tradisi Macapat seperti Trimo Raharjo dan Nanang S Pamomong.

Pengelola Roemah Martha Tilaar Sigit Asmodiwongso menyambut baik digelarnya puisi (geguritan) ngapak dan berharap akan ada penulis lain menyusul apa yang telah dilakukan Kus Diesel.


Sastra Dialek Lokal, Sebuah Rintisan


Kus Diesel, penulis puisi ngapak "Waton Muni" 

Sastra dialek lokal yang dalam kasus launching “puisi ngapak” Kus Diesel, meski masih debatable; boleh dibilang sebagai sebuah rintisan. Selain disambut hangat apresian yang hadir, Rocky Irawan juga banyak mengomentarinya selaku pembawa acara. Pekan sebelumnya, di jagad virtual, juga muncul seorang anak berseragam pramuka membaca puisi ngapak dengan apiknya. Komunikatif, luwes saja dan amat bisa diterima.   

Selama ini jika orang menyebut karya sastra geguritan memang dari aspek bahasa cenderung berdialek timuran, mirip dialek Kebumen timur, Purworejo atau Yogya. Ini mengingatkan idiom bandhek wetan kali yang acap diperdengarkan untuk mengomentari Wong “Gombong” Bumen yang bicara tidak dengan bahasa “ngapak”nya.

Seorang penyair (baca: penggurit_Red) kelahiran Kebumen, Turyo Ragil Putro dari Ambal yang juga lebih dahulu dikenal sebagai sastrawan jawa dan telah pula membukukan karyanya. Namun jika disimak karya geguritan Turyo pun tidak ditulis dengan dialek “ngapak” yang khas itu.
Kus Diesel menulis dengan bahasa “ngapak” dan itu sebuah rintisannya.
“Ini satu hal yang membedakan Kus Diesel dari lainnya. Saat kita masih berfikir (puisi ngapak_Red), dia telah menuliskannya”, ucap Rocky Irawan sang pembawa acara siang itu. 

Ngapak Sebagai Daya Tarik

Tak banyak pengkritisan dalam sessi dialog di launching puisi ngapak “Waton Muni” Kus Diesel ini, selain komentar mengejutkan dari seorang di belakang bahwa penulisan “Waton Muni” masih kental idiom umum ketimbang benar-benar ungkapan gaya ngapak yang sesungguhnya. Idiom umum yang dimaksud olehnya adalah cara ungkap penulisan puisi yang berlaku pada umumnya.

Namun ada catatan menarik dari event langka di Roemah Martha Tilaar bahwa sebagai sebuah khasanah budaya berkomunikasi, bahasa ngapak adalah dialek yang sarat dengan daya tarik. Magnet ini bermula dari kesan lucu namun berkarakter khas, yang mencerminkan kultur blakasuta atau keterbukaan.

Puisi-puisi “Waton Muni” Kus Diesel, meski diungkap dalam kosakata yang biasa, seperti ikut menuntun kesadaran akan spirit budaya lokal gombongan mengenai nilai-nilai keterbukaan dalam blakasuta yang egaliter itu.

0 komentar:

Posting Komentar