Rabu,31 Januari 2018 | 20:58:19 WIB
Sumber: HarianHaluan
Laporan: Holy Adib
Denny JA (facebook)
PADANG - Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. Faruk Tripoli, menyarankan Badan Bahasa sebagai lembaga negara yang mengurus bahasa dan sastra untuk memfasilitasi pertemuan antara dua kubu yang memolemikkan gerakan puisi esai yang digagas Denny J.A.. Sehubungan dengan hal itu, Sekretaris Badan Bahasa, Abdul Khak, mengatakan, pihaknya berencana memfasilitasi pertemuan tersebut.
“Insyaallah ada rencana. Tunggu saja. Sedang dirancang. Sedang dirapatkan,” ujar Abdul Khak saat dihubungi Haluan dari Padang melalui pesan WhatsApp, Rabu (31/1).
Dua kubu yang berpolemik karena gerakan puisi esai yang digagas Denny J.A. tersebut adalah kubu Denny J.A. dan jaringannya (kubu pro), dan Aliansi Sastrawan Indonesia Antipuisi Esai (kubu kontra). Salah satu penggangas Aliansi Sastrawan Indonesia Antipuisi Esai, Saut Situmorang, mengatakan, pihaknya akan menghadiri pertemuan tersebut apabila diundang oleh Badan Bahasa.
“Kalau bisa secepatnya!” ucapnya melalui pesan WhatsApp.
Sementara itu, Denny J.A. mengapresiasi siapa pun, termasuk Badan Bahasa, yang ingin membahas polemik gerakan puisi esai ala dirinya tersebut. Namun, ia secara pribadi tidak akan hadir secara fisik apabila diundang oleh Badan Bahasa dalam pertemuan yang direncanakan membahas polemik.
“Polemik (puisi esai) terjadi di dunia nyata dan sudah difasilitasi oleh sistem demokrasi. Demikian pula polemik antargagasan dalam sejarah dunia. Yang memfasilitasi adalah sistem demokrasi. Itu sudah cukup. Polemik pun tak perlu dicari jalan tengah karena clash of mind memang boleh berbeda, dan itu bagus-bagus saja. Kan sudah dibahas di banyak tulisan. Saya pun gencar menuliskannya,” tuturnya melalui pesan WhatsApp.
Denny mengutarakan, ia mempersilakan pihak-pihak yang ingin membahas polemik gerakan puisi esai yang ia klaim sebagai temuannya dan genre baru dalam sastra Indonesia. Ia sendiri memilih polemik di ruang publik daripada polemik di ruangan tertutup.
“Polemik di ruang publik itu seperti sekarang ini: di media sosial, koran, dll. Itu sudah lebih dari cukup. Tulisan yang lebih bernas yang diharapkan,” kata konsultan politik itu.
Mengenai kehadirannya pada pertemuan tersebut jika diadakan oleh Badan Bahasa, Denny mengatakan, yang hadir pada pertemuan tersebut tidak harus fisiknya, tetapi bisa gagasannya.
“Gagasan saya, tulisan saya pasti hadir dalam pembahasan itu. Lha? Kan soal puisi esai. saya pasti hadir lewat gagasan dan tulisan yang banyak itu. Itulah kehadiran paling esensial, bukan fisiknya, tapi gagasannya. Gagasan saya kan bisa dibawa dan diwakili orang lain, atau lewat tulisan. Jelaslah semua bebas merespons,” ujar direktur eksekutif Lingkaran Survei Indonesia itu.
Meskipun mengapresiasi rencana pertemuan yang direncanakan oleh Badan Bahasa tersbeut, Denny menganggap pertemuan itu tidak punya urgensi.
“Yang kurang pada kita adalah karya, karya, karya, bukan berdebat. Bahkan, kita kebanyakan debat dan kekurangan karya. Karya versus karya, itulah yang membuat peradaban maju, bukan debat vs debat. Yang saya rindukan itu debat karya versus karya yang hadir di dunia nyata, bukan debat adu mulut di ruangan tertutup,” tuturnya.
Menurut Denny, debat merupakan adu argumentasi. Debat berguna jika dilakukan pada parlemen (pemerintahan) (untuk mengambil kebijakan), pada pemilu (agar pemilih melihat kualitas calon pemimpin), di dunia akademik (untuk tes kelulusan dan kompetensi)
“Dalam situasi itu, penting pertemuan fisik. Tapi, di dunia karya, perdebatan berlangsung lebih tak langsung: karya versus karya dan biarkan pasar yang merespons, biarkan sejarah jadi hakimnya,” ucapnya.
Denny mengatakan, ia sangat menghargai pihak-pihak yang menentang puisi esai, bahkan senang sekali jika penentangan itu dirumuskan dalam karya dengan riset dalam bentuk buku.
“Yang ada sekarang baru celotehan level Facebook, sementara puisi esai sudah menjadi dan akan menjadi 70 buku yang ditulis oleh 250 penyair, penulis, dari Aceh hingga Papua,” katanya.
Gerakan puisi esai yang digagas Denny J.A. menimbulkan polemik pada kalangan publik sastra Indonesia. Ada pihak yang pro dan ada pihak yang kontra terhadap terhadap gerakan itu.
Pihak yang kontra dengan gerakan puisi esai Denny, misalnya Aliansi Sastrawan Indonesia Antipuisi Esai. Aliansi tersebut, dalam siaran persnya baru-baru ini menuduh Denny memanipulasi sastra Indonesia karena konsultan politik itu mengklaim menciptakan genre baru dalam sastra Indonesia, padahal tulisan yang dianggap puisi esai oleh Denny itu sudah lama ada dalam dunia sastra.
Polemik ini merupakan polemik lanjutan buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” (KPG, 2013) yang ditentang karena di dalam buku tersebut terdapat nama Denny J.A. sebagai tokoh sastra paling berpengaruh. Polemik yang bergulir hampir sebulan belakangan ini dipicu oleh proyek Penulisan Buku Puisi Esai Nasional yang digagas dan didanai oleh Denny J.A.. Proyek tersebut melibatkan 170 penulis, penyair, jurnalis, dan peneliti di 34 provinsi di Indonesia. Denny membayar satu penulis dengan uang Rp. 5 juta atas satu puisi esai.
Sumber: HarianHaluan