M Aan Mansyur
Pustakawan
18 Mar 2016
Photo by Mathieu Nicolet
Ketidakpastian adalah racun bagi pikiran
manusia. Sejak kecil, kita menentang ambiguitas. Kita selalu ingin menemukan
jawaban yang masuk akal atas pertanyaan yang membingungkan. Ketika berhadapan
dengan ambiguitas tinggi dan jawaban yang kurang jelas, kita merasa tidak
nyaman dan tidak aman. Kondisi semacam itu adalah hal biasa, alamiah, dan bukan
masalah luar biasa.
Jika setuju dengan pernyataan di atas,
Anda mungkin termasuk orang yang tidak senang diombang-ambing gelombang
bimbang. Salah satu ciri orang yang tidak tahan berada dalam ketidakpastian
adalah mudah percaya akan pernyataan orang lain. Banyak orang lebih memilih
menjatuhkan diri ke dalam sumur pikiran sempit agar bisa menjauhkan kepalanya
dari kebingungan.
Kita dengan mudah bisa menyaksikan orang-orang
semacam itu di televisi, koran, Internet, atau di mana pun di sekitar kita.
Tidak peduli betul atau salah, orang menjadi terburu-buru memberi penilaian,
gampang mengambil keputusan, dan tergesa-gesa percaya akan berita atau rumor.
Kenapa mereka melakukan tindakan-tindakan
konyol semacam itu? Jawabannya: mereka tidak ingin berlama-lama berada dalam
kebingungan.
Orang yang tidak nyaman pada kebimbangan
juga akan susah mengubah keyakinan yang terlanjur mereka pilih, meskipun mereka
tahu itu salah. Mereka tidak ingin kembali masuk ke dalam kebimbangan.
Sekarang, bayangkan sebuah negeri yang
dipenuhi manusia seperti itu. Anda akan segera bisa melihat bahwa
ketidaknyamanan pada ketidakpastian bisa berubah menjadi masalah yang luar
biasa, atau mimpi buruk yang hebat.
Arie Kruglanski memperkenalkan istilah cognitive
closure untuk menjelaskan keingintahuan seseorang untuk mencapai
jawaban tegas atas pertanyaan yang membingungkan dan keengganan berdiam dalam
ambiguitas. Bersama Donna Webster, pada 1994, psikolog sosial ini juga
memperkenalkan cara standar untuk mengukur kebutuhan cognitive closureseseorang.
Para psikolog sering menyebutnya Need for
Cognitive Closure Scale. Dengan menggunakan skala yang sudah
dirancang sedemikian rupa, kita bisa mengukur seberapa tinggi atau rendah
ketidaknyaman seseorang pada kondisi membingungkan.
Orang yang memiliki kebutuhan penutupan
kognitif yang tinggi cenderung mudah memberi penilaian dan mengambil keputusan.
Mereka gampang percaya pada pernyataan orang lain, berpikiran tertutup, dan
sulit menerima pikiran-pikiran baru.
*
Betulkah penyakit pikiran sempit tidak bisa
disembuhkan?
Saya punya kabar baik buat Anda yang merasa
menderita penyakit ini. Beberapa bulan lalu, Creativity Research
Journal memuat hasil penelitian tiga ilmuwan dari University of
Toronto, Kanada, yang dipimpin oleh seorang psikolog, Maja Djiki. Berdasarkan
penelitian mereka, obat penyakit pikiran sempit sesungguhnya murah dan mudah.
Dengan membaca karya fiksi bermutu, orang bisa terhindar dan terlepas dari
gangguan rasa tidak nyaman akan ketidakpastian. Begitulah kesimpulan penelitian
mereka.
Untuk penelitian tersebut, 100 mahasiswa
dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok diminta memilih satu esai di antara
delapan pilihan esai yang ditulis oleh orang-orang terhormat seperti George
Bernard Shaw dan Stephen Jay Gould. Kelompok kedua diminta memilih dan membaca
satu cerita pendek. Cerita-cerita pendek itu ditulis oleh penulis ternama
seperti Wallace Stegner, Jean Stafford, dan Paul Bowles.
Setelah membaca esai atau cerita pendek,
peserta mengisi survei untuk mengukur kebutuhan mereka akan kepastian dan
stabilitas. Hal ini menggunakan model pengukuran Need for Cognitive Closure
Scale yang diperkenalkan Kruglanski.
Studi ini menemukan bahwa mahasiswa yang
membaca cerita pendek memiliki skor lebih rendah daripada mereka yang membaca
esai — yang berarti mereka
kurang bermasalah pada ketidakpastian. “Paparan karya sastra dapat menawarkan
cara bagi seseorang untuk lebih berpikiran terbuka,” kata Djiki.
Di akhir artikel mereka, ketiga ilmuwan ini
menyarankan agar institusi pendidikan memberikan porsi yang lebih besar atas
seni dan humaniora. Membaca karya sastra, menurut para ilmuwan tersebut, bisa
membuat seseorang memiliki cakrawala pikiran yang lebih lapang dan membantu
mereka untuk bisa menyelami dan menerima perspektif orang lain. Mereka pun
menjadi lebih kreatif dalam mengambil keputusan. Ilmu lain tidak mampu
melakukan hal semacam ini.
Sesungguhnya hal yang sama sudah diingatkan
oleh Konfusius pada 500-an SM. Dia mengatakan, “Tidak peduli seberapa sibuk
kamu pikir dirimu, kamu harus menemukan waktu untuk membaca, atau kamu
menyerahkan dirimu untuk dipilih oleh kebodohan.” Itulah sebabnya orang-orang
Yunani Kuno, apa pun profesi mereka, sejak kecil membaca dan mencintai
karya-karya Homer.
Atau, jika Anda pernah membaca seri A
Song of Ice and Fire — karya yang mungkin Anda
lebih kenal karena serial televisi Game of Thrones, melalui
tokoh Jojen Reed di seri terakhirnya, A Dance with Dragons, George
R. R. Martin mengatakan, “Reader lives a thousand lives before he dies. The
man who never reads lives only one.”
*
Demi menunjukkan keindonesiaan saya, sebelum
menutup tulisan ini, saya harus menyampaikan minimal satu kabar buruk. Di
negeri ini, kabar buruk selalu lebih penting dibanding dengan kabar baik.
Kabar buruknya: pemerintah sedang melakukan
usaha yang sangat dahsyat untuk membuat kita tetap menjadi manusia yang tidak
nyaman atas ketidakpastian dan ambiguitas. Pemerintah ingin kita tetap menjadi
manusia berpikiran tertutup seperti mereka.
Jika Anda tidak percaya, lihatlah pelajaran
atau kurikulum sekolah adik atau anak-anak Anda. Hampir tidak ada, untuk tidak
mengatakan tidak ada, ruang yang bisa membuat mereka menjadi manusia berpikiran
terbuka.
Maka, sekarang, bertanyalah kepada diri
Anda: apa kabar masa depan?
*
Terakhir, tanpa tambahan komentar apa pun,
saya hendak mengutip hasil dari satu penelitian berikut
ini:
Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian
(LaKIP), yang dipimpin Prof Dr Bambang Pranowo—yang juga guru besar sosiologi
Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pada Oktober 2010 hingga
Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21% guru
menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru
setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju dengan
kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan
serangan bom.