oleh Fandy Hutari | 23 September 2016
Karya kesenian di
tanah air kerap menuai benturan dengan “polisi moral”.
Sehari-harinya,
bisa kita lihat bagaimana layar televisi maupun layar lebar harus terkena
sensor—mulai dari payudara patung, bikini tokoh tupai di kartun Spongebob, dan
sebagainya. Tampak jelas,ada tekanan yang kuat ihwal apa yang boleh dan tidak
boleh ditampilkan.
Menariknya, itu
bukan menjadi suatu hal yang baru. Kesenian ludruk, yang telah ada dari
zaman baheula, adalah bukti nyata tarik-ulur antara kesenian
dan moralitas menurut agama. Bentuk pertunjukan ludruk, yang berisikan pemain
waria, tidak muncul begitu saja. Ada perjalanan menarik yang sesungguhnya
relevan dengan masa sekarang.
Ludruk sendiri
merupakan seni pertunjukan tradisional yang lahir dan berkembang di daerah Jawa
Timur. Dialog atau monolog ludruk bersifat humor, dengan pilihan bahasa
yang ceplas-ceplos. Ciri khas yang kental pada pertunjukan
ludruk adalah unsur cerita dari kehidupan sehari-hari, biasanya dari kalangan
masyarakat kelas bawah.
Seperti penontonnya
yang kelas bawah, para anggota kelompok ludruk pun mayoritas dari kalangan
masyarakat kelas bawah. Antropolog asal Amerika Serikat yang meneliti ludruk
pada rentang 1962 hingga 1963, James L. Peacock, dalam Ritus
Modernisasi, menyebutkan bahwa ludruk dijalankan oleh kelas bawah yang
abangan. Clifford Geertz dalam Agama Jawa; Abangan, Santri,
Priyayi dalam Kebudayaan Jawa membagi golongan masyarakat di Jawa
Timur menjadi tiga, yakni santri, abangan, dan priyayi. Lantas, kapan
waria muncul di dalam pementasan ludruk?
Munculnya Waria
Waria dalam ludruk,
menurut Ganisa Putri Rumpoko dalam makalahnya Eksistensi Transgender
dalam Hiburan Masyarakat Pedesaan, muncul sebagai akibat peraturan
agama Islam—yang mengakar di pesantren-pesantren Jawa Timur—yang melarang
lelaki dan perempuan tak boleh ada sepanggung. Peraturan yang sifatnya tak
tertulis itu muncul ketika eksistensi ludruk mengemuka. Kultur pesantren di
Jawa Timur yang begitu kuat, ikut membawa pengaruh pada keberlangsungan ludruk.
Maka, setelah itu
ludruk diisi oleh pria yang berdandan layaknya perempuan, untuk menggantikan
peran perempuan asli. Namun, Ganisa tak menyebut secara pasti kapan tepatnya
hal itu terjadi.
Peacock—mengutip
makalah Ludruk dari Segi Sedjarah serta Perkembangannja karya
L. Poerbokoesoemo—menyebutkan bahwa pertunjukan-pertunjukan yang disebut ludruk
bandan dan ludruk lyrok ada sejak abad ke-13, tepatnya masa Kerajaan Majapahit.
Akan tetapi, Peacock baru menemukan data soal saksi mata pertama yang menonton
pertunjukan yang disebut ludruk itu pada 1822. Uniknya, dalam pertunjukan itu,
digambarkan dua orang yang membintangi panggung, yakni seorang pemain dagelan
dan seorang waria.
Jika dihubungkan
dengan penelitian Peacock itu, artinya waria dalam ludruk sudah ada sejak
ludruk masih berbentuk lyrok. Hal ini diperkuat dengan keterangan dari buku
karya Mukhsin Ahmadi berjudul Aspek Kesastraan dalam Seni Ludruk di
Jawa Timur.
Menurutnya, bentuk
ludruk lyrok muncul pada abad ke-16 hingga ke-17. Ludruk lyrok dipelopori oleh
Santik dari Jombang. Dalam pertunjukannya, Santik yang memakai ikat kepala,
telanjang dada, celana panjang hitam, mengenakan selendang, dan mencoret-coret
wajahnya itu menggunakan suara-suara dari mulutnya untuk iringan musik.
Setelah itu, muncul
bentuk ludruk besut di awal abad ke-20. Peacock kemudian menyebut, pemain
dagelan yang menari, bernyanyi, dan menceritakan dagelan bernama Besut.
Sedangkan penarinya adalah seorang waria. Tampaknya, menampilkan waria di
panggung ludruk terus dilanjutkan ke bentuk-bentuk ludruk selanjutnya.
Pada perkembangan
selanjutnya, menurut Peacock, pada 1920-an, ludruk besut mengalami elaborasi
beberapa kali. Dua pemain memainkan tiga peran sekaligus. Dalam cerita,
Besut memiliki seorang paman bernama Djamino, dan seorang istri bernama
Asmunah—yang dimainkan seorang waria. Lantas ada tokoh keempat, yakni Djuragan
Tjekep yang kaya di kampungnya dan merupakan saingan Besut. Setelah itu,
pertunjukan ini dikenal sebagai ludruk besep.
Dari pola
perkembangan bentuknya, ludruk semakin mendekati bentuk teater, seperti yang
kita saksikan sekarang. Dan, penampil waria kerap berubah peran di panggung.
Pada ludruk lyrok, waria memegang peran sebagai seorang pemain dagelan. Lalu,
di ludruk besut, waria menjadi seorang penari. Terakhir, waria berperan sebagai
salah seorang tokoh dalam cerita.
Perlu diketahui,
ludruk yang saat ini kita bisa tonton, pola umum pertunjukannya, yaitu tari
remo, dagelan, selingan, dan cerita. Total waktu dalam satu pementasan biasanya
empat setengah jam. Setiap kelompok ludruk, tampaknya punya aturan tersendiri
kapan waria dimunculkan. Ada yang memunculkannya saat selingan, untuk menari
dan mengidung. Namun, ada pula kelompok ludruk yang menempatkan waria beraksi
saat menari remo,dagelan, atau pemain.
Perkumpulan ludruk
Irama Budaya di Surabaya yang sudah eksis sejak 1987 misalnya. Mereka memiliki
jumlah personel 25 orang, terdiri dari 10 pria dan 15 waria. Para waria dalam
kelompok ini muncul hampir di setiap bagian, yakni tari remo, selingan,
dagelan, dan pemain.
Merusak atau
Menghibur?
Dibandingkan waria
yang menjadi pemain atau penari, peran pengidung waria ternyata menimbulkan
hasrat seksual penonton pria yang lebih besar. Peacock mengatakan, penonton
laki-laki bergairah terhadap para waria yang—dengan polesan pemerah
pipi—menunjukkan payudara besar dan bergerak-gerak, tubuh yang menggairahkan,
bokong yang menari-nari, suara yang halus, dan wajah yang cantik.
Setiap kali mereka
turun dari panggung, para penonton yang sudah bernafsu banyak yang berteriak, “Dancuk!”
sebagai ekspresi rasa bergairah yang sudah naik ke ubun-ubun. Siulan-siulan
nakal pun muncul kala para pengidung itu tampil.
Di kampung-kampung,
waria dianggap sebuah ancaman. Para istri takut suaminya tergoda waria ludruk.
Geertz mencatat, kaum homoseksual menarik para suami dari istri-istrinya.
Perilaku homoseksual juga sudah merupakan sebuah rahasia umum dalam lingkungan
ludruk.
Fakta adanya
praktik homoseksual dalam ludruk mempertegas argumen Kadir Hatib Abdul dalam
bukunya Tangan Kuasa dalam Kelamin. Menurut Kadir, praktik
homoseksual di Indonesia sudah ada sebelum paham Barat dan liberal masuk ke
Indonesia. Praktik tadi hadir dalam bentuk tradisi dan kearifan lokal, yang
oleh kekuasaan negara dan agama lalu disunat. Keberadaan homoseksual tak hanya
bisa dijumpai di ludruk, tapi juga di reog, bissu, cebolang, dan seudati.
Tentu saja,
perilaku ini ditentang oleh golongan santri. Mereka menganggap ludruk adalah
bentuk hiburan yang haram. Para santri menyatakan, pemain waria di ludruk
melanggar ketentuan agama—yang melarang unsur-unsur "laki-laki dan
perempuan” di muka publik
“Jika ludruk itu benar-benar berorientasi kepada kemajuan, tentu wanitalah yang akan memainkan peran wanita. Ludruk menjadikan segala sesuatu sebagai main-main, padahal Islam itu berwatak sungguh-sungguh,” kata seorang santri kepada Peacock kala ia meneliti soal ludruk. Peacock pun sama sekali tak pernah melihat seorang santri yang menjadi penonton setia ludruk. Di dalam golongan santri berlaku sebuah peraturan tidak tertulis, jika mereka bermain ludruk mereka tak lagi dianggap sebagai santri.
Padahal sebelumnya,
seperti yang sudah dijelaskan di atas, kemunculan waria tak lepas juga dari
peran santri yang mengharamkan lelaki dan perempuan ada di satu panggung.
Tampak sekali kebimbangan kaum agama di sini.
Menurut peneliti
seni pertunjukan Indonesia dari University of London, Matthew Isaac Cohen,
alasan adanya waria karena ludruk bersifat humor. Oleh karena itu, hanya bisa
dimainkan dengan baik oleh waria, dibandingkan perempuan asli.
Namun, pernyataan
Cohen bertentangan dengan Geertz. Geertz mengatakan, pelawak waria sebenarnya
bukan objek yang lucu, karena “kebancian” bagi orang Jawa hanya lucu dalam
pengertian yang “ganjil”, bukan “menggelikan.” Lebih lanjut, menurut Geertz,
para penari dan pemain gamelan, semua mengaitkan sandiwara tadi dengan
bentuk-bentuk kebudayaan yang dikenal, sehingga seorang petani yang sebenarnya
hanya setengah mengerti alur cerita bisa tertawa terpingkal-pingkal karena
lawakannya, terheran-heran menyaksikan para banci, dan menikmati tarian para
penari.
Sementara itu,
Cohen tak menampik soal perilaku homoseksual dalam aktivitas ludruk.
“Tentu saja, ada juga (penonton) yang menyukai waria, dan ini menjadi tempat bercampur baur antara orang homoseksual,” kata Cohen.
Cohen menuturkan,
masalah tadi menjadi alasan kelompok Islam garis keras sering mencurigai
ludruk. Proses kecurigaan tersebut sudah berlangsung sejak lama. Hal ini, kata
Cohen, menjadi salah satu pemicu yang membuat ludruk semakin tersisih.
Bertahan dan Berubah
Lantas apa alasan
pribadi dari mereka—lelaki yang bertingkah dan berdandan ala
perempuan—manggung? Sebuah wawancara di video berjudul Ludruk, menampilkan
kesaksian dua waria yang mengais rezeki di atas panggung. Salah seorang waria
bernama Susi mengaku mencari nafkah di kelompok ludruk Irama Budaya, Surabaya,
untuk membahagiakan keluarganya. Ia tetap memiliki pekerjaan sampingan sebagai
penata rias di acara pernikahan.
Meski begitu,
faktor ekonomi tentu tak bisa menjadi faktor utama. Sebab, penghasilan dari
manggung ludruk terbilang sangat minim. Dalam sebuah wawancara kepada Kompas berjudul Sakia
Sunaryo, Penjaga Setia Ludruk, pimpinan Irama Budaya, Sakia Sunaryo
harus mencari pemasukan lain sebagai paranormal. Sakia, yang juga waria ini,
mengaku tiket seharga Rp4 ribu mustahil untuk menutup biaya sewa tempat pentas
sekaligus tempat tinggal para pemain.
Setiap tahun, ia
harus merogoh kocek Rp8 juta untuk sewa tempat tadi. Dan, tiap kali akan jatuh
tempo, Sakia mesti “mengemis” ke pemerintah Kota Surabaya untuk mendapatkan
sumbangan. Alasan Sakia bertahan menjadi seniman ludruk sejak 1970-an, karena
ia merasa kesenian rakyat ini harus tetap diteruskan dan dijalankan, meski
dalam hal materi memusingkan.
Akhirnya, tak bisa
dipungkiri, ada beberapa personel ludruk yang mangkal di pinggir jalan demi
mencukupi kebutuhan materi. Misalnya saja pengakuan Yuri Firnanda, salah
seorang personel kelompok ludruk di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Rappler edisi
25 Maret 2016 berjudul Di Balik Merahnya Gincu Bibir Waria menulis,
jika tak sedang bermain ludruk, Yuri mangkal sebagai pekerja seks.
Terlepas dari itu,
Peacock mencatat, sejumlah rombongan ludruk yang memakai waria sebagai
pementas, sudah bergeser dari “pakem” mereka. Beberapa elemen alus dari
perilaku waria di atas panggung—misalnya saat menyanyikan kidungan tentang
cinta—diganti dengan elemen-elemen yang lebih maju—seperti syair-syair parikan.
Sehingga muncul upaya yang mengatasnamakan “kemajuan” untuk menghapus citra
seksual dari pemain waria. Kelompok ludruk yang paling maju bahkan melarang
hubungan sesama jenis dalam rombongannya, dan pemain waria membatasi sisi
femininnya hanya di atas panggung.
Bagaimana pun,
keberadaan waria di panggung ludruk merupakan sebuah elemen yang sejak lama
langgeng. Waria bisa menjadi bumbu dalam setiap pementasan ludruk. Ludruk tanpa
waria bagai sayur tanpa garam. Hambar. Seperti kata Cohen, “Bagi saya, kalau
ludruk tidak ada waria bukan ludruk lagi namanya. Tapi, itu masalah selera.
Daftar
Referensi
Buku
Abdul,
Kadir Hatib. 2007. Tangan Kuasa
dalam Kelamin; Telaah Homoseks, Pekerja Seks, dan Seks Bebas di
Indonesia. Yogyakarta: Insist Press.
Ahmadi,
Mukhsin, et al.
1987. Aspek Kesastraan dalam Seni
Ludruk di Jawa Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Brandon,
James R. 2003. Jejak-Jejak Seni
Pertunjukan di Asia Tenggara. Bandung: P4ST UPI.
Geertz,
Clifford. 2013. Agama Jawa;
Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas
Bambu.
Peacock,
James L. 2005. Ritus Modernisasi;
Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia.Depok: Desantara.
Artikel
Astro,
Masuki M. 2009. Sakia Sunaryo,
Penjaga Setia Ludruk. Diakses darihttp://nasional.kompas.com/read/2009/09/15/18492777/sakia.sunaryo.penjaga.setia.ludruk
Pitaloka,
Dyah Ayu. 2016. Di Balik Merahnya
Gincu Bibir Waria. Diakses dari http://www.rappler.com/indonesia/126630-merahnya-gincu-bibir-waria-kota-malang.
Makalah
Rumpoko,
Ganisa P. Eksistensi Transgender
dalam Hiburan Masyarakat Pedesaan; Tinjauan Rekaman Pentas Ludruk yang Diunggah
di Internet. Diakses darihttps://www.academia.edu/9466156/Eksistensi_Trangender_dalam_Hiburan_Masyarakat_Pedesaan_Tinjauan_Rekaman_Pentas_Ludruk_yang_Diunggah_di_Internet_oleh_Ganisa_P_Rumpoko
Video
Verges,
Diego. 2012. Ludruk. Surabaya.
3,21 mins.
Wawancara
Wawancara
dengan Matthew Isaac Cohen, pada 5 Agustus 2016 melalui surat elektronik.
______
Fandy Hutari. Editor Sejarah di
Jurnal Ruang. Penulis, periset, dan pengarsip sejarah hiburan. Berminat pada
kajian sejarah sandiwara dan film Indonesia.
Source: Jurnal Ruang