Minggu, 15 September 2019

Teater Sebagai Medium Perlawanan, Tapi Melawan Apa?


September 15, 2019

Ilustrasi teater

Sejak dulu, teater kerap di-identikkan sebagai medium perlawanan. Padahal, ketika diperkenalkan di Yunani abad ke-6 SM, teater ditujukan untuk menyokong ritual keagamaan. Sampai perkembangan teater terus terjadi mengikuti zaman, bermunculan teater tradisional, maka teater berpindah peran menjadi hiburan dan budaya.

Selanjutnya, teater modern lahir. Maka teater mulai berubah peran, mulai dari menjadi penyampai pesan, hingga medium perlawanan. Bahkan, dalam titik negatifnya, teater juga berubah menjadi agen kepentingan.

Mengingat teater sebagai perlawanan, tentu akan mengarahkan kita ke nama dramawan legendaris Indonesia, WS Rendra. Namanya begitu harum tersimpan di memori teater Indonesia. Sebab, teater baginya tidak hanya untuk hiburan juga budaya, tapi lebih pada perlawanan. Karena itu, pemerintah Orde Baru (Orba) melakukan pengawasan, berlanjut ke pelarangan pada setiap pementasan Rendra.

Namun, kembali ke pertanyaan paling awal, apabila teater memang kerap dijadikan medium perlawanan, maka siapa lawannya? Tidak sedikit yang akan menjawab; "penguasa!" Ternyata, tidak hanya "penguasa" yang bisa menjadi objek perlawanan. Ketidak adilan, tindak yang tidak manusiawi, serta kebiasaan merendahkan orang yang tidak satu kelompok, juga sering menjadi "objek perlawanan" bagi seorang seniman.

Ilustrasi pertunjukan teater (Teater Satu Lampung dalam karya Kisah-Kisah yang Mengingatkan)

Setiap karya seni pertunjukan, lahir dari atau sebagai respon seorang seniman terhadap lingkungan dan sosial sekitarnya. Ada yang menatap kerusakan bentang alam dan para pengrusaknya sebagai orang-orang yang mesti dilawan, lewat teater. Ada seniman lain yang menatap kemalasan bangsa ini, sehingga SDA yang kaya raya dan melimpah tak mampu diolah dengan baik karena tidak adanya SDM. Maka itu dianggap sesuatu yang perlu dilawan, dirubah dan diluruskan.

Ada yang mencintai kemanusiaan dan kedamaian. Tindak pemerkosaan, perudungan, penghinaan status sosial, warna kulit dan sebagainya, dianggap sebagai sebuah lawan yang juga harus dihapuskan.
Ada yang melihat perang sebagai kejahatan kemanusiaan, maka lahir karya yang melawan itu, agar perang dapat terhenti dan dihapuskan dari muka bumi.

Ada yang ingin kesetaraan gender, ada yang ingin kesetaraan ras, ada yang ingin kesetaraan agama dan lain sebagainya. Lalu menggunakan karya teater untuk menyampaikan kegelisahannya, dan tentunya "perlawanannya".

Ada yang melihat ketergantungan anak muda penerus bangsa sekarang pada gawai, bermain gem sepanjang malam, maka runtuh hubungan sosial antar manusia gegara gadget. Ada yang tidak peduli pada prestasi dan pengetahuan, lebih peduli pada popularitas dan sensasi. Maka hadir sebuah perlawanan dalam bentuk sebuah karya.
Ada juga yang melihat betapa banyak makhluk yang kecanduan agama, belajar di tempat yang salah, lalu menimbulkan pergesekan atas nama agama. Lalu, muncul pula karya teater yang mencoba menentang hal itu.

Atau, semakin banyak orang yang hidup hanya untuk mempersiapkan mati, lalu hidup hanya diisi dengan keegoisan diri sendiri mencapai tujuan pribadi. Lebih mengerikannya, semua yang ada di sekelilingnya, dianggap sebagai sampah atau setidaknya punya derajat yang jauh di bawah dia. Lagi-lagi, karya teater muncul untuk menentang itu.

Ada yang melihat bahwa manusia telah kehilangan makna, kehilangan sekaligus lupa akan tugasnya sebagai manusia. Ada juga yang melihat krisis eksistensial seorang manusia, atau kehidupan yang tak lebih dari labirin yang berputar-putar. Lalu, lahirlah karya yang menyampaikan pesan itu, sekaligus memprovokasi penonton untuk menentangnya.

Intinya, semua masalah akan terlihat ketika seorang seniman membuka mata. Dalam satu titik masalah yang sama, dua orang seniman akan memiliki perspektif berbeda menanggapinya, lalu mencurahkannya dalam sebuah karya seni pertunjukan.

Perspektif itu, kemudian diobservasi, baik kecil-kecilan, berbentuk studi pustaka, atau malah observasi besar-besaran, hingga terjun langsung ke lapangan. Kemudian, diimplementasikan dalam bentuk sebuah karya. Tidak lupa pula, sejumlah pendapat dan pandangan filsuf, pemikir, tokoh bahkan kata-kata Nabi yang mendukung ide, pesan dan konsep pementasan itu, sering juga di-include-kan ke tubuh karya. Unsur-unsur estetik kemudian digarap sesuai dengan dramaturgi. Ditambah proses latihan yang makan waktu sampai berbulan-bulan. Dan, sebuah karya akhirnya ditampilkan.

Maka, hasilnya adalah sebuah keragaman karya. Setiap grup teater memiliki ciri khas karya masing-masing, berdasar dari pandangan mereka terhadap lingkungan sosial sekitarnya. Maka karya itu akan lahir dari dalam perasaan terdalamnya, maka karya itu akan lahir dengan jujur. Maka penonton juga memiliki banyak pilihan, memilih pertunjukan teater yang sesuai dengan visinya, "mengenyangkan" dan memberi "nutrisi" yang dibutuhkan, dirindukan sekaligus diinginkannya. Maka, teater dan penontonnya akan memiliki satu ikatan batin, yang hanya terpisah oleh dinding keempat.

Seorang seniman tidak hanya bertugas untuk menambah pengetahuannya, melatih dirinya dan menciptakan sebuah karya. Lebih dari itu, ia mesti melihat lingkungan sekitarnya dan memberi respon dengan sebuah karya. (ai/pojokseni)  

0 komentar:

Posting Komentar