Oleh : Abdul Aziz Rasjid, Cilacap
Pertunjukan seni itu bertajuk Sapa Wani. Sejak dimulai dari tahun 2012 silam, pertunjukan seni itu telah digelar 11 kali dengan rentang 2 atau 3 bulanan. Berbagai pertunjukan seni, baik sastra-rupa-musik-tari, digelar secara cuma-cuma lantas diapresiasi secara terbuka.
Tapi, tujuan besar Sapa Wani lebih dari itu.
Sapa Wani adalah ruang yang berupaya merangkul seniman untuk guyub menggeliatkan kegiatan seni di Kabupaten Cilacap. Sebagai sebuah ruang berkegiatan, menurut Koordinator Sapa Wani, Bambang Listiyono, pangkal kehadirannya bermula dari sebuah keresahan. Terkait antar pelaku seniman di Cilacap yang dipandang jarang saling berbaur sehingga aneka khasanah kesenian tidak timbul untuk saling bertaut memperkaya kreatifitas.
"Keresahan itu, saya alami sejak tahun 2010. Saat itu, untuk berdialog terkait seni dan budaya di Cilacap harus mengetuk satu pintu rumah seniman ke pintu yang lain. Tapi di media sosial, saya mengamati dialog antar seniman terjalin luwes. Lalu muncul gagasan perlunya ruang bersama yang titik tekannya menampilkan karya untuk kemudian saling diapresiasi," terang Bambang pada Radar Banyumas di sela-sela pertunjukan seni Sapa Wani #11, Sabtu (30/1) di Pendopo Kecamatan Cilacap Utara.
Karena bertitik tekan pada publikasi karya seni itulah, tajuk Sapa Wani dipilih. Tapi tak berhenti sekadar publikasi, Sapa Wani juga dikembangkan sebagai ruang mempererat jaringan antar seniman Cilacap dengan seniman daerah-daerah lain. Lokasi pertunjukan yang dipilihpun diusahakan berada di ruang publik agar warga dapat pula merasakan keasyikan dan kreatifitas pelaku seni.
"Seperti malam ini misalnya (Sabtu, 30/1-red), Sapa Wani mempertemukan kelompok musik tradisi Soegar Kawoeng, Dayeuhluhur dengan kelompok musik tradisi dari Surakarta, Rasamaya. Selain itu juga ada kelompok tari dari HMJ Tari ISI Yogyakarta," imbuh Bambang.
Sapa Wani, seperti diakui sendiri oleh Dalang Tejo, yang menjadi penuntun pertunjukan malam itu menyatakan dikelola secara swadaya. Meski begitu, bukan berarti pertunjukan seni lantas ditampilkan apa adanya. Acara yang diawali dengan waosan bersama Serat Wulangreh karya Pakubuwana IV yang penuh himbauan moral justru menimbulkan situasi kebersamaan yang bersahaja.
Malam itu, HMJ Tari ISI Yogyakarta juga menarik perhatian dengan memainkan tari berjudul "kelebon" yang studi geraknya dikembangkan dari seni tradisi Tari Angguk yang pernah populer di Cilacap bertahun-tahun silam. Sedang alunan musik dari Soegar Kawoeng dan Rasamaya juga mempertebal suasana ngelangut diantara bau tanah yang baru disiram rintik hujan.
"Mengenang Sapa Wani #1, dilaksanakan di Lapangan Krida Nusantara Gumilir Cilacap Utara. Saat itu pembacaan puisi oleh Penyair dari Cilacap, Badruddin Emce juga ada percussion," terang Bambang.
Mengapresiasi Pertunjukan seni Sapa Wani kali kesebelas, Penyuluh/Pamong Budaya Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Imam Hamidi Antassalam menyatakan bangga karena geliat kesenian di Cilacap menjadi terjaga. Baginya Sapa Wani telah berhasil menjadi ruang yang cair, tanpa sekat perbedaan jenis seni. Sapa Wani juga ia katakan bisa jadi ruang edukasi tentang sosial dan kebudayaan melalui pertunjukan seni.
"Konsistensi yang terjaga, itu yang saya salut," kata Hamidi yang ikut berkumpul malam itu.
Pada akhirnya, konsistensi Sapa Wani memang menyumbang peran bahwa wacana tentang seni tetap ada di ruang hidup masyarakat Cilacap. Di dunia kesenian, seperti ditunjukkan Sapa Wani, masyarakat akan bersua dengan pengalaman tentang keindahan. Di sanalah pula masyarakat akan melihat bagaimana kreativitas juga imajinasi menjelma komunikasi yang berlangsung sebagai empati, baik di antara sesama seniman juga warga yang berbeda usia, sejarah juga latar belakang budaya. (ziz)
(Catatan ini di muat Harian Radar Banyumas, Senin-01/02/2016)