Oleh : Fandy Hutari
|
Pada 1956, anak muda Batak berusia 33 tahun, Bachtiar Siagian, senang bukan main. Akhirnya, ia berhasil mewujudkan cita-citanya: membuat film pertama.
Film pertamanya itu berjudul Tjorak Dunia, produksi Garuda Films. Meski demikian, Bachtiar sesungguhnya sudah menelurkan film yang lebih dahulu dari Tjorak Dunia, yakni Kabut Desember. Namun, film tersebut tak dinikmati penonton Indonesia, lantaran langsung diterbangkan ke Cekoslowakia, Polandia, dan Tiongkok (Terang Bulan, Agustus 1956).
Pada 1950, Bachtiar pernah melakukan eksperimen membuat film berjudul Musim Badai, di kantor kecilnya di Grand Hotel, Medan. Akan tetapi, film itu gagal total karena terbentur masalah keuangan.
Bachtiar adalah sosok sutradara besar yang pernah dimiliki negeri ini. Tapi, namanya "terhapus", dan karyanya dimusnahkan pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Bahctiar memang berada di organisasi yang kurang menguntungkan, sebelum terjadi huru-hara politik 1965. Ia merupakan Ketua Lembaga Film Indonesia Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), yang dituding berafiliasi dengan PKI.
Hanya ada satu filmnya yang selamat: Violetta.
Film itu, menurut anak Bachtiar, Bunga Siagian, awalnya merupakan koleksi pengusaha bioskop di Bogor. Pada 2000an, film tersebut diserahkan ke Sinematek, Jakarta.
Apresiasi
Pada 1955, Bachtiar membuat film Daerah Hilang. Hebatnya, film yang berkisah tentang sebuah daerah yang bakal lenyap oleh perumahan elite di Kebayoran Baru, Jakarta itu, ditaksir pemerintah Cekoslowakia.
Selain Daerah Hilang, pemerintah Cekoslowakia juga membeli karya Bahctiar lainnya, Turang (1957).
Di dalam bukunya Kuasa dalam Sinema (2009), Krisna Sen menyebut Daerah Hilang mengalami gunting sensor habis-habisan. Sensor itu dimaksudkan untuk menghindari penggambaran kenyataan sosial yang jujur.
Sebagai catatan, di daerah tersebut, sejak dimulai proyek pengembangan kota pada 1948, sudah muncul protes dari para petani buah dan pedagang kecil di sana.
Sedangkan Turang merupakan film epos gerilyawan Indonesia yang berjuang di sebuah desa, kaki Gunung Sinabung, Tanah Karo. Film tentang perjuangan Rusly (Omar Bach) dan Tipi (Nyzmah) (Varia, 21 Mei 1958).
Pada 20 Agustus 1958, film ini mendapat undangan dalam rangkaian festival film internasional yang berlangsung di Taskent, Uzbekistan. Pada 1960, Turang juga mendapat penghargaan Festival Film Indonesia (FFI).
Sebelum pemerintah Cekoslowakia memboyong dua film Bahctiar itu, mereka sudah menonton 12 film dari berbagai perusahaan film Indonesia yang diputar di negaranya. Namun, akhirnya yang terpilih hanya empat film Indonesia. Dua film lainnya, karya Bapak Film Nasional Usmar Ismail, yakni Harimau Tjampa dan 6 Djam di Djokja (Varia, 30 Juli 1958).
Usmar merupakan sutradara yang menonjol di era 1950-an hingga 1960-an. Usmar pernah mengaku, Bachtiar adalah lawan terberatnya urusan artistik dalam membuat sebuah film.
Warisan Bachtiar
Bunga Siagian bertutur bahwa sulit sekali memeriksa metode artistik Bachtiar, karena film-filmnya, kecuali Violetta, sudah tak ada. Namun, anak sang sutradara mengatakan, seperti Usmar dan sineas lainnya di era itu, Bahctiar pun menggunakan metode Hollywood klasik.
Film Turang cukup banyak meraih apresiasi. Sebab, penggambarannya sejalan dengan cita-cita revolusioner bangsa yang baru saja merdeka, dan kemampuan Bachtiar menyerap pengaruh neorealisme ke film-filmnya.
Bachtiar mendapatkan pengaruh neorealisme kala ia berkunjung ke Italia pada 1953 (Terang Bulan, Agustus 1956). Neorealisme sendiri merupakan istilah yang diberikan para kritikus film Italia pada 1940an, untuk menyebut karya para sineas muda dalam melawan kecenderungan film-film di masa diktator Benito Mussolini.
Pembuat film neorealisme mencipta karya bertumpu pada kehidupan nyata, dengan keaslian visual, pengerjaan kamera yang normal, pengambilan gambar di lokasi langsung, tanpa make up, serta hampir tak memakai efek khusus.
Mungkin saja, karena saya pun tak bisa memeriksanya lebih jauh, neorealisme itu diterapkan Bachtiar di film Turang dan Daerah Hilang.
Selain itu, Bachtiar disebut-sebut sebagai sineas pelopor yang melakukan penyutradaraan secara kolektif. Tulisan AM. Chandra di Bintang Timur, 12 Juni 1960, mengungkapkannya.
Chandra menulis, di film Badja Membara (1961), Bachtiar mendidik seorang pemain film bernama Zainal Abidin untuk menjadi asisten sutradara. Bachtiar ingin mendidik Zainal agar di masa depan ia menjadi seorang sutradara.
Kerja kolektif lah, menurut Chandra, yang membedakan Bachtiar dengan sutradara-sutradara lainnya di masa itu. Ia selalu mendengarkan pendapat orang-orang yang bekerja dalam produksi filmnya.
Hal lainnya yang membedakan Bachtiar dengan sutradara di zamannya adalah, resep jitu "pil kina Bandung."
Menurut Bunga sendiri, pil kina Bandung adalah sebuah fakta bahwa ayahnya membuat film komersial yang dibiayai produser, maka tetap harus mencari keuntungan---serta bisa memberikan gambaran bagaimana Bachtiar berusaha sangat keras sekali untuk membuat film yang sesuai dengan garis ideologinya sekaligus laku di pasaran. Dalam konteks ini, saat itu sedang banjir film Amerika dan India.
Mungkin saja, resep pil kina Bandung itu teraplikasi di dalam film Violetta (1962). Violettadibintangi Fifi Young (Indarningsih), Rima Melati (Violetta), dan Bambang Hermanto (Herman). Film ini mengisahkan seorang gadis, Violetta, yang hidupnya terkekang. Kemudian, ia jatuh cinta kepada seorang Kopral bernama Herman. Namun, cintanya dihalang-halangi Indarningsih.
Selama rentang 1955 hingga 1964, Bahctiar menghasilkan 13 film cerita. Tragedi 30 September 1965 mengubah alur hidupnya. Ia lantas dibuang ke Pulau Buru hingga 1977.
Bahctiar wafat pada 19 Maret 2002. Empat belas tahun kemudian, ia diganjar Anugerah Kebudayaan untuk Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Ia mewariskan sejumlah ilmu sinematografi kepada sineas-sineas selanjutnya. Meski hanya satu film yang bisa kita nikmati sekarang: Violetta.