Seniman tradisi dari Desa Sikayu Buayan ini mengaku
tak pernah sekolah tetapi bukan berarti tak berpendidikan atau pun berhenti
belajar. Pelibatan aktif dirinya dalam gerakan kampung bahkan telah memberi
warna tersendiri. Tak sekedar rubung-rubung
ikutan kesana-kemari di dalam aksi-aksi lingkungan maupun demonstrasi
penolakan tambang semen yang berencana mengeksploitasi batuan karst di wilayah
sekitarnya.
Tak berbeda dengan kebanyakan warga kampung lain di
seputar kawasan karst Gombong selatan, Ki Srawin adalah juga seorang petani. Tetapi
apa yang telah dilakukan bersama kelompok seninya adalah sebuah proses pemenuhan
syarat-syarat literasi tradisional yang mendasar. Mendasar dalam arti tumbuh
dan berangkat dari persoalan-persoalan faktual. Pada gilirannya membangun ide-ide
dan kesadaran artivisual dalam entitas juga sejarah kampungnya.
Menumbuhkan berkesenian di tengah komunitas dan
lingkungannya, bagi Ki Srawin, tak sekedar menggeluti proses kreatif untuk bagaimana
menampilkan visualisasi yang lebih dari sekedar diterima masyarakat apresian. Tak
melulu membikin sajian yang menghibur, tetapi sekaligus menyangkut pula aspek
transformasi kesadaran meluas. Yang terakhir ini acap terabaikan oleh kelompok
seni tradisi lantaran berasumsi ihwal “selera pasar” kekinian yang konon cuma
mengutamakan hiburan semata.
“Bagi kami, jagad pentas itu harus mendidik”, ucap Ki
Srawin.
Tak berlebihan jika berpijak dari filosofi demikian
ini maka entitas para pelaku seni itu adalah entitas kepeloporan masyarakat
sekitarnya.
Mitos
Kapitalistik “Suro Bulus” Lainnya
Ketua Perpag Samtilar pernah melansir pemikirannya
bahwa “Janji kemakmuran yang dipromosikan industri semen itu tak pasti”.
Sembari berwewarah, pensiunan guru desa ini melengkapi keyakinannya bahwa
“Kerusakan -ekologi- permanen yang bakal ditimbulkan tambang karst; itu malah
jelas”. Abstraksi seperti ini malah lebih masuk akal ketimbang kebohongan
modern yang gencar dibangun para “belantik” kapital. Termasuk dalam konteks
ini, ilusi kemakmuran minim dampak yang diwacanakan tim konsultan korporasi
tambang.
Dalam permanaan Ki Srawin gambaran obyektif demikian
ditangkap oleh nalar sadarnya sebagai seniman kampung, dan menggerakkan
intuisinya buat menarasikan cerita berdasarkan pengalaman nyata. Tanpa kesan menghujat,
Ki Srawin menaruh paradoks kearifannya melalui keaktoran Haji Amin yang memang
“nylekit” dalam bertutur di panggung Perpag. Dan narasi Suro Bulus pun begitu hidup menggalang nalar ausiensnya;
mendapatkan tempat di hati penonton yang memadati dan nyata-nyata tak bisa
dibubarkan oleh turunnya hujan.
Narasi Suro
Bulus secara keseluruhan memang merupakan ilusi industri dengan janji kemakmuran yang lebih dari
sekedar ditawarkan, melainkan juga dikonstruksi menjadi skenario yang
dipamrihkan untuk membangun pemikiran sosial yang “ramah” terhadap kehadiran
pemodal. Dalam realitas sosial masyarakat Sikayu dan desa-desa lainnya, memang
terjadi perang wacana tambang semen dengan maksud menghancurkan nalar ekologis
yang resisten terhadap segala bentuk eksploitasi sumber daya.
Dan Suro Bulus mengarus-utamakan
wacana pentingnya investasi, meski dengan “resiko” jatuhnya bukit-bukit terumbu
kapur desa ke tangan kelas kaya. Realitas
ini memang nyata terjadi di kawasan pegunungan karst Gombong selatan, yang mayoritas
warganya petani tetapi terperangkap
untuk melepas kuasa atas tanah ke tangan korporasi. Ini dimungkinkan
karena makin banyak Suro Bulus yang
membiak di fase awal penetrasi kapital.
0 komentar:
Posting Komentar