oleh Esha Tegar
Putra | 18 Desember 2018
"Kanon Sastra Indonesia: Perlukah?" dalam agenda debat
publik KKI 2018
Jika “Kanon Sastra Indonesia” resmi dibuat, kepada siapa kanon ini
hendak ditujukan: pelajar, umum, atau malahan untuk promosi karya sastra
Indonesia ke luar negeri?
I
Jika “Kanon Sastra Indonesia” dibuat secara institusional
oleh lembaga pemerintahan, kepada siapa kanon tersebut diperuntukkan? Sudah
siapkah publik menerima kehadiran kanon sastra dalam keragaman khazanah Sastra
Indonesia dengan segala tangunggan kontestasinya? Dua pertanyaan tersebut
menantang saya untuk mereka-reka kemungkinan hadirnya kanon sastra yang
ditahbiskan oleh lembaga pemerintahan. Namun pembacaan saya selalu dihadang
sederet persoalan mendasar dalam sejarah kesusastraan di Indonesia yang selalu
membuat proses kehadiran kanon terhambat—setidaknya dalam menginterpretasikan
“kanon sastra”.
Politik kebahasaan dan ideologi penerbitan berawal pada periode
kolonialisme Belanda hingga perdebatan tentang kapan bahasa Indonesia lahir;
pertentangan kaum terdidik tentang bagaimana cara pandang dalam berkebudayaan
di Indonesia; keterkaitan langsung praktik kesusastraan dalam mengoreksi atau
mendukung rezim kekuasaan; dan proses memandang Indonesia sebagai sebuah
negara-bangsa dengan keragaman suku-bangsa sampai pembawaan pada tema karya
sastra.
II
Sejarah kesusastraan Indonesia hari ini tentu tidak lepas
dari persoalan politik kebahasaan dan ideologi penerbitan sejak periode
kolonialisme Belanda. Tak dapat dimungkiri, Balai Pustaka (1917) awalnya
didirikan sebagai Komisi Bacaan Rakyat di Sekolah-sekolah Bumiputera (melalui
surat keputusan No.12 tanggal 14 September 1908). Kehadiran Balai Pustaka
menurut A. Teeuw tentu sangat bermanfaat, di antaranya memberi ruang untuk
bangsa Indonesia menghasilkan karya sendiri karena rakyat kemudian dapat
membaca karya anak bangsa. Ia mempercepat perkembangan dunia karang-mengarang
dan memperluas khazanah cerita rakyat yang hadir dari berbagai daerah. Termasuk
dengan luasnya penyebaran buku-buku bacaan di berbagai daerah karena instruksi
membangun pustaka di sekolah-sekolah dan penjualan buku-buku murah.
Lain soal ketika Balai Pustaka hadir untuk menampik
peredaran bacaan-bacaan liar yang dianggap mengganggu proses politik kolonial
Belanda. Sekian banyak literatur hadir membicarakan Balai Pustaka periode awal
sebagai badan penerbitan resmi pemerintahan Belanda yang berupaya menghambat
peredaran bacaan di luar penerbit tersebut terutama melalui sensor kebahasaan ketat
termasuk dengan ideologi penghadiran karya sastra.
Persoalan yang kemudian mendatangkan dilema tersendiri,
perdebatan antara “bahasa Melayu-tinggi” sebagai produksi dari bacaan dari
Balai Pustaka dengan “bahasa Melayu-rendah” (pasar) yang dianggap diproduksi
dari bacaan-bacaan di luar penerbit pemerintah kolonial tersebut.
Selain faktor kebahasaan, hadir pula persoalan kandungan
bacaaan yang sifatnya terlalu kedaerahan, salah satunya daerah Minang, karena
hampir sebagian besar jajaran redaksi di Balai Pustaka pada periode awal
dipegang oleh orang-orang Minang. Terlebih, jajaran redaksi tersebut dianggap
memegang teguh corak penggunaan kamus Kitab Logat Melajoe (1901) Ch.
A. van Ophuysen yang merupakan sistem ejaan Latin pertama untuk bahasa Melayu
resmi periode kolonial Belanda di Indonesia. Kitab tersebut disusun Van
Ophuysen, selaku orang Belanda lahir dan tumbuh dalam lingkungan berbahasa
Minangkabau. Ditambah lagi, penyusun kitab itu Engku Nawawi St. Makmur, guru
Sekolah Raja (kweekschol) dan tokoh pendidik di Minangkabau, dan M. Taib St.
Ibrahim.
Soal bagaimana proses sensor dilakukan Balai Pustaka
melalui terbitan “Nota Over de Volkslecturur” (1911) atau dikenal sebagai Nota
Rinkes, tentu saja telah menutup peluang untuk menerbitkan karya-karya dengan
bahasa Melayu yang dianggap rendahan, dengan tuturan lugas, termasuk karya yang
berisi kritik terhadap sistem pemerintahan kolonial. Pada soal ini, saya ingin
melirik lagi beberapa tulisan Sapardi Djoko Damono dalam buku Politik
Ideologi dan Sastra Hibrida (Pustaka Firdaus, 1999). Tentu saya bersepakat
dengan pandangan Sapardi soal proses sensor Balai Pustaka sebagaimana dibahas
di atas. Akan tetapi, mengenai dominasi Minang atau corak Minang sepenuhnya
karena proses redaksional dalam memandang kesusastraan Indonesia periode awal
Balai Pustaka? Saya pikir kita harus menimbang lagi bagaimana pada periode
tersebut orang-orang, termasuk redaksi Balai Pustaka yang terdiri dari kalangan
bumiputera dan Belanda, memandang “Indonesia” melalui bahasa Melayu versi mereka.
Beberapa tulisan Sapardi secara tidak langsung
mengetengahkan persoalan bagaimana salah satu etnis (Minang)—atau lebih luas
disebut sebagai Sumatera—diunggulkan pada masa tertentu karena redaksi Balai
Pustaka hampir sebagian besar terdiri atas etnis tersebut. Persoalan
pengunggulan berulang-ulang dituliskan Sapardi dalam beberapa artikel buku
tersebut, salah satunya artikel bertajuk “Beberapa Masalah dalam Perkembangan
Sastra Indonesia Modern” (1999:36-52). Sapardi mengatakan bahwa setiap kali
berbicara mengenai Balai Pustaka, kita hampir selalu berbicara mengenai
dominasi pengarang Sumatera, terutama Sumatera Barat. Marah Rusli, S. Takdir
Alisjahbana, Tulis St. Sati, Nur St. Iskandar, A. St. Pamuntjak, Abdul Muis,
dan HAMKA sebagai sastrawan Indonesia sebelum perang (kemerdekaan).
Sementara
itu I Gusti Njoman Pandji Tisna dan Soetomo Djauhar Arifin, berasal dari Bali
dan Jawa, merupakan pengecualian.
Selain itu, menurut Sapardi terdapat kesulitan dari
pembaca di luar Minang dalam memahami kosep ‘kosakata’ termasuk mitologi karya
sastrawan Minang. Sebagaimana kasus penerbitan buku Kasih Tak Terlarai (1929)
karya Soeman HS, terjadi perubahan pada judul naskah karya pengarang Melayu
Riau tersebut oleh redaksi Balai Pustaka, dari semula ‘terlerai’ menjadi ‘terlarai’.
Kemungkinan perubahan tersebut dianggap terjadi karena salah seorang redaktur
Balai Pustaka dari Minang.
III
Periode pasca-Revolusi Indonesia (1945-1949) juga
menentukan bagaimana karya sastra dikontestasikan. Kita dapat melirik sebuah
kitab kecil karangan Amal Hamzah berjudul Buku dan Penulis (Balai
Pustaka, 1950) tentang bagaimana setidaknya proses “kanonisasi” sastra
berlangsung melalui kitab tersebut. Kitab berupa ulasan singkat dan sinopsis
tentang karya tersebut menghimpun 20 karangan terdiri dari roman 17 penulis.
Hampir sebagian besar roman ulasan Amal Hamzah terbitan Balai Pustaka dari
tahun 1920-an, seperti Azab dan Sengsarakarya Merari Siregar, Sitti
Nurbaya karya Marah Rusli, Darah Muda dan Asmara Jaya karya
Adinegoro, ataupun Sukreni Gadis Bali karya Panji Tisna, dan sedikit
karya terbitan di luar Balai Pustaka. Di antara yang sedikit itu merupakan keluaran
penerbit yang berada di Jakarta, misal Kertajaya karya Sanusi Pane
dan Belenggu karya Armijn Pane terbitan Pustaka Rakyat, Surabaya karya
Idrus terbitan Merdeka Press.
Dalam pendahuluannya Amal Hamzah mengatakan bahwa kitab
kecil yang ditulisnya pada 1947 hingga akhir tahun 1948 itu adalah usaha
memperkenalkan penulis-penulis Indonesia kepada umum. Ia berpendapat, saat
kitab itu akan ditulis, minat masyarakat pada sastra bisa dikatakan sudah dua
kali lipat dari 30 tahun sebelumnya. Melalui kitab himpunan ulasan singkat
terhadap beberapa roman Indonesia, Amal Hamzah ingin cabang kebudayaan bernama
sastra terus berkembang, “tidak kerdil tumbuhnja,” terangnya.
Salah satu ulasannya yang menarik adalah mengenai roman
(novel) Andang Teruna karya Sutomo Djauhar Arifin. Meskipun buku Amal
Hamzah diterbitkan Balai Pustaka, ia mengkritik melalui perbandingan Andang
Teruna dengan karya-karya terbitan Balai Pustaka sebelumnya. Amal Hamzah
menyebutkan roman tersebut memberi kesan segar ke dalam hati pembaca. Ia merasa
bahwa dari Andang Teruna “untuk pertama kalinya” ia membaca roman
dengan akhir cerita menunjukkan kegembiraan akan hidup yang akan datang. Ia
menegaskan pada pengarang sekaligus menggambarkan mengenai pembaca (bangsa)
Indonesia:
“Sebetulnja djanganlah hendaknja dalam roman memberikan alasan kepada bangsa kita untuk lebih lama duduk termenung, sebab pada azaznja sengadja bangsa kita itu suka sekali duduk termenung dan mengelamun!” terangnya.
Amal Hamzah membahas Andang Kelana dengan penuh
pujian, tapi sekaligus melemparkan kritik untuk “engku redaktur” Balai Pustaka
atas cara mereka melakukan suntingan terhadap naskah-naskah terbitannya. Buku
dan Penulis karya Amal Hamzah memperlihatkan bagaimana periode
pasca-revolusi mengubah pola pandang direksi dan redaktur Balai Pustaka.
Setidaknya, mereka menjadi lebih terbuka untuk kritik. Di lain soal, di antara
apresiasi dan kritik Amal Hamzah, kita tidak menemukan satu pun buku di luar
terbitan Balai Pustaka dan Merdeka Press. Padahal, sekian banyak roman lain beredar
antara penerbitan Azab dan Sengsara karya Merari Siregar (1920)
hingga Surabaya karya Idrus (1947).
Pada periode ini, para pemerhati sastra berada dalam masa
kebimbangan dan masih mereka-reka mengenai apa itu Kesusastraan Indonesia (?).
Kita dapat melihat bagaimana cara pandang kritis H.B. Jassin dalam tulisannya
mengenai buku tentang “Kesusastraan Indonesia Modern”. Ia mengomentari
kehadiran buku Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru karya A.
Teeuw.
H.B. Jassin menganggap pembagian dilakukan A. Teeuw
terhadap pengarang Pujangga Baru dan Balai Pustaka tidak bisa dipertahankan
dalam kemurniannya. Hal ini dicontohkan dengan Sutan Tadir Alisjahbana,
meskipun ia dulu merupakan pegawai dan pengarang Balai Pustaka, ia dimasukkan
pada golongan Pujangga Baru karena ia memimpin (majalah) Pujangga Baru pada
1933. Begitu juga dengan Armijn Pane dan Sanusi Pane.
Sebagaimana Amal Hamzah tidak menulis satu pun roman
“bacaan liar” atau “roman picisan” dalam uraiaan bukunya, H.B. Jassin dalam
catatannya juga membahas penggolongan roman picisan dalam kesusastraan, di mana
Dr. Roolvink berpandangan bahwa roman picisan pada umumnya jangan hanya
dihargai dari sudut beletri (sastra Indah) saja. Namun, roman picisan
ini dapat dipandang sebagai ukuran apa yang hidup dalam jiwa suatu bangsa dan
watak masyarakatnya. Meskipun Dr. Roolvink tetap menganggap roman picisan mengecewakan
dalam beberapa hal, termasuk mengenai “uraian jiwa yang dangkal”, komposisi
yang “kadang-kadang tidak memuaskan”, dan “bahasa yang dirusakkan oleh
kata-kata yang bukan kata Indonesia”, merurutnya buku-buku roman picisan tetap
punya harga karena memberikan kesan tentang kehidupan kota-kota besar dan
kebudayaan-kota Indonesia modern.
Ringkasnya, H. B. Jassin lebih menganggap
roman picisan sebagai “bacaan saja”.
Perdebatan mengenai roman picisan ini kemudian hari terus
berkembang ke masa selanjutnya dalam memberi batasan bacaan “populer” (minor)
dan “sastra” (mayor). Di luar itu semua, dapat kita lihat perdebatan dalam
ruang lingkup roman picisan. Selain persoalan sensor, soal perdebatan
kebahasaan, keliaran, ketidaktertiban, lingkungan di sekitar roman picisan juga
dihadang persoalan lain—termasuk lembaga agama yang mempertimbangan aspek
normatif karya sastra dibanding estetika karya. Saya menghadirkan telaah
Sudarmoko dalam buku Roman Pergaoelan genre fiksi terbitan Penjiaran
Ilmoe, Bukittinggi, periode pertengahan 1930-an hingga awal 1940-an. Selain
menerbitkan karya pengarang Minang (Sumatera Barat), penerbit itu juga
menerbitkan beberapa naskah pengarang Kalimantan, Solo, Yogyakarta, Batavia,
Medan. Penerbitan seri Roman Pergaoelandianggap mampu menopang kehidupan
penerbitan. Bahkan roman yang diterbitkan setiap dua mingguan tersebut sanggup
merambah pasar Malaysia, Singapura, Brunei, selain wilayah Indonesia.
Oplah percetakan seri Roman Pergaoelan cukup
besar. Roman terdiri dari 70 sampai 120 halaman sekali terbit dicetak 1.000
eksemplar dan pada cetakan selanjutnya mencapai 5.000 eksempar. Lain untuk
kasus roman karya Martha (Maisir Thaib) berjudul Oestaz A. Masjuk, polemik
pembaca membuatnya dicetak tiga kali dan terakhir dicetak sebanyak 10.000 eksemplar.
Pada penerbitan roman karya Martha itu, kita bisa lihat betapa lingkungan roman
“picisan” memuat dilema tersendiri di luar penjualannya yang laris. Selain
tidak dilirik oleh ruang lingkup sastra, kehadiran roman sejenis mendapat
tantangan dari golongan tertentu. Roman Oestaz A. Masjuk karya Martha
dan Angkatan Baroe karya HAMKA terbitan Penjiaran Ilmoe dalam seri
Roman Pergaoelan ditentang oleh golongan Perti (Persatuan tarbiyah Islamiyah).
Pihak penerbit sudah mengira pada penerbitan pertama roman tersebut akan
mendatangkan polemik, tapi tetap menerbitkannya.
Roman karangan Marta dihantar catatan HAMKA lalu disambut
polemik dari pembaca dengan disertai tanggapan kritis. Tanggapan itu terus
berkembang kemudian hari di berbagai koran. Buku tersebut turut membuat
kalangan pers di Padang dan Tapanuli ribut dan berbagai koran tertarik untuk
memuat pertimbangan isi buku. Para ulama menganggap catatan HAMKA pada
pengantar roman adalah fitnah terhadap ulama dan pemuka Perti. Golongan Perti
bahkan membuat konferensi dalam membahas roman tersebut. Dalam konferensi yang
dihadiri oleh kurang-lebih 1.000 anggota Perti, dihasilkan keputusan yang
berkaitan dengan tulisan HAMKA dan roman Oestaz A. Masjuk. Pembakaran
roman Marta juga dilakukan oleh Siradjoedin Abbas selaku ketua Perti di hadapan
peserta konferensi seteleh membacakan putusan terhadap roman itu.
IV
Belasan tahun setelah polemik mengenai Oestaz A.
Masjuk, kejadian serupa menimpa kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (1956)
karya A.A. Navis. Reaksi periode itu melebar ke arah hubungan bacaan sastra
dengan partai politik. Dalam otobiografinya, A.A. Navis (1994) mengisahkan
bahwa muncul kritik tak resmi tentang penerbitan buku kumpulan cerpennya oleh
Penerbit N.V. Nusantara. Seorang buya (ulama) di Bukittinggi melontarkan
pandangan kepada Rustam Anwar selaku direksi penerbit, “kenapa cerita orang
Murba diterbitkan, Rustam?” A.A. Navis sendiri mengakui pada periode itu ia tak
berpartai. Reaksi sengit juga muncul atas terbitnya cerpen A.A. Navis
selanjutnya berjudul “Man Rabbuka” dimuat Harian Nyata, Bukittinggi, pada
akhir 1957. Cerpen tersebut dianggap mengejek Islam sehingga Harian
Nyata memberikan klarifikasi penerbitan dengan anggapan bahwa cepen itu
tidak pernah ada. Penerbitan cerpen yang sama di Majalah Siasat juga
berbuntut sama.
Situasi politik periode 1950-an hingga 1960-an dan
hubungannya dengan karya sastra juga dapat dilihat pada karangan Soewardi
Idris.
Memasuki 1950-an, instabilitas politik dan ekonomi zaman
revolusi bergeser ke situasi pasca-perang. Kabinet pemerintah jatuh bangun dan
pada saat yang sama berhadapan dengan krisis-krisis sosial-ekonomi dan
rangkaian pergolakan daerah yang meletus hampir merata di setiap kepulauan.
Kita dapat merunut kembali pertikaian-pertikaian
sentrifugal (politik, keagamaan, dan kedaerahan) di Indonesia yang
menyebabkannya sebagai bangsa baru lahir, mempertanyakan dan memaknai kembali
arti pembentukan sebuah bangsa. Dalam hal ini, termasuk pergolakan Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berlangsung pada periode 1958-1962
di Sumatera Barat.
Soewardi Idris banyak menuliskan persoalan PRRI dalam
karya sastranya. Sebelumnya, Bachtiar Djamily melalui roman Jang Berontak
dan Jang Menjerah (Firma Tekad, 1962) dan Dt. B. Nurdin Jacub melalui
kumpulan cerpen Dara Dibalik Katja (N.V. Nusantara, 1962) juga
mengangkat latar peristiwa PRRI dalam karya mereka. Soewardi Idris lebih intens
membicarakan PRRI dibandingkan Bachtiar Djamily dan Dt. B. Nurdin Jacub. Ia
menghadirkan latar peristiwa PRRI secara khusus melalui kumpulan cerpen Diluar
Dugaan (N.V. Nusantara, 1963), Istri Seorang Sahabat (N.V.
Nusantara, 1963), dan roman Dari Puncak Bukit Talang (Wilendra,
1964). Namun, kehadiran karya-karya Soewardi Idris di satu sisi ditentang oleh
PKI dan sempat dimuat dalam Harian Rakyat (1964), dan ketidaksukaan
atas karya tersebut juga datang dari orang-orang yang terlibat PRRI.
Tapi tidak begitu dengan kondisi karya-karya pengarang
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berkisah tentang PRRI pada periode itu.
Zubir A.A, pengarang Lekra yang juga kerap berbicara mengenai PRRI, tidak
mendapat reaksi sebagaimana diterima Soewardi Idris. Bahkan dalam satu
cerpennya berjudul “Amanatnja Kepada Partai”, PRRI digambarkan sebagai “kaum
fasis” dan di cerpen lain berjudul “Lagu Subuh” ia menggambarkan pengikut PRRI
sebagai “serdadu pemberontak jang serakah”. Dalam hal ini, kita dapat melihat
bagaimana situasi politik 1950-1960 juga menjadi penentu kehadiran sebuah karya
sastra ke lingkungan pembaca.
V
Dapat dikatakan dalam lintasan sejaran sastra Indonesia
kita tidak mengenal, atau lebih tepatnya tidak mempergunakan istilah “kanon”,
tapi pada prinsipnya proses kanonisasi sudah berlangsung lama. Proses itu pula
membentuk cara pandang sebagian besar masyarakat, siswa, mahasiswa, dan akademisi
sastra di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari model uraian pengetahuan
mengenai sejarah kesusastraan yang selalu mengarah pada model “periodisasi”
yang saling mengoreksi.
Model-model pembacaan periodisasi itu dikembangkan oleh
H.B. Jassin, diteruskan Buyung Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, Ajip
Rosidi, Zuber Usman, Umar Junus, hingga Rachmad Djoko Pradopo.
Di kemudian hari, kita juga mengenal, dalam hal pembacaan
terhadap subgenre karya sastra berdasarkan periodisasi, dalam buku kritik serta
apresiasi, muncul beragam istilah lain, semisal ‘tonggak’, ‘tokoh’, ‘leksikon’,
atau berdasarkan nama-nama kelompok dan daerah. Istilah tersebut tak lain hanya
pengganti untuk tidak menyebut ‘kanon’.
Semua istilah tersebut turut memunculkan polemik dalam
beragam kapastitas pembacaan dan kemudian hilang begitu saja karena barangkali
tidak mempunyai argumentasi kuat. Misalkan, buku Angkatan 2000 dalam
Sastra Indonesia (Grasindo, 2000) karya Korrie Layun Rampan yang memuat
seratusan lebih nama-nama penyair, cerpenis, novelis, eseis. Nama-nama berikut
karya terhimpun dianggap telah menampilkan warna tersendiri dalam khazanah
sastra di Indonesia. Yang terbaru, dapat kita lihat polemik mengenai buku 33
Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (KPG, 2013) yang wacananya akan
disebarkan ke sekolah-sekolah. Buku tersebut mengeliminasi sastrawan lain
dengan karya cemerlang melalui kategorisasi penghadiran angka “33” dan istilah
“paling berpengaruh”. Keterangan di bagian penutup buku, dengan judul “Yang
Indah dan yang Luput”, memperlihatkan bagaimana pengaruh tokoh (dalam pemahaman
tim penyusun buku) di luar 33 tokoh, seakan dikerdilkan, dikebiri proses dan
capaian karyanya. Dalam uraian tersebut, dituliskan bahwa mungkin saja seorang
sastrawan tak diragukan lagi kedudukan pentingnya dalam sastra Indonesia karena
karya-karyanya sangat berhasil.
VI
Dari pandangan di atas, saya menegaskan kembali bahwa
“kanon sastra” telah hadir lama, sejak didirikan Balai Pustaka hingga
penyelaraskan sejarah kesusastraan Indonesia oleh peneliti dan akademisi.
Hingga hari ini, “sastra kanon” atau “karya sastra kanon”
di tingkatan siswa masih dipegang oleh karya-karya terbitan Balai Pustaka
sebelum kemerdekaan dengan seri “sastra nostalgia” atau “sastra klasik”—kita
harus menguji pandangan ini.
Selanjutnya, di ruang pembaca sastra umum, peneliti,
akademisi, atau sastrawan, “sastra kanon” atau “karya sastra kanon” versi
mereka barangkali dipengaruhi beragam pembacaan (hasil penelitian, karya
pemenang sayembara, ataupun peraih kusala).
Jadi, jika “Kanon Sastra Indonesia” resmi dibuat, kepada
siapa kanon ini hendak ditujukan: pelajar, umum, atau malahan untuk promosi
karya sastra Indonesia ke luar negeri? Bagaimanapun, jika rencana ini benar
adanya, butuh waktu tidak sebentar untuk kembali mengevaluasi apa yang sudah
dianggap sebagai sejarah kesusastraan hari ini. Butuh penerimaan juga bagi
publik pembaca karya sastra Indonesia untuk membenarkan bahwa pada suatu masa
pernah ada “yang dibenamkan” dan “yang diapungkan” karena keterhubungan sastra
dengan rezim kekuasaan.
___
Daftar
Bacaan:
Damono,
Sapardi Djoko. (1999). Politik Ideologi dan Sastra Hibrida, Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Hamzah,
Amal. (1950). Buku dan Penulis. Jakarta: Balai Pustaka.
Jassin,
H.B. (1954). Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai. Jakarta:
Gunung Agung.
Marhalim
Zaini. (2018). Bahasa Melayu dalam Sastra Indonesia (Kasus Sastra Melayu
Riau). Makalah diskusi Payokumbuah Literary Festival, 14-16 November 2018.
Noor,
Azep Zamzam (ed.). 2013. Puisi Esai: Sebuah Kemungkinan Sebuah Tantangan.
Depok: PT Jurnal Sajak Indonesia.
Sudarmoko.
(2008). Roman Pergaoelan. Yogyakarta: Insist Press.
_________
(2016). Regionalisme Sastra Indonesia. Padang: LPTIK Universitas Andalas.
Yusra,
Abrar. (1994). A.A. Navis: Satiris dan Suara kritis dari Daerah. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
___
Esha Tegar Putra, seorang penyair asal Padang.
Ia turut menggagas Padang Literary Biennale 2014 pada September 2014. Buku
puisinya yang terbaru berjudul "Sarinah"
Sumber: Jurnal Ruang