Oleh: Rinto
“Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara.”
Demikian judul buku Seno Gumira Ajidarma (SGA) mengentak
kesadaran akan peran dari sastra. Seno beranggapan bahwa sastra berkewajiban
berbicara ketika kebenaran dipasung.
Melihat dinamika politik hari ini, tampaknya seruan ini
harus kembali bergema. Bukan hanya mendung, iklim politik negeri ini sedang
menjemput badai. Demokrasi kita sedang di ujung tanduk. Suara alternatif yang
progresif tidak terdengar karena kalah oleh dengungan para buzzer.
Tak pelak, nalar sebagai bahan bakar utama demokrasi
menjadi kering karena dilibas oleh kenaifan kita dalam membaca politik. Oleh
karena itulah, sastra harus bangkit. Ia mesti menghunus penanya untuk menikam
segala kebusukan ini.
Mengapa Sastra
Harus Bangkit?
Sastra harus bangkit karena situasi politik di negeri ini
sedang memburuk. Hampir seluruh lapisan masyarakat terperangah pasca Jokowi
mengumumkan nama-nama menteri pengisi kabinetnya. Pasalnya, Jokowi menggandeng
Prabowo, kompetitornya dalam pagelaran Pilpres kemarin.
Padahal, hampir semua pendukung Jokowi mencap Prabowo
sebagai the big evil. Bahkan Franz Magnis Suseno, sang begawan filsafat,
tega menyebut pemilih golput sebagai psycho freak.
Sebab menurut sang filsuf, keputusan untuk tidak memilih
dapat menyebabkan si jahat akan menang. Namun apa mau dikata, akhirnya Jokowi
mengajak si jahat berkolaborasi. Fenomena ini menjadi indikator bahwa
mesin politik di Indonesia bergerak nyaris tanpa nilai.
Politisi mementaskan politik transaksional secara brutal,
terang-terangan, dan tanpa malu. Mereka menipu rakyat habis-habisan.
Pertengkaran, perkelahian, bahkan nyawa yang melayang pada masa kampanye nyaris
tak bernilai bagi kedua kontestan. Alhasil, demokrasi hanya mainan bagi para
elit politik.
Bisa dikatakan, seluruh pilar demokrasi kita keropos. Ada
empat tiang yang menyangga bangunan demokrasi agar kokoh: eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan jurnalisme. Eksekutif tidak pro kepada rakyat.
Komposisi oposisi di legislatif loyo. Sejak dahulu, aspek hukum selalu tumpul
ke atas tetapi tajam ke bawah. Sementara jurnalisme kita tetap bangkrut dan
tiarap. Apakah ini terlalu berlebihan? Tidak!
Eksekutif tidak (pernah) berpihak kepada rakyat. Hal ini
jelas tercermin dari pidato perdana Jokowi pada hari pelantikan. Dari
orasi singkatnya, terang terlihat kalau beliau seorang developmentalis 100%.
Dalam visi ekonomi, Jokowi adalah kembaran Suharto, sang bapak pembangunan.
Bedanya, Suharto punya perencanaan bertahap dalam Rencana
Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), sementara Jokowi tidak punya. Kesamaannya,
mereka sama-sama presiden bagi pemodal. Ke depan, Jokowi pasti hanya akan
mendengarkan para investor.
Apalagi dalam pidato tersebut, ia sama sekali tidak
menaruh minat pada penegakan hukum dan HAM. Padahal di tengah penindasan
struktural, rakyat hanya bersandar pada itu. Sebab, wakil rakyat pun tampak tak
bisa dijadikan sebagai tempat pengaduan.
Peran DPR diperkirakan pun lemah karena formasi oposisi
yang tidak ideal. Jokowi lihai memainkan perannya sebagai the prince. Ia
membagi kue kekuasaan kepada para kroni dengan merata. PKS, PAN, Demokrat, dan
deretan partai gurem lainnya tidak kecipratan. Justru karena itulah, mereka
berencana akan menjadi oposisi. Jadi kalau pun mereka resmi mengambil peran
tersebut, itu bukan karena keputusan ideologis tetapi karena unsur sakit hati.
Jelas, menaruh harapan pada oposisi bermutu seperti ini bagaikan pungguk
merindukan bulan. Kondisi ini kian mengenaskan ketika kita harus berhadapan
dengan lagu lama penyakit bangsa ini, yaitu lemahnya supremasi hukum.
Kita nyaris tidak mempunyai cerita baru dalam bab
penegakan hukum. Semuanya hanya parafrase dari cerita lama. Mafia hukum
berserak di semua sudut. Kita sejak lama selalu mengenal keadilan yang
terbalik. Ruang-ruang pengadilan penuh dengan konspirasi. Keputusan mereka
hanyalah pembacaan kesimpulan yang sudah dibuat terlebih dahulu di kolong meja.
Postulat hukum kita adalah kebenaran akan membela yang bayar. Tanpa uang,
keadilan hanyalah fatamorgana. Jika ratu keadilan sudah melacurkan diri pada
konglomerasi, lalu kepada siapa lagi kita mengadu? Kepada wartawan?
Sebenarnya, harapan bisa kita titipkan pada karya
jurnalistik sebagai pengawal pikiran rakyat. Namun, harapan yang kita taruh di
pundak mereka pun sia-sia. Produk wartawan kita terbatas pada berita deskriptif
belaka. Jangankan berharap pada jurnalisme investigatif, jurnalisme
advokasi—seperti usaha Tirto Adisoerjo, Bapak Pers Indonesia—pun tak ada.
Alih-alih menjadi pengawal pikiran rakyat, karya jurnalistik kita habis
terpreteli oleh konstruksi kapitalisme. Tulisan berita adalah barang asongan.
Kebebasan pers, seperti dikatakan SGA, dimanfaatkan demi kepentingan dagang
secara memalukan. Portal jurnalistik kita adalah pemburu click bait dan
pengemis iklan. Sampai-sampai kita dibuat bingung kala masuk ke laman mereka,
“Ini situs berita berisi iklan atau situs iklan berisi berita?” Belum lagi
ditambah dengungan para buzzer yang membuat bilik-bilik dunia maya
semakin tak karuan.
Kebangkitan sastra wajib kita tunggu karena narasi
kelompok progresif pun kalah telak dengan buzzer. Kelompok progresif
adalah mereka yang memiliki agenda politik membela kepentingan rakyat jelata.
Ciri utama dari kelompok ini berisi kritik terhadap modus produksi. Mereka
menuding kapitalisme sebagai kambing hitam dari segala bentuk pengisapan dan
penindasan. Sementara, para buzzer adalah ahli propaganda yang
bergerak di media sosial. Mereka adalah anak haram rezim yang berperan sebagai
apologet tidak resmi. Mereka bertugas untuk memproduksi argumen post truth dengan
sistematis. Narasi mereka adalah menyebar phobia terhadap bahaya radikalisme
(ekstremisme) agama. Mereka menyasar dasar dari sentimen masyarakat kita yang
mudah tersulut oleh isu agama. Memang, masyarakat lebih suka mengonsumsi
dengungan para buzzer. Buktinya, masyarakat mudah sekali “memaafkan”
ketika Jokowi mengangkat menteri agama dari latar belakang militer.
Kelihatannya dalam pikiran masyarakat, ilusi persoalan terorisme dengan motif
agama tampak lebih mendesak daripada isu eksploitasi dan penindasan. Cupet,
kan?
Suara sastra kian dibutuhkan karena ketumpulan nalar
masyarakat kita yang akut. Menyitir pernyataan Rocky Gerung, bangsa kita memang
surplus kedunguan serta defisit kecerdasan. Hal ini terbukti jelas ketika
cebong akhirnya berzina dengan kampret. Sikap naif masyarakat dalam melihat
politik menemukan jawabannya sekarang. Padahal pada masa kampanye Pilpres, ada
banyak analisis yang memaparkan bahwa aktor tim sukses di balik kedua kontestan
adalah rekanan.
Film dokumenter Sexy Killers membuktikan itu
dengan gamblang. Namun tetap saja, masyarakat tidak percaya. Ajaibnya, sampai
sekarang masih ada cebong garis keras yang tetap memberi pembenaran pada
politik transaksional a la Jokowi. Mereka bilang, “Ini langkah
cerdik.” Sementara yang lain mengatakan, “Tindakan ini mirip
politikus besar AS, Abraham Lincoln, yang menggandeng musuh politiknya.” Lebih
gila lagi, ada yang mengutip ayat suci agama demi melegitimasi praktik politik
transaksional ini. Akal sehat kita bukan lagi tumpul tetapi berkarat-karat.
Memanggil
Sastrawan
Situasi ini merupakan sinyal buruk akan masa depan kita.
Hampir semua elemen demokrasi kita lumpuh. Kelompok progresif yang kita
harapkan mampu memberi alternatif ternyata KO dipukul Denny Siregar dan
batalionnya. Rasa miris kian lengkap jika melihat keluguan masyarakat dalam
menalar manuver para politisi. Oleh karena itu, kita butuh mikrofon untuk
menyalurkan jeritan suara rakyat. Sejarah menunjukkan, biasanya, para sastrawan
akan pasang badan dengan menghunus pena sebagai pedang. Namun pertanyaannya, “Mengapa
sastra?”
Untuk memahami sastra, alangkah lebih baik kalau kita
memulai dari definisi yang bukan sastra. Dalam masyarakat, ada tiga mitos yang
berkembang tentang sastra, kata SGA. Pertama, banyak orang memandang sastra
berisi curahan hati (curhat) semata. Kedua, sastra dianggap bundelan kata
dengan bahasa mendayu belaka. Terakhir, sastra dianggap cuman berisi petuah
moralitas yang nyaris tanpa makna. Tentu saja, sebuah kesalahan besar jika kita
memahami sastra dengan langgam ini. Lalu jika begitu, apa itu sastra?
Bisa dikatakan, sastra adalah salah satu instrumen untuk
memaknai pengalaman hidup. Ia sejajar dengan seni, agama, bahkan sains. Letak
perbedaan di antara mereka ada pada medium dan sarana yang dipakai untuk
meluapkan isi pikiran. Misalnya, sastra menggunakan kata untuk bicara sementara
musik memakai nada untuk mengirimkan makna. Oleh karena itu, dalam filsafat,
sastra masuk dalam cabang estetika. Karena dikelompokkan dalam cabang filsafat,
objek kajian utama dari sastra adalah kenyataan konkret manusia. Plato
menyebutnya dengan istilah mimesis. Jadi, tidak mengherankan jika sastra
itu abadi karena perannya dekat dengan kenyataan manusia.
Sastra memiliki banyak peran. Dalam fungsi rekreatif, ia
dapat menemani waktu luang kita. Sastra mampu meluaskan cakrawala wawasan kita
untuk menggenapi tugas edukatifnya. Bahkan, sastra pun bisa turun tangan untuk
mengajari kita tentang moral, keindahan, dan agama. Artinya, kontribusi sastra
tidak sekadar mematuk-matuk kata sembari bersyair tentang anggur dan rembulan.
Bahkan lebih besar dari itu, sastra bertugas untuk membongkar tabu. Ia
bertanggung jawab untuk mengurai kompleksitas dan ambiguitas dari realitas.
Kemudian, ia harus membubuhi karyanya dengan imajinasi mengenai dunia yang
seharusnya. Ini alasannya sastra dapat digunakan sebagai alat
propaganda.
Jadi, kaitan sastra dengan dunia politik sebenarnya
sangat dekat. Tadi dikatakan, salah satu tugas sastra adalah membongkar tabu.
Sementara, dunia politik adalah tempat dimana tabu dirawat. Bagi para politisi,
ucapan di atas pentas berbeda arti jika di balik layar. Artinya, dunia politik
adalah tempat keterampilan seni berbohong diasah. Dalam habitat seperti ini,
tentu saja sastra harus bicara. Ada banyak pintu kebohongan yang harus ia
dobrak dan muslihat yang harus ditelanjangi. Inilah sastra yang sebenarnya!
Oleh karena itulah, sudah saatnya kita memanggil para
sastrawan keluar dari ruang tapa. Kita pun harus menjemput puisi, prosa, dan
kisah fiksi mereka untuk memorak-porandakan tipu busuk politik transaksi ini.
Kalau tidak, artinya kita memang sudah tidak mempunyai harapan.