Minggu, 10 Juli 2016

Suro Bulus; Parodi Satire Kejahatan Korporasi Tambang [2]


 SURO BULUS: Parodi satire kejahatan korporasi tambang yang dipanggungkan melalui keaktoran Haji Amin di pentas Perpag (9/7) [Foto: Yatno Pandu W]

Seniman tradisi dari Desa Sikayu Buayan ini mengaku tak pernah sekolah tetapi bukan berarti tak berpendidikan atau pun berhenti belajar. Pelibatan aktif dirinya dalam gerakan kampung bahkan telah memberi warna tersendiri. Tak sekedar rubung-rubung ikutan kesana-kemari di dalam aksi-aksi lingkungan maupun demonstrasi penolakan tambang semen yang berencana mengeksploitasi batuan karst di wilayah sekitarnya.

Tak berbeda dengan kebanyakan warga kampung lain di seputar kawasan karst Gombong selatan, Ki Srawin adalah juga seorang petani. Tetapi apa yang telah dilakukan bersama kelompok seninya adalah sebuah proses pemenuhan syarat-syarat literasi tradisional yang mendasar. Mendasar dalam arti tumbuh dan berangkat dari persoalan-persoalan faktual. Pada gilirannya membangun ide-ide dan kesadaran artivisual dalam entitas juga sejarah kampungnya.

Menumbuhkan berkesenian di tengah komunitas dan lingkungannya, bagi Ki Srawin, tak sekedar menggeluti proses kreatif untuk bagaimana menampilkan visualisasi yang lebih dari sekedar diterima masyarakat apresian. Tak melulu membikin sajian yang menghibur, tetapi sekaligus menyangkut pula aspek transformasi kesadaran meluas. Yang terakhir ini acap terabaikan oleh kelompok seni tradisi lantaran berasumsi ihwal “selera pasar” kekinian yang konon cuma mengutamakan hiburan semata.

“Bagi kami, jagad pentas itu harus mendidik”, ucap Ki Srawin.
Tak berlebihan jika berpijak dari filosofi demikian ini maka entitas para pelaku seni itu adalah entitas kepeloporan masyarakat sekitarnya.

Mitos Kapitalistik “Suro Bulus” Lainnya

Ketua Perpag Samtilar pernah melansir pemikirannya bahwa “Janji kemakmuran yang dipromosikan industri semen itu tak pasti”. Sembari berwewarah, pensiunan guru desa ini melengkapi keyakinannya bahwa “Kerusakan -ekologi- permanen yang bakal ditimbulkan tambang karst; itu malah jelas”. Abstraksi seperti ini malah lebih masuk akal ketimbang kebohongan modern yang gencar dibangun para “belantik” kapital. Termasuk dalam konteks ini, ilusi kemakmuran minim dampak yang diwacanakan tim konsultan korporasi tambang.

Dalam permanaan Ki Srawin gambaran obyektif demikian ditangkap oleh nalar sadarnya sebagai seniman kampung, dan menggerakkan intuisinya buat menarasikan cerita berdasarkan pengalaman nyata. Tanpa kesan menghujat, Ki Srawin menaruh paradoks kearifannya melalui keaktoran Haji Amin yang memang “nylekit” dalam bertutur di panggung Perpag. Dan narasi Suro Bulus pun begitu hidup menggalang nalar ausiensnya; mendapatkan tempat di hati penonton yang memadati dan nyata-nyata tak bisa dibubarkan oleh turunnya hujan.

Narasi Suro Bulus secara keseluruhan memang merupakan ilusi industri  dengan janji kemakmuran yang lebih dari sekedar ditawarkan, melainkan juga dikonstruksi menjadi skenario yang dipamrihkan untuk membangun pemikiran sosial yang “ramah” terhadap kehadiran pemodal. Dalam realitas sosial masyarakat Sikayu dan desa-desa lainnya, memang terjadi perang wacana tambang semen dengan maksud menghancurkan nalar ekologis yang resisten terhadap segala bentuk eksploitasi sumber daya.

Dan Suro Bulus mengarus-utamakan wacana pentingnya investasi, meski dengan “resiko” jatuhnya bukit-bukit terumbu kapur desa ke tangan kelas  kaya. Realitas ini memang nyata terjadi di kawasan pegunungan karst Gombong selatan, yang mayoritas warganya petani tetapi terperangkap  untuk melepas kuasa atas tanah ke tangan korporasi. Ini dimungkinkan karena makin banyak Suro Bulus yang membiak di fase awal penetrasi kapital.          

0 komentar:

Posting Komentar