| Sabtu, 30 September 2017
Pihak aparat
keamanan memandang sikap saya ini sebagai bukti kedekatan saya dengan kaum
Komunis sehingga saya diinterograsi selama lima hari di Jakarta. Lima hari yang
berat. Untung pada hari kelima ada interogrator yang bertanya kepada saya,
“Adakah orang yang
bisa menjamin bahwa saya bukan simpatisan Komunis?”
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Hadirin yang saya hormati…
Hadirin yang saya hormati…
SEJAK Indonesia merdeka pada tahun 1945 telah
muncul tiga dokumen yang berisi konsep kebudayaan Indonesia. Ketiga dokumen
kebudayaan itu adalah Surat Kepercayaan Gelanggang (1951); Mukaddimah Lembaga
Kesesenian Rakyat (LEKRA,1956); dan Manifest Kebudayaan (1963).
Konsep kebudayaan
yang dicitakan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang mengacu ke arah kebudayaan
Barat yang bersifat sekuler, antroposenstris serta elitis. Agaknya para pemikir
kebudayaan saat itu masih sangat terpesona oleh kemajuan Barat sehingga mereka mencitakan
kebudayaan Indonesia berkiblat ke Barat.
Situasi perang
dingin yang mulai menghangat menjelang tahun 1960-an menyeret Indonesia ke
dalam tarik-menarik antara pengaruh blok Barat dan blok Timur, juga di bidang
pemikiran kebudayaan. Maka sebagai tandingan atas lahirnya Surat Kepercayaan
Gelanggang yang mengarah ke Barat, lahirlah Mukaddimah Lembaga Kesenian Rakyat
(Lekra) yang mengarah ke blok sosialis di Timur, sama-sama sekuler,
antroposentris, tapi punya kecenderungan populis. Meskipun begitu, polemik
kebudayaan pun berkecamuk sengit di antara pendudukung kedua kubu tersebut.
Di tengah sengitnya
polemik antara pengikut “kebudayaan Barat” dan pengikut “kebudayaan Timur” yang
sama-sama sekuler itu muncullah pada tahun 1963 Manifest Kebudayaan yang seolah-olah
hadir sebagai konsep alternatif kebudayaan Indonesia.
Tetapi ternyata
Manifest Kebudayaan, yang pada kalimat terakhirnya berbunyi “Pancasila adalah
falsafah kebudayaan kami”, disanggah dan dicerca habis-habisan oleh para
pengikut Mukadimah Lekra.
Bagi para budayawan
Lekra, baik SKG maupun MK mereka anggap sebagai konsep kebudayaan yang
sama-sama borjuis. Dan pembantaian kebudayaan ini baru berakhir pada tahun 1965
setelah PKI dibubarkan, dan Lekra pun gulung tikar.
Hadirin yang saya
muliakan..
Saya mulai berkarya
sastra pada tahun 1971. Sebagai pribadi yang dekat dengan orang-orang Lesbumi
saya memilih dengan sadar konsep kebudayaan yang berfalsafah Pancasila sebagai
yang tercantum dalam Manifest Kebudayaan. Karena mengakui Pancasila sebagai falsafah
kebudayaan Indonesia maka dalam berkarya saya punya niatan yang lebih tinggi
daripada sekadar kepentingan pribadi maupun kepentingan kesusastraan semata.
Demikianlah, maka
selalu ada pertanyaan yang mendasar yang muncul ketika saya akan memulai menulis
sebuah karya. Pertanyaan itu:
Pertama, “Mengapa
Kamu menulis karya sastra?”
Kedua, “Apa niatmu
melakukan hal itu?”
Mengapa seorang
sastrawan, dalam hal ini saya menulis karya sastra, jawabnya sederhana. Yakni,
karena saya punya kegelisahan jiwa dan ingin melahirkan kegelisahan itu.
Setelah kegelisahan itu lahir sebagai karya sastra, maka terserah kepada
masyarakat; mau membaca, lalu menangkap kandungan nilai yang terkandung dalam
karya sastra itu, atau membiarkan karya saya tersimpan di rak-rak buku. Dalam
hal ini saya sebagai penulis sudah menyelesaikan bagian saya.
Tentang niat
menulis karya sastra jawabannya banyak. Adalah sah apabila karya sastra ditulis
dengan niat mengaktualisasikan diri. Siapa saja boleh membangun eksistensi
dirinya dengan jalan menulis karya sastra. Bahkan boleh saja sebuah karya
sastra ditulis dengan niat mendapatkan uang, dan mengarahkan karya itu agar
laris di pasaran. Ada lagi jawaban yang sering terdengar bahwa sastra ditulis
demi kesusastraan itu sendiri.
Sebagai orang biasa
dalam dunia kesusastraan Indonesia, saya merasa semua penjelasan itu ada
benarnya. Tetapi buat saya semua itu tidak menjadi jawaban yang tuntas. Memang
karena menulis karya sastra maka saya mendapat uang, dan nama saya dikenal di
tengah masyarakat. Namun masih ada yang belum terwakili melalui penjelasan itu.
Uang dan nama bukan segalanya. Atau, apakah saya bersastra untuk kesusastraan
semata? Tidak cukup juga. Penjelasan ini seperti membawa saya ke arah jalan
buntu.
Hadirin yang saya
hormati;
Setiap karya sastra
lahir dari seorang yang berada dalam keadaan sadar. Dengan demikian karya
sastra lahir dengan sebuah motivasi atau maksud. Dan bila maksud itu bukan
hanya untuk pemenuhan kepentingan sempit (cari uang, cari nama, atau sastra
untuk sastra) maka adakah sesuatu yang lebih mendasar?
Saya termasuk orang
yang percaya bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Maka niat
harus ditata dan dibangun dengan baik agar setiap karya sastra yang saya tulis
bisa dipertanggungjawabkan. Jadi apa niat saya bersastra?
Seluruh karya
sastra saya ditulis dengan niat menjalankan perintah, “Hai orang-orang beriman
jadilah kalian pembela-pembela Tuhan”.
Apakah Tuhan butuh
pembelaan?
Tuhan Mahaperkasa,
Mahamandiri Mahakuasa, jadi Tuhan sama sekali tidak butuh pembelaan. Meyakini
pribadi Tuhan butuh pembelaan adalah kekonyolan yang nyata. Maka kewajiban
menjadi pembela Tuhan sesungguhnya adalah kewajiban membela amanat dan
“alamat”-Nya.
Amanat Tuhan kepada
manusia tidak lain adalah keadaban kehidupan, yang dibangun melalui penegakan
nilai-nilai keadaban seperti keadilan, kebenaran, kasih sayang, martabat
kemanusiaan, pranata sosial yang baik, dan seterusnya.
Jelasnya, amanat
Tuhan kepada manusia adalah penyebaran kasih sayang kepada seluruh isi alam.
Melalui karya sastra yang semuanya menyangkut kehidupan orang-orang
terpinggirkan saya bermaksud memberikan kasih sayang kepada mereka. Tentu,
pembelaan secara sastrawi melalui persaksian dan pewartaan tidak akan serta
merta mengubah keadaan orang-orang teraniaya itu. Sastra hanya punya tugas
mengetuk nurani masyarakat bila terjadi gejala yang menandai adanya pelanggaran
terhadap nilai keadaban.
Maka apakah
pembelaan terhadap nilai-nilai keadaban melalui karya sastra bisa berhasil?
Sastra hanya
menyampaikan nilai-niai yang terkandung dalam suatu narasi cerita kepada
pembaca. Sastra hanya menyapa jiwa. Maka pembaca sendiri yang, kalau mau,
mengolah penghayatan nilai-nilai itu menjadi kesadaran dalam jiwanya. Dan bila
perkembangannya berlanjut maka kesadaran itu akan bergerak menjadi perilaku
nyata.
Para hadirin yang
baik..
Pemberdayaan sastra
sebagai “pembelaan” terhadan Tuhan juga bisa diarahkan kepada (alamat-alamat)
Tuhan. Tuhan Yang Mahabijaksana tentu Mahatahu bahwa kita adalah ciptaan yang
begitu lemah dan nisbi. Oleh karena kita tidak akan mampu mencapai Dirinya Yang
Mahakuat dan Mutlak. Maka dengan kasih-sayang-Nya, Tuhan ‘menuliskan
alamat-alamant-Nya’ di bumi yang bisa dan mudah kita capai. Demikian, maka
orangtua kita, kaum miskin, anak yatim, mereka yang tertindas adalah
orang-orang yang pantas kita yakini menjadi “alamat-alamat” Tuhan.
(Kita juga percaya
tentang adanya percakapan antara seorang penghuni neraka yang bertanya.
“Ya Tuhan, mengapa aku Engkau masukkan ke dalam neraka ini?” dan Tuhan
menjawab, “Karena kamu tidak menjenguk ketika Aku sakit.” Si penghuni neraka
bertanya lagi, “Bagaimana Engkau Yang Mahakuasa sakit?” Tuhan menjawab,
“Tetanggamu yang sakit, dan kau tidak menjenguknya.”)
Istilah ‘tetangga
yang sakit” tentu bisa ditafsir secara lebih luas menjadi orang-orang di
sekeliling kita yang menderita, baik secara badani, batini, maupun sosial.
Mereka bisa berwujud sebagai kaum gelandangan, anak-anak yang tak sempat
bersekolah, mereka yang dihukum secara zalim dan sebagainya.
Dan sastra yang
bertanggung jawab kepada keadaban punya kewajiban membela mereka. Tentu sesuai
dengan kodratnya, pembelaan yang yang bisa dilakukan oleh sastra terhadap “Aku
yang sakit” yakni kaum miskin, mereka yang tertindas, dan sebagainya, adalah
pembelaan yang bersifat moral-sastrawi. Demikian, karena sastra tidak punya
kekuatan apapun kecuali sesuatu yang diharapkan bisa menyentuh kesadaran dan
jwa manusia.
Hadirin yang
mulia..
Karya sastra hanya
bisa dilahirkan oleh mereka yang lebih dulu telah cukup membaca. Dan tentu
bukan suatu kebetulan bila membaca merupakan perintah pertama Tuhan dalam kitab
suci kita: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan …”.
Sasaran apakah
kiranya yang diperintahkan Tuhan untuk dibaca oleh manusia?
Tentu bukan hanya
kitab melainkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi yang semuanya
adalah milik Tuhan semata. Orang Minang bilang, alam takambang jadi guru, orang
Jawa bilang, meguru maca sastra kang gumelar. Kedua ungkapan itu mempunyai
maksud yang sama, bahwa manusia diperintahkan membaca seluruh ciptaan Tuhan
yang ada di langit dan di bumi. Karena, tidak ada kesia-siaan dalam penciptaan
setiap makhluk; semuanya hadir membawa bukti-bukti kebesarannya.
Bila manusia
membaca dengan nama Tuhan terhadap sasaran yang baik maupun sasaran buruk, dia
akan mendapat berkah ilmu dan kearifan. Membaca sejarah atau perilaku orang baik
akan didapat pengetahuan dan kesadaran untuk menirunya.
Sebaliknya, membaca
dengan nama Tuhan perilaku orang-orang yang mungkar maka akan dapat pengetahuan
dan kesadaran untuk tidak menolaknya. Bahkan pembacaan yang ikhlas atas
benda-benda yang kotor pun kita akan sampai kepada tanda-tanda kebesaran Tuhan.
Misalnya, di bawah
lensa mikroskop kita akan melihat kehidupan mahluk ciptaan Tuhan yang berwujud
jutaan bakteria dalam secuil tinja manusia.
Hadirin yang
terhormat…
Dalam pengalaman
pribadi sebagai sastrawan, saya pernah menghadapi kondisi batin yang berat,
yakni ketika hendak menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk pada tahun 1980.
Novel tersebut
menceritakan kehidupan seorang ronggeng yang dituduh terlibat dalam pemberontakan
PKI tahun 1965. Dua kata kunci “ronggeng” dan “PKI” adalah dua hal yang
sering dianggap berada di luar batas wilayah kesantrian dari mana saya berasal.
Selain itu, hal-hal yang berbau PKI adalah isu yang amat sensitif pada era
Suharto terutama di mata aparat keamanan.
Maka ketika novel
ini selesai terbit pada tahun 1984, sebagian masyarakat menanggapinya dengan
bertanya bernada menggugat, mengapa sasaran yang saya pilih adalah dunia
ronggeng, yang terlibat PKI pula? Ya, semua orang tahu ronggeng adalah
perempuan penari kesenian radisi yang mengobral birahi. Maka pantas para santri
dicegah untuk menjauhinya.
Tetapi pada sisi
lain, sejak saya masih ingusan dan ikut tahlilan selalu dibacakan ayat,
“Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi..”.
Maka saya pun
berpikir dan percaya perwujudan ronggeng pun merupakan gejala yang harus
dibaca (dengan nama Allah); dari mana, bagaimana, mengapa. Dengan demikian kita
bisa menyikapinya dengan pengetahuan cukup.
Hadirin yang saya
muliakan…
Mulai tahun 1960
PKI mulai membangun kekuatan fisik untuk melakukan makar. Di daerah saya,
Banyumas, mereka membentuk kekuatan bersenjata di bawah tanah. Pasukan ini
sering melakukan perampokan untuk merampas harta sekaligus menciptakan
kerawanan sosial. Kurang ajarnya mereka mengaku sebagai pasukan DI/TII ketika
melakukan penggarongan dan pembunuhan. Kami baru tahu siapa mereka sebenarnya
setelah mereka tertangkap. Di antara pasukan yang mengaku DI/TII itu ada guru
saya yang menjadi aktivis PKI.
Dalam dunia sastra,
saya membaca karya-karya penulis kiri di Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat
serta buletin Indonesia Baru. Mereka suka sekali menista para tokoh agama;
terutama kiai dan haji. Keluarga kami sendiri dinistakan oleh Barisan Tani
Indonesia (di bawah PKI) sebagai tuan tanah dan setan desa yang harus diganyang
hanya karena kami memiliki 1,5 hektar sawah. Maka tak kurang-kurang rasa sakit
saya karena ulah orang-orang komunis.
Maka saya senang
ketika PKI ternyata kalah dalam kudeta tahun 1965.
Tetapi kemudian
saya melihat gejala yang luar biasa. Rumah mereka dibakar massa. Bahkan mereka
ditembak mati di depan umum, di depan mata saya. Di seluruh Indonesia ratusan
ribu dibunuh. Keluarga mereka dilucuti hak-hak sipilnya hingga tiga atau empat
generasi. Ini gejala kemanusiaan yang dahsyat, dan muncul pertanyaan dalam jiwa
saya; apakah kekejaman massif ini tidak melanggar keadaban? Dan, bagaimana saya
harus memahami sabda Tuhan bahwa Dirinya adalah Zat Yang Maha Pengampun dan
Maha Penyayang?
Demikian, maka
dalam novel RDP terasa ada empati saya terhadap mereka, terutama terhadap
orang-orang biasa yang dibunuh karena dituduh terlibat PKI. Dalam keyakinan
saya, empati ini adalah pembelaan terhadap keadaban yang menjadi amanat Tuhan.
Sayangnya, pihak aparat keamanan memandang sikap saya ini sebagai bukti
kedekatan saya dengan kaum Komunis sehingga saya diinterograsi selama lima hari
di Jakarta. Lima hari yang berat. Untung pada hari kelima ada interogrator yang
bertanya kepada saya, “Adakah orang yang bisa menjamin bahwa saya bukan
simpatisan Komunis?”
Pertanyaan tersebut
terasa indah di telinga saya. Maka kemudian saya menulis sebuah nama dengan
nomor teleponnya. Saya menyilakan para interogrator menghubungi si empunya.
Nama yang saya tulis: Abdurrahman Wahid.
Mereka ternyata
membeku saja, dan saya boleh pulang.
Hadirin yang saya
hormati…
Saya mengakhiri
pidato ini dengan permohonan ampunan kepada Tuhan atas segala kesalahan saya,
serta permohonan maaf kepada para hadirin atas segala kelancangan saya.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jakarta, 28 Maret
2014,
Keterangan: Ahmad Tohari menyampaikan naskah di atas dalam acara pidato
kebudayaan yang diselenggarakan oleh NU Online, web site resmi PBNU, tanggal 28
Maret 2014
Sumber: Alif.Id
0 komentar:
Posting Komentar