Rabu, 09 Oktober 2019

Di Indonesia, Seni dan Budaya adalah Anak Tiri: Refleksi Status Eka Kurniawan


October 09, 2019
Eka Kurniawan


Penulis terkemuka Indonesia, Eka Kurniawan mendapatkan undangan untuk menerima penghargaan di bidang kesusastraan dan budaya. Sebagai penulis muda, Eka Kurniawan bisa dibilang bergelimang prestasi, dari berbagi penghargaan sastra tingkat dunia, serta bukunya juga sudah diterjemahkan ke puluhan bahasa di seluruh dunia. Bahkan, banyak yang menyebut Eka Kurniawan sebagai "The Next Pramoedya" untuk penulis bertalenta asal Indonesia.

Maka undangan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuknya menerima Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019 untuk kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaru, merupakan hal yang sudah diprediksi sebelumnya bakal diterima Eka. Tapi, Eka Kurniawan menolak penghargaan tersebut, sekaligus menolak untuk hadir dalam pelaksanaannya.

Dalam statusnya yang diunggah hari Rabu (9/10/2019), Eka justru mempertanyakan apakah negara telah bersungguh-sungguh memiliki komitmen dalam memberi apresiasi pada kerja-kerja kebudayaan? Ketika dihubungi staf dari institusi tersebut, Eka bertanya "iseng" tentang apa yang diberikan pemerintah pada penerima anugrah tersebut. Jawabannya adalah semacam plakat (pin) juga uang sebesar Rp50 juta dipotong pajak.

Maka Eka langsung membandingkannya dengan penerima medali perunggu (juara 3) dalam Asian Games beberapa waktu lalu. Sebagai informasi, atlet penerima emas menerima uang Rp1,5 Miliar dan diangkat PNS, serta berbagai hadiah lainnya. Sedangkan juara 3 atau peraih medali perunggu, menerima uang Rp250 juta dan sebagainya. Meski (di dalam hati) Eka mengaku bisa saja menerima uang tersebut, penghargaan tersebut, juga bakal ada sesi wawancara dan sebagainya, namun hal tersebut menunjukkan betapa seni dan budaya di Indonesia masih merupakan anak tiri.

Ini bukan masalah membandingkan, apalagi masalah uang. Tapi, apakah "dosa" negara terhadap kesusastraan Indonesia? 


Pertama, beberapa kegiatan literasi, perpustakaan swadaya, pojok baca dan setipenya di berbagai tempat di Indonesia justru disatroni, digeruduk dan sejumlah buku yang dianggap "kiri", "sesat" dan sebagainya dirampas dan dimusnahkan. Padahal, buku tersebut adalah buah karya para pemikir dunia semacam Karl Marx, Jean-Paul Sartre, Imannuel Kant, Karl Jesper, sampai tokoh-tokoh seni dan sastra seperti Samuel Beckett, Adamov, Albert Camus, Eugene Ionesco dan lain-lain. Namun, pada posisi tersebut, negara tidak melindungi hancurnya karya-karya tersebut, negara juga tidak melindungi hak warga untuk mendapatkan ilmu. Justru, negara (yang diwakili aparat) berada di belakang aksi "sweeping" dan perampasan buku tersebut.

Sedangkan negara ini ingin menggalakkan literasi? Maka literasi, di telinga kami hanya terdengar sebagai proyek, yang tentunya menghasilkan uang, ketimbang fungsi utama dari literasi tersebut.

Kedua, betapa penerbit-penerbit kecil semakin sulit berkembang, bahkan berujung ke kebangkrutan. Penyebabnya, selain dominasi raksasa semacam Gramedia, ditambah lagi dengan pembajakan buku yang seakan sebuah karya cipta tak punya tameng pelindung. Ujung-ujungnya, penerbit kecil satu persatu gulung tikar, toko buku juga perlahan gulung tikar. Penulis-penulis selalu kesulitan menjual buku karyanya dan pajaknya justru semakin besar, yang membuat buku menjadi semakin mahal. Mahal untuk ukuran warga Indonesia kebanyakan.

Ketiga, situasi bagi para penulis semakin sulit dengan pembatasan kebebasan berekspresi. Jadi, selain karyanya juga sulit dijual, kesempatan untuk mendapatkan ilmu juga dibatasi dengan perampasan dan penghancuran buku, ditambah lagi dengan kelas menulis atau membaca dan berdiskusi, juga selalu minim penggemar. Situasi diperparah lagi dengan banyak penulis yang dibatasi pula kebebasan menulisnya. Ditambah lagi, seperti kasus Wiji Thukul misalnya, yang sudah dijanjikan oleh negara untuk diselesaikan kasusnya, tapi tak jelas ujung pangkalnya.

Keempat, jumlah yang "kecil" diterima oleh penerima anugerah semacam Eka Kurniawan di atas, menjadi semakin kecil apalagi bila dibandingkan dengan peraih medali perunggu Asian Games lalu. Hal itu menunjukkan satu hal, bahwa komitmen negara untuk kerja-kerja kebudayaan menjadi semakin dipertanyakan? Benar kata Eka, apakah negara benar-benar serius?

Kalau untuk seorang penulis yang mengharumkan nama negara, karyanya mendapatkan penghargaan tingkat internasional serta diterjemahkan ke puluhan bahasa saja seperti itu. Bagaimana kalau penulis tingkat kabupaten?

Kelima, hampir semua kegiatan yang berbau "kebudayaan", "kesenian", "literasi" dan setipenya oleh negara ini juga bentuknya "proyek". Maka bila mendatangkan keuntungan, bisa trending topik di media sosial sehingga pas untuk pencitraan, dan sebagainya, baru bisa jalan dengan baik dan diapresiasi dengan baik juga.

Lantas, Eka Kurniawan memutuskan untuk tidak hadir dalam kegiatan tersebut. Ia juga menolak anugrah yang disematkan kepadanya. Alasannya, tentu bukan masalah uang, tapi ia tidak mau angguk-angguk saja dengan apa yang dilakukan negara terhadap kerja kebudayaan. "Suara saya mungkin sayup-sayup, tapi semoga jernih didengar. Suara saya mungkin terkesan arogan, tapi percayalah, Negara ini telah bersikap jauh lebih arogan, dan cenderung meremehkan kerja-kerja kebudayaan," kata Eka.

Dengan penolakan ini, dengan kejadian yang terus menghimpit dan menekan dunia literasi dan sastra Indonesia, dengan banyaknya perampasan buku, serta pandangan "remeh" terhadap kerja kebudayaan, apa negara tidak juga mau berbenah? Bukankah kita hanya jadi negara yang "adidaya" bila dilihat dari kebudayaan dan kesenian? (ai) 

0 komentar:

Posting Komentar