Kompas.com - 19/09/2017,
07:05 WIB | Mulia Nasution* | Editor: Amir Sodikin
Dokumentasi pementasan Sampek Engtay dari Teater Koma di Societet
Yogyakarta tahun 2004 oleh Giras Basuwondo dan tim. Produksi Teater Koma ini
mendapat rekor MURI karena dipanggungkan 80 kali (dalam kurun waktu 1988-2004)
dengan memakai 7 pemain dan 4 pemusik yang sama. (Bidik layar Youtube/Teater
Koma)
KECERAHAN warna-warni kostum aktor maupun aktris panggung
teater berubah muram. Wajah kecewa, perasaan hampa, dan jiwa pemberontakan
dahsyat, bergelora pada orang-orang yang bersiap “orgasme” di panggung
pertunjukan.
Tapi…, sebuah keputusan ditentukan oleh instansi
pemerintah dan aparat keamanan justru usai pentas gladi resik. Tentara dan
polisi berpakaian preman berjaga-jaga di sekeling Tiara Convention Centre
(TCC), Medan.
Wajah kecewa bukan
hanya milik aktor, aktris, sutradara, art director, penata cahaya. Tapi juga
penonton yang membeli tiket, dan ingin mendapat pencerahan (enlightenment) dari
lakon Sampek Engtay oleh Teater Koma.
Sebagai jurnalis, yang juga bergiat melakoni teater dan aktivitas
sastra, pelarangan pada 20 Mei 1989 itu membuat hampa dan dada terasa sesak.
Esok pagi, pelarangan pentas ini terpajang sebagai headline.
Melalui ‘kaki-tangannya’ di militer, Orde Baru sedang
merapikan masa-masa kejayaannya, dan hanya segelintir tokoh yang berani
“melawan” secara terbuka. Baca juga: Teater Koma Lakonkan "Sampek
Engtay" pada Pementasan ke-101 Di antara orang-orang kecewa dan “melawan”
penguasa melalui pentas teater, terdapat Nano Riantiarno. Ia tertegun dalam
kebisuan.
Riantiarno seperti menyimpan kemarahan dahsyat di
dadanya. Ia paham betapa ini wujud kezaliman penguasa masa itu. Tapi apa mau
dikata, ibarat pepatah ‘nasi sudah jadi bubur’. Semua risiko harus dihadapi,
apalagi bila hanya perasaan kecewa. Risiko yang menyebalkan, termasuk harus
berurusan dengan aparat keamanan setempat.
Sesungguhnya, di balik kekecewaan aktor Teater Koma
maupun penonton, ada sosok yang paling kecewa, dirugikan secara bisnis, bahkan
entrepreunership-nya “dibunuh” secara paksa oleh sebuah rezim yang ‘emoh’
dibantah—sekalipun ini hanya tontonan panggung. Sosok bertubuh bongsor, cermat
dalam ide bisnis maupun promosi kesenian yang ia cintai. Sebagai maecenas, ia
memahami ‘uang hanya sebagai alat tukar’, namun ia ‘berkelas’ secara pemikiran
maupun performance sehari-hari.
Meski kalkulator telah menghitung angka-angka kerugian
finansial, ia berupaya cooling down, tawadu, dan memahami kekecewaan motor
komunitas Teater Koma maupun penonton setianya di Pulau Sumatera.
Saat itu, Medan adalah kota terbesar ketiga di Indonesia.
Sedangkan tempat pentas adalah hotel termegah di Pulau Sumatera, pulau kedua
terbesar di Tanah Air.
Tak ada guna bersitegang urat leher dengan sejumlah
aparat di sekitar panggung sebab mereka bukanlah pembuat keputusan agar pentas
bisa berlangsung. Di tengah isak tangis yang tertahan, handy talky aparat
bersiliweran, memekik di balik semua perasaan kecewa orang-orang yang hadir.
”Laporan Komandan, semua tugas sudah kami rapikan. Sampek
Engtay tidak jadi pentas, rekomendasi dari Kanwil Depdikbud dibatalkan. Kami
juga sudah berbicara dengan promotor pentas Ali Djauhari, dan ia dapat memahami
keputusan Komandan mencabut izin,” terdengar sayup-sayup suara seseorang
berbicara setelah “roger”….”roger”. Ia mungkin berbicara dengan staf senior
intelejen di Kodam Bukit Barisan, atau mungkin dengan dengan Kadit Intelkam
Polda Sumatera Utara.
Bagi saya itu tidak penting, sebab perasaan kecewa yang
dilalui Teater Koma, penonton, Ali Djauhari selaku maecenas, adalah juga
kekecewaan saya juga terhadap rezim demagog ini. Jauh sebelum kegagalan pentas
Teater Koma, AJP (Ali Djauhari Production) lebih awal menghadirkan Arifin C
Noer dalam dramatic reading di TCC. Penyair WS Rendra pun pernah membaca puisi
di hotel tersebut atas sponsor AJP.
Karya lain yaitu Teater Kartupat menampilkan Perempuan
Perkasa dan Nomensen Koor Mesiah. Bahkan AJP pula yang ikut membantu Iwan
Fals keliling pulau Sumatera, “membumikan” lagu-lagu balada dahsyat bernada
protes terhadap kekuasan yang jumawa. Lagu Iwan Fals seperti Bento yang legendaris
pasti membuat ‘kuping panas’ orang-orang di lingkar satu kekuasaan.
Kantong kesenian Masa itu, tahun 1980-an, pergerakan
aktivitas kantong-kantong kesenian di Medan berbuah seperti kebun sawit tumbuh
secara subur di Tanah Sumatera. TBM atau Taman Budaya Medan (kini Taman Budaya
Sumatera Utara), selalu ramai oleh kelompok-kelompok teater seperti Teater
Nasional, Teater Imago, Teater Que, Teater D’lick, Teater Merdeka. Masih ada
kantong kesenian lain yaitu Teater Propesi, Teater Kartupat, Teater Nuansa,
serta di daerah seperti Lubuk Pakam, Kisaran, Tanjung Balai, Padang Sidempuan.
Di luar TBM, ada pusat kesenian Tapian Daya.
Di Bidang lukisan ada Simpassri (simpaian seniman
senirupa Indonesia) yang punya gedung pameran dan workshop di tengah kota. Dinamika
kesenian kota ini menggeliat melalui upaya masing-masing, tidak terlalu
mengandalkan project pemerintah. Keterpanggilan sebagai pelakon aktivitas
kesenian jauh lebih berharga dibanding kesudian ‘berselingkuh’ dengan oknum
birokrasi. Urun rembug dari kantong pribadi, atau bantuan donatur, simpatisan,
relasi, jauh lebih berharga ketimbang ‘menghamba’ kepada juragan di
kantor-kantor megah, apalagi kepada Wali Kota maupun Gubernur.
Salah satu aksi panggung Teater Rengget di Taman Budaya Medan, Sumatera
Utara, Kamis (29/10/2015).(KOMPAS.COM/TIGOR MUNTHE)
Kawan-kawan di sini tidak berhitung soal pengorbanan demi
memenuhi hasrat berkesenian. Bagi sebagian besar mereka, seni bukan tempat
menafkahi diri dan keluarga, namun suatu wujud ekspresi kemanusiaan, peradaban,
sentuhan artistik, dan ekstase dari kejumawaan penguasa.
Perlawanan itu juga dengan bermacam cara, termasuk
mendatangkan penyair-dramawan W.S. Rendra untuk baca puisi di TBM, dan berujung
dengan pemutusan aliran listrik TBM. Ujungnya sudah dapat ditebak, penanggung
jawab acara harus berhadapan dengan aparat keamanan.
Suburnya aktivitas kesenian seperti teater, musik,seni
tari, kesusastraan, seni rupa, berpayung di dua tempat, yaitu TBM dan Tapian
Daya.
Sedangkan perfilman di Sunggal, nyaris “mati suri”.
Perangkai semua aktivitas kesenian, tiada lain surat kabar dan majalah yang
terbit di Medan—pada masa itu Medan merupakan penerbit surat kabar paling
banyak di Tanah Air, setelah Jakarta. Surat kabar Waspada punya rubrik tetap
"Cerita Bersambung" (novel), rubrik budaya setiap Rabu dan diasuh
oleh jurnalis-sastrawan As Atmadi, serta rubrik puisi "Abrakadabra"
pada edisi Minggu, dan juga ruang "Cerita Pendek" ala remaja.
Harian Analisa punya rubrik budaya "Rebana"
yang diasuh jurnalis Dalika Tadaus, SK Mimbar Umum juga punya rubrik budaya
setiap Minggu dan diasuh oleh sastrawan-jurnalis AA Bungga. Aktivitas budaya
harian Sinar Indonesia Baru (SIB) dimotori oleh jurnalis-pengarang Bambang Eka
Wijaya. Harian Bukit Barisan juga punya motornya yaitu A Rahim Qahhar.
Gairah menulis kreatif di Medan benar-benar subur, menampung
karya anak-anak muda bukan hanya Medan, tapi juga dari provinsi dan kota lain
seperti Aceh, Riau, Palembang, bahkan Jakarta. Secara istimewa di bidang puisi,
"Abrakadabra" adalah tonggak penting lahirnya sejumlah penulis puisi.
Dukungan keluarga Mohammad Said dan Ani Idrus sebagai pemilik Waspada Group,
besar kontribusinya bagi literasi media, dan kesusastraan, khususnya puisi.
"Abrakadabra" yang dibidani oleh jurnalis-sastrawan Izharry Agusjay
Moenzir, tak pernah absen tiga dekade. As Atmadi dan Sugeng Satya Dharma adalah
pengasuh penerusnya.
Kontribusi Waspada dan surat kabar lain juga dalam
penerbitan novel, komik, ilustrasi sketsa sosial. Semangat literasi media dan
kesusatraan terbentang dengan adanya kantong-kontong aktivitas kesenian, dan
literasi media melalui penerbitan surat kabar. Majalah Dunia Wanita, tercatat
sebagai salah satu majalah tertua di Tanah Air masa itu, diasuh secara estafet
oleh As Atmadi, Eddi Elison dan Izharry Agusjaya Monzier sebagai Managing
Editor—menerbitkan suplemen tebal dua antologi puisi "Abrakadabra"
yaitu Duri, dan Perempuan-perempuan.
Dalam sebulan Taman Budaya Medan pasti melakukan
aktivitas diskusi sastra, penampilan tari maupun pentas teater. Benang merah
pertumbuhan kesenian di Medan sebagai ‘kiblat’ aktivitas seni provinsi tetangga
dan kota-kota satelit sekitarnya, sukar untuk diabaikan.
Pada masa itu, kunci kontribusi kesenian maupun
kesusasteraan tak terlepas dari sejumlah aktivisnya yang juga berprofesi
sebagai jurnalis. Mata rantai ini tumbuh hingga ke akar paling jauh, membuka
semangat literasi media, kesusastraan, wawasan kebangsaan, dan keterbukaan
cakrawala pemikiran. Lopo atau warung-warung kopi yang tumbuh di pinggir jalan,
desa-desa kecil di kecamatan, lazim menyediakan surat kabar sebagai ‘menu’ pelengkap,
menyelingi perbincangan topik hangat pengunjung atau masyarakat
marjinal—tradisi folklor yang tumbuh jauh sebelum kemerdekaan Republik
Indonesia.
Jeritan kesusahan rakyat melalui puisi, intrik politik
kekuasaan, keterbungkaman suara kebenaran, dibahas sahut-menyahut di lopo,
kedai, kantong-kantong kesenian maupun rubrik budaya surat kabar.
Tradisi kecerdasan masyarakat terasah secara natural,
melalui wacana intelektual media cetak maupun melalui kantong-kantong aktivitas
kesenian. Forum kecerdasan Satu kota yang sangat penting di dalam pertumbuhan
literasi media, termasuk aktivitas kesenian, kesusastraan, tradisi lisan maupun
seni modern pada tahun 1980-an, tiada lain kota Padang di Sumatera Barat.
Sebagai pusat penggodokan wacana intelektualitas hadir SK Haluan yang juga
punya rubrik budaya reguler, harian Singgalang, dan koran Semangat. Sejumlah
pengasuh rubrik budaya dan tulang-punggung media tersebut adalah
jurnalis-sastrawan.
Rubrik "RMI" (Remaja Minggu Ini) dan budaya
tiap Selasa, diasuh oleh jurnalis-sastrawan Rusli Marzuki Saria. AA Navis,
Chairul Harun, Hamid Jabbar, M Joesfik Helmy, Indra Nara Persada, dan Hasril
Chaniago, adalah sosok yang bukan sekadar jurnalis ‘tukang’, tapi mereka adalah
handcraftman atau perajin setia—membingkai tanah menjadi tembikar, besi menjadi
pedang samurai, batu cincin jadi permata. Di harian Semangat ada sosok Hotman
Pardede, seorang pelukis cerita bergambar dan ilustrator yang sangat popular
masa itu bagi pembacanya . Sebagai pusat kesenian modern maupun kesenian
tradisi, pertarungan gagasan budaya, wacana intelektual, TBP atau Taman Budaya
Padang (kini Taman Budaya Sumatera Barat) adalah tonggak penting bagi panggung
maupun atribut kesenian di sini.
Deretan pohon kelapa menaungi rumah Gadang di Baso, Agam, Sumatera
Barat, Rabu (10/7). Kelapa menjadi kebutuhan utama dalam berbagai masakan khas
Minangkabau yang rata-rata menggunakan santan.(KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)
Tak pernah lepas dari ingatan saya, dalam setiap bulan
terangkai aktivitas diskusi membahas karya sastra, wacana intelektual maupun
wawasan kesenian dalam konteks kebangsaan. Sedikitnya dua kali dalam sebulan,
diskusi berlangsung di panggung teater, di sanggar tari maupun ruang pamer seni
rupa. Tonggak penting teater modern di sini, di antaranya Bumi Teater yang
diasuh oleh Wisran Hadi.
Anggota Bumi yang memilih mendirikan grup baru seperti
Teater Dayung-dayung, Sanggar Bojo (teater – musik – sastra), Teater Semut,
Sanggar Pasamaian, Teater Muka, dan lainnya. Tiga pementasan Sanggar Bojo
seperti Oidipus Sang Raja, Antogone (karya Sopochles yang tersadur oleh WS
Rendra), dan Dukun Palsu karya Moliere, memberi kontrubusi bagi kesenian di
Sumatera Barat. Usai pementasan dibedah dalam forum diskusi terbuka.
Masyarakat Minang yang memiliki tradisi oral maupun
wacana intelektual yang kental, hampir selalu mewarnai diskusi, debat gagasan
maupun semangat berbagi, secara kolegial. Di lain sisi, Eri Mefri dengan Nan
Jombang Dance Company juga tengah merintis aktivitas tari di TBP.
Lomba deklamasi selalu ramai peminat, ajang latih olah
vokal dan gesture para deklamator. Nama-nama seperti Asbon Budinan Haza, Oce
82,Muhamad Ibrahim Ilyas, Armen Suhasril, Ilhamdi ‘Boy’ Sulaiman, Junaidi
Usman, Aidil Usman adalah segelintir deklamator yang sangat kuat
performance-nya. Sebagai pengayom aktivitas kesenian di Padang masa itu, tidak
bisa diabaikan peran Dr Mursal Esten sebagai Kepala TBP.
Mursal bukan hanya birokrat, dosen, dan kritikus sastra
terkemuka masa itu. Ia juga tokoh yang sangat menghargai pertumbuhan wacana
intelektualitas melalui debat, diskusi, dan memang tradisi diskusi sangat
‘fasih’ masa itu di TBP atau kadai Om Fahmi. Mursal memberi kesempatan beberapa
grup kesenian seperti Teater Dayung-Dayung, Sanggar Bojo, Teater Semut, Teater
Muka, Sanggar Pasamaian, dapat membuat sanggar di TBP, dan sekaligus berfungsi
sebagai ‘rumah’ yang sesungguhnya bagi seniman modern.
Generasi setelah Mursal, peran Mustafa Ibrahim juga patut
dicatat sejarah dalam memupuk bakat mengarang, berkesenian, melahirkan semangat
egaliteraian maupun wacana intelektualitas.
Kehadiran sastrawan Leon Agusta, memompa semangat
intelektualitas melalui Kemah Sastra yang beberapa kali diadakan. Leon yang
sering hadir di Padang dari Jakarta, selalu men-challage anak-anak muda
berkiprah, membuka wawasan literasi dunia, dan kecanggihan kreativitas.
Leon Agusta salah satu penanda tangan Manifes Kebudayaan
(1964) pernah menjalani hukuman penjara tujuh bulan di Tanah Merah, Pekan baru,
tahun 1970.
Peristiwa Malari (1974) membuat ia sempat ditahan di
Padang. Setelah mengikuti Internasional Writing Program di Iowa City, Leon
Agusta mengembara di sejumlah negara di Asia, Amerika, dan Eropa.
Pengalaman pengembaraan ini, ia tularkan melalui diskusi
yang intensif. Namun di ujung usia, kehidupan Leon tak sebesar nama maupun
karyanya. AA Navis juga memberi kontribusi yang kental bagi pengarang berusia
belia. Navis dengan kredo sinikalnya seperti “Bodoh se alun, baa lo ko jadi
pintar”, atau “belum sadar juga sebenarnya bodoh, bagaimana pula mau jadi orang
cerdas”, membuat kuping sebagian orang merah.
Tapi, itulah keterus-terangan ‘Urang Minang’ di dalam
membangun semangat literasi media, kesenian maupun kesusastraan di tengah
masyarakat. Di lain sisi prakarsa Indra Nara Persada dan mendapat dukungan
Chairul Harun sebagai petinggi harian Singgalang, melahirkan penulis muda usia
dan menjadikan Singgalang sebagai kawah candradimuka.
Bahkan beberapa kali pertemuan dan diskusi penulis belia
di kantor Singgalang di Jalan Veteran Padang, selalu menularkan semangat dan
kebebasan berkarya. Tangan dingin Indra Nara Persada, memberi ruang kreatif
yang luas, transparan, dan bebas patron dalam menampung karya sastra para
pemula. Indra yang juga anggota Bumi Teater, bukanlah pengasuh rubrik sastra
yang butuh pengikut setia sehingga harus selalu patuh pada ego maupun kemauan
dirinya selaku penjaga gawang rubrik.
Maecenas Kembali kepada sosok bertubuh bongsor dan
performance-nya berkelas. Walau entrepreunership-nya “ditebas” oleh rezim
penguasa masa itu, ia tetap setia mengalirkan kontribusi sosial terhadap
kesenian dan kesusasteraan di Tanah Air. Saat sejumlah kawan menggerakkan
semangat literasi melalui KaSuha (Kampanye Seni dan Humaniora untuk Aceh) tahun
1999, Ali Djauhari hadir sebagai penyandang dana agar dapat mewujudkan
cita-cita ekspresi karya seperti penerbitan buku atau antologi puisi. Tak perlu
berlembar-lembar proposal seperti diminta birokrasi saat sastrawan mau meminta
kontribusi dana pemerintah, Ali Djauhari bersama keikhlasannya, memberikan
kontribusi konkrit.
Aksi aktris dan aktor Teater Koma saat bermain dalam teater berjudul
Inspektur Jendral di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis (6/11/2015). Pementasan
yang diberi sentuhan pewayangan ini disadur dari naskah klasik Rusia berjudul
Revizor karya Nikolai Gogol. (KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES)
Kebetulan di tahun 1999 hingga 2002 di awal reformasi
dengan tumbangnya Soeharto, di kantornya di kawasan Senayan, Jakarta Pusat,
selalu ramai tokoh sekadar berbual perkembangan politik mutakhir Tanah Air yang
terancam oleng.
Sejumlah aktivis seperti Hariman Siregar, Gurmilang
Kartasasmita, Mayasyak Johan, Beathor Suryadi, atau akedemisi seperti Dr Kastorius
Sinaga, Dr Fajri Alihar, pelukis Lian Sahar dari Yogya, Wisran Hadi dari
Padang, dan Leon Agusta, sering hadir di kantornya sekadar berbual kesenian,
membahas politik mutakhir sambil menikmati cerutu Havana di senja yang temaram.
Sumbangsih Ali Djauhatri saat Fikar W Eda dan kawan-kawan menggagas KaSuha
maupun buku antologi budaya Aceh Mendesah Sampai Jauh, sangat konkrit.
Kampanye KaSuha pasca-DOM (Daerah Operasi Militer) Aceh,
memberi penyadaran masyarakat bahaya militerisasi di tengah peradaban manusia
maupun bangsa-bangsa dunia. Presiden Abdurrahman Wahid memberi apresiasi
terhadap aktivitas KaSuha maupun sang maecenas Ali Djauhari. Pentas KaSuha di
TIM atau Taman Ismail Marzuki pada April tahun 2000, sedianya dihadiri oleh
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Namun problem politik terjadi di Istana dan berakhir
dengan melengserkan dua orang menteri, sehingga Gus Dur batal hadir secara
mendadak. Sebagai penebus rasa bersalah Gur Dur, ia mengundang aktivis budaya
untuk melangsungkan performance di kediaman pribadi Gus Dur di Ciganjur,
Jakarta Selatan.
Saat saya salah satu pengasuh program semi-dokumenter Nol
Kilometer—perpaduan baca puisi (di antaranya Taufiq Ismail, Leon Agusta,
Sanggar Matahari) dengan feature—dirangkai secara apik oleh host Ade Novit. Nol
Kilometer tayang dua kali sepekan selama 6 bulan di prime time dan tanpa jeda
iklan komersial. Beberapa topik Nol Kilometer secara kultural dirangkai dalam
bingkai semangat otonomi daerah, pluralisme budaya, lintas wilayah. Pemimpin
redaksi Seputar Indonesia masa itu Djafar H Assegaff dan wakilnya Andi F Noya,
memberi andil bagi penyadaran masyarakat agar ancaman disintegrasi dapat
terusir.
Itu sumbangsih dan wacana intelektual RCTI—yang tak boleh
dilupakan sejarah Indonesia modern pasca-reformasi. Meski RCTI dimiliki oleh
anak Pak Harto, perdebatan seru di newsroom tidak pernah dimonopoili oleh
seorang pemimpin redaksi, apalagi oleh pemilik perusahaan. Selalu ada siasat
cerdik awak redaksi di dalam menyiasati pesanan berita para ‘dewa’ atau pemilik
holding company yang menaungi RCTI masa itu. Saat saya mendapat penugasan
newsroom RCTI membuat semi-dokumenter mengenai penyebaran Islam melalui
saudagar Minangkabau di Singkil, Aceh—Ali Djauhari yang putra Singkil secara
halus malah menolak bicara.
Ia mengusulkan Dr
Fajri Alihar sebagai narasumber. Fajri Alihar sebagai peneliti demografi di
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) memang putra Singkil, mencatat peran
ulama Abdurrauf Singkil atau Syekh Abdur Rauf as-Singkili sebagai ulama besar
dan mufti pada Kerajaan Aceh di abad 17. Meski Ali Djauhari kini fokus pada
perdagangan di negara-negara Timur Tengah, ia tetap seorang maecenas yang
secara intelektual melewati batas usianya. Saat Kepala Anjungan Sumatera Utara
di TMII, Tatan Daniel, dan etnomusikolog Rizaldi Siagian MA, menggagas
kebangkitan Ronggeng Melayu— kesenian tradisi yang dulu hadir di Sungai Deli
dan telah punah oleh pembangunan ekonomi, Ali hadir sebagai salah satu
penyokong dana.
Rizaldi Siagian adalah konseptor dan sutradara Megalikum
Quantum saat ulang tahun Kompas ke-45 tahun 2005, sedangkan Tatan
Daniel—birokrat yang sebenarnya seniman—dapat menghidupkan anjungan bersama
beragam aktivitas seni. Alhasil kebangkitan semangat literasi media maupun
berkesenian ini ditoreh pula oleh Tena atau Teater Nasional.
Melalui pentas monolog Prita Istri Kita karya Arifin C
Noer di TIM, Sabtu (16/9). Tena adalah kelompok teater tua yang berdiri tahun
1963. Di antara pendirinya, Burhan Piliang, aktor dan sekaligus sutradara
teater. Burhan yang pernah menjadi fotografer majalah Tempo dan majalah
Prospek, meninggal dunia dalam insiden kecelakaan helikopter saat ia melakukan
pemotretan bagi keperluan pemetaan wilayah. Pernyataan Sori Siregar, pendiri
Tena yang masih hidup, layak disimak. Pendiri Tena tidak ingin banyak dikenal,
apalagi mengungkap jati dirinya. Cukup hanya nama dan karya mereka yang
diketahui.
Di antara pendukung utama Tena adalah komikus Taguan
Hardjo—yang merelakan rumahnya sebagai tempat awal berkiprah.
Hamsad Rangkuti terbaring lemah dan dirawat oleh istrinya, Nur
Windasari, di rumahnya di Jalan Swadaya VIII, Beji, Depok, Jumat (8/9/2017). Hamsad
yang kini berusia 74 tahun itu mengalami berbagai penyakit yang
kompleks.(Kompas.com/Alsadad Rudi)
Dari sekelumit pengalaman subyektif ini, saya menyadari
kesenian dapat tumbuh dari semangat kreatif dan bersemat egalitarian di dalam
komunitasnya. Lebih tumbuh subur bila sosok yang punya kepedulian besar seperti
maecenas Ali Djauhari, atau tokoh-tokoh yang melakukan pengasahan kepada publik
seperti As Atmadi, Dalika Tadaus, Burhan Piliang di Medan, dan Mursal Esten,
serta Wisran Hadi di Padang pada masanya.
Di Yogya suatu masa pernah ada Umbu Landu Paranggi
melalui mingguan Pelopor Yogya. Orang-orang ini berada di panggung, namun
panggung yang sunyi. Bukan orang yang ingin pribadi mereka menonjol, tapi
karyanya yang berbicara kepada khalayak. Jauh dari atribusi maupun publisitas
ala infotainment. Melalui monolog Prita Istri Kita, Tena juga bertekad
‘membangkit batang tarandam’. Sebuah kerja yang tak sederhana, apalagi ringan.
Bukan materialisme yang jadi ujung tombak semangatnya, melainkan ekspresi human
being, jiwa-jiwa berkarya, dan lelah memeloti dunia politik Tanah Air dipenuhi
semangat partisan, oportunis, dan para demagog.
Lelah menonton politisi super kaya tapi diperbudak
kekuasaan, pengusaha yang berbisnis dalam koridor unfairness, dan orang-orang
jumawa yang berbangga menyemai hawa nafsu rendah. Saya selalu ingat kata-kata
Ali Jauhari, ”Uang bagi saya hanya sekadar alat tukar….”.
Sebuah kesadaran ruang, dan waktu. Di masa kini,dan
masa datang, Republik yang sangat luas ini butuh banyak penggerak literasi
media—yang tulus bekerja, maecenas yang tak hanya bersiasat dapat untung besar
dan popularitas, dan orang-orang yang merindukan panggung sesungguhnya meski
tempat terhormat bagi mereka hanya ‘panggung yang sunyi’. Semestinya petinggi
negara ini punya rasa malu dan menghargai sumbangsih Hamsad Rangkuti bagi
literasi kesusastraan Tanah Air. Hamsad yang kini terbaring sakit di tengah
kekurangan biaya berobat, negara seharusnya hadir sebagai induk semang yang
sesungguhya bagi para pengabdi kebudayaan.
Saya punya pengalaman tragis saat mengunjungi Leon Agusta
terbaring sakit di RS Cikini tahun 2013, ia kesepian dan ‘papa’ dari
segala-galanya, sampai ajal menjemput di kota Padang beberapa tahun kemudian.
Pembangunan kebangsaan bukan hanya infrastruktur fisik,
tapi juga infrastruktur kebudayaan yang konkrit beserta amunisinya. Tak sedikit
anak-anak muda bertalenta, akhirnya memilih jalan sunyi dengan meninggalkan
Tanah Air, sebab negara lain lebih menghargai talenta maupun karya mereka.
Pekik Presiden Joko Widodo, "Saya Indonesia, Saya Pancasila” hanya jargon
usang bila tidak mendapat ruang implementasi nyata.
Bukankah revolusi mental yang sesungguhnya harus ada pada
petinggi negeri, aparat birokrasi, aparat keamanan, aparat militer, penegak
hukum, dan seluruh jajaran mereka. Bukan pada rakyat yang lelah melihat
keculasan politisi, oknum birokrasi maupun orang-orang super kaya memamerkan
kecongkakan harta di tengah sebagian besar masyarakat kita yang masih miskin
dalam arti sesungguhnya.
Literasi media dan literasi kesusastraan, dibutuhkan agar
semua ini bukan hanya cita-cita dan retorika belaka. Kehadiran maecenas
setidaknya dapat menghibur dahaga kita di tengah padang sabana yang luas ini.
---
Mulia
Nasution, Jurnalis yang pernah bekerja untuk The Jakarta
Post, RCTI, TransTV. Pernah bergiat menulis puisi, cerita pendek, novel, opini,
dan praktisi public relations . Kini menekuni problem solving
and creative marketing. Ia mudah dijangkau
email mulianasution7@gmail.com.