MASSA APRESIAN:
Ribuan massa memadati rumah dan halaman sekretariat Perpag (9/7) dalam rangka
"syawalan" yang digelar dengan mementaskan "drama satire"
garapan Ki Srawin, dkk. Warga nampak antusias dan mengapresiasi peragaan lakon
lokal yang dimainkan seniman tradisional setempat [Foto: Yatno Pandu W]
Belasan pelaku
seni Desa Sikayu Buayan menggelar drama tradisional bertema “menjaga ekologi
lingkungan” dalam rangka silaturahmi (9/7) lebaran 1437 H. Persatuan Rakyat
Penyelamat Karst Gombong [Perpag] yang memfasilitasi pagelaran ini, makin
menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi massarakyat lokal yang konsisten.
Kelompok seni tradisi yang dimotori Parto Wiyadi alias “Ki Srawin” pun tampil
sangat komunikatif dan mendapat apresiasi ribuan warga desanya.
Terlebih karena drama pendek berdurasi 3 jam yang
dipanggungkan malam Minggu itu mengangkat realitas lokal yang terjadi di
beberapa desa kawasan karst Gombong selatan sejak hampir duapuluh tahun lalu.
Banyak kontradiksi sosial pada masa awal masuknya korporasi tambang semen,
dibuka sejujur-jujurnya. Tak ayal, pentas dengan lakon kethoprak di luar
kebiasaan ini, tetapi menggunakan pendekatan alur cerita yang mendasarkan pada
kisah empiris; justru sangat menyentuh ingatan kolektif warga desa.
Kenyataan sosial setempat waktu itu memang pahit dalam
lakon jaman ketika Indonesia menjemput krisis moneter jelang akhir tahun
2000. Bahkan bagi sebuah bisnis korporasi tambang trans nasional (TNC)
sekaliber Medco Energy Group sekali pun. Realitas sosial seperti ini lah yang
secara “cerdas” dipanggungkan oleh “Ki Srawin” dan kawan-kawannya di halaman
sekretariat Perpag pada hari kelima lebaran.
Mentalitas Belantik
SURO BULUS:
Prolog tarian "Gunung-Gunung" dimainkan anak-anak muda desa Sikayu,
mengawali parodi satire "Suro Bulus" yang sarat kritik sosial tapi
diangkat dari realitas empirik warganya [Foto: YPW]
_____
Kejujuran terkadang menyakitkan. Namun di tangan
seniman Ki Srawin, otokritik sosial yang dikemas dalam komunikasi kreatif
berupa pentas parodial penuh satire ini; menjadi beda rasanya tanpa mengurangi
masalah pokok yang diangkatnya.
Adalah Suro Bulus, sosok yang mewakili pemain
dalam mata-rantai “kejahatan” korporasi tambang yang menumpukan kekuatannya
pada kuasa modal. Representasi keaktoran dari kelas ini saling bersinergi,
bersistem, dan barangkali ini lah yang oleh pemerintah dikenal dengan terminologi
investor. Nah, pertambangan adalah salah satu mata bidang saja. Meski pun
begitu, dalam konteks dan terminologi ini pun, sesungguhnya, rumusan kebijakan
pemerintah tutunan otda yang terangkum dalam slogan “ramah investasi” jadi ikut
dipertanyakan !
Keaktoran Suro Bulus adalah representasi peran belantik
yang merupakan bagian dari penetrasi -investor- pemodal dalam selubung
investasi itu. Dalam konteks awal penetrasi modal korporat di kawasan
karst Gombong selatan, peran Suro Bulus itu sangat fenomenal dalam
rentang 1996-2000 silam. Yakni pada saat mana fase “pembebasan lahan” oleh pt
Semen Gombong memasuki tahapan awal dari rencana operasionalnya. Meskipun
kemudian rencana ini terguncang oleh efek badai krismon sehingga
tertunda sampai 2013. Tetapi pada saat itu, betapa banyak orang, dari berbagai
kalangan; memainkan peran layaknya Suro Bulus ini. Termasuk di dalamnya,
maaf, para pejabat !
Parodi satire Suro Bulus mengangkat fenomena
demikian ke panggung Perpag; di atas mana terangkai komunikasi massal yang
kreatif. Ini lah local genius itu. Bahwa kecerdasan tak melulu dibangun
dari disiplin formal akademis, untuk tidak mengatakan bahwa lembaga akademik
hanya memproduksi intelektual tukang yang diragukan integritas
moralnya... (arp)
0 komentar:
Posting Komentar