Minggu, 10 Juli 2016

Suro Bulus; Parodi Satire Kejahatan Korporasi Tambang [1]



 
MASSA APRESIAN: Ribuan massa memadati rumah dan halaman sekretariat Perpag (9/7) dalam rangka "syawalan" yang digelar dengan mementaskan "drama satire" garapan Ki Srawin, dkk. Warga nampak antusias dan mengapresiasi peragaan lakon lokal yang dimainkan seniman tradisional setempat [Foto: Yatno Pandu W] 
 
Belasan pelaku seni Desa Sikayu Buayan menggelar drama tradisional bertema “menjaga ekologi lingkungan” dalam rangka silaturahmi (9/7) lebaran 1437 H. Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong [Perpag] yang memfasilitasi pagelaran ini, makin menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi massarakyat lokal yang konsisten. Kelompok seni tradisi yang dimotori Parto Wiyadi alias “Ki Srawin” pun tampil sangat komunikatif dan mendapat apresiasi ribuan warga desanya.   

Terlebih karena drama pendek berdurasi 3 jam yang dipanggungkan malam Minggu itu mengangkat realitas lokal yang terjadi di beberapa desa kawasan karst Gombong selatan sejak hampir duapuluh tahun lalu. Banyak kontradiksi sosial pada masa awal masuknya korporasi tambang semen, dibuka sejujur-jujurnya. Tak ayal, pentas dengan lakon kethoprak di luar kebiasaan ini, tetapi menggunakan pendekatan alur cerita yang mendasarkan pada kisah empiris; justru sangat menyentuh ingatan kolektif warga desa.

Kenyataan sosial setempat waktu itu memang pahit dalam lakon jaman ketika Indonesia menjemput krisis moneter jelang akhir tahun 2000. Bahkan bagi sebuah bisnis korporasi tambang trans nasional (TNC) sekaliber Medco Energy Group sekali pun. Realitas sosial seperti ini lah yang secara “cerdas” dipanggungkan oleh “Ki Srawin” dan kawan-kawannya di halaman sekretariat Perpag pada hari kelima lebaran.

Mentalitas Belantik

SURO BULUS: Prolog tarian "Gunung-Gunung" dimainkan anak-anak muda desa Sikayu, mengawali parodi satire "Suro Bulus" yang sarat kritik sosial tapi diangkat dari realitas empirik warganya [Foto: YPW] 
_____
 
Kejujuran terkadang menyakitkan. Namun di tangan seniman Ki Srawin, otokritik sosial yang dikemas dalam komunikasi kreatif berupa pentas parodial penuh satire ini; menjadi beda rasanya tanpa mengurangi masalah pokok yang diangkatnya.

Adalah Suro Bulus, sosok yang mewakili pemain dalam mata-rantai “kejahatan” korporasi tambang yang menumpukan kekuatannya pada kuasa modal. Representasi keaktoran dari kelas ini saling bersinergi, bersistem, dan barangkali ini lah yang oleh pemerintah dikenal dengan terminologi investor. Nah, pertambangan adalah salah satu mata bidang saja. Meski pun begitu, dalam konteks dan terminologi ini pun, sesungguhnya, rumusan kebijakan pemerintah tutunan otda yang terangkum dalam slogan “ramah investasi” jadi ikut dipertanyakan !  

Keaktoran Suro Bulus adalah representasi peran belantik yang merupakan bagian dari penetrasi -investor- pemodal dalam selubung investasi itu. Dalam konteks awal penetrasi modal korporat di kawasan karst Gombong selatan, peran Suro Bulus itu sangat fenomenal dalam rentang 1996-2000 silam. Yakni pada saat mana fase “pembebasan lahan” oleh pt Semen Gombong memasuki tahapan awal dari rencana operasionalnya. Meskipun kemudian rencana ini terguncang oleh efek badai krismon sehingga tertunda sampai 2013. Tetapi pada saat itu, betapa banyak orang, dari berbagai kalangan; memainkan peran layaknya Suro Bulus ini. Termasuk di dalamnya, maaf, para pejabat !

Parodi satire Suro Bulus mengangkat fenomena demikian ke panggung Perpag; di atas mana terangkai komunikasi massal yang kreatif. Ini lah local genius itu. Bahwa kecerdasan tak melulu dibangun dari disiplin formal akademis, untuk tidak mengatakan bahwa lembaga akademik hanya memproduksi intelektual tukang yang diragukan integritas moralnya... (arp)

0 komentar:

Posting Komentar