Sabtu, 19 September 2015

Teater: Proses dan Pembelajaran Kolektif



Catatan Workshop Ke 10 Teater Gerak Kebumen

Hari ke 2 workshop Teater Gerak diikuti 40-an peserta 

Sebagai sebuah upaya berkesinambungan dalam mencintai proses berkesenian, apa yang dilakukan Teater Gerak pada gelar workshop ke 10 ini; sangat pantas diapresiasi. Sebuah pembelajaran kolektif yang meleburkan partisipasi aktif lebih dari 40 pelajar, beberapa diantaranya adalah mahasiswa angkatan baru setempat; tengah mewarnai intensitas sepanjang 3 hari di kampus itu. IAINU (Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama) Kebumen

Workshop Teater Gerak ke 10 merupakan serangkaian pembelajaran kolektif mulai dari latihan dasar-dasar teater, latihan meditasi, olah  pernafasan, olah rasa, olah vokal, olah-tubuh, keaktoran, seting panggung, tata-lampu, penyutradaraan hingga manajemen produksi; jadi komposisi yang cukup menyita energi para peserta. Hebatnya, mayoritas peserta intens mengikuti keseluruhannya minus keluhan.

Jika mengingat pada persepsi umum yang menganggap dunia teater tak menjanjikan limpahan materi sebagai parameter suksesnya, maka perekat kolektif apa yang mampu mengikat intensitas mereka yang tengah belajar ini; di sinilah kedahsyatan sebuah majlis pembelajar itu.

Pembangunan Karakter

Salah satu pengampu materi pembelajaran, Putut AS, atas pendekatan kejiwaan, menyebutnya dengan militansi baru. Boleh jadi, disiplin yang diasumsikan dalam rumusan silabus-silabus pendidikan itu; hanyalah citra kulit luarnya. Sedangkan cita kedalamannya merupakan “barang langka” yang tak pernah bisa didapatkan melalui dalil dan tafsir, rumus matematika; apalagi upacara tiap hari Senin di sekolah maupun kampus lain. Cita dicapai dengan laku. Ini problem pembangunan manusia seutuhnya. Seperti makna nukil lagu Indonesia Raya itu: “Bangun lah jiwanya, bangun lah badannya..”.

Segala sesuatu memang harus dicapai melalui laku. Ikhwal laku butuh militansi. Itu lah makna sebuah proses membangun jiwa. Dan workshop teater ini adalah sebuah proses, metode pembelajaran bersama. Faik Setiadi, lurahnya Teater Gerak beranalogi membangun kolektivitas layaknya merangkai jaring. Peserta workshop memang berasal dari berbagai sekolah, basis yang memungkinkan untuk membangun dan berjejaring itu. Dia berharap pembelajaran teater ini, yang identik dengan stimulus keterlibatan personal untuk mengasah kepekaan rasa. Sensitivitas ini yang jadi syarat kecerdasan sosial, manakala spektrum partisipasi pun meluas.

Ikhwal militansi atau istiqamah dalam berkesenian bisa didapat dari seorang nara Mahfudz Fauzi. Pemilik nama panggilan Ojek ini memang lah tak menonjol; tak punya banyak fans pemuja, karena spesialisasi nya di lighting. Namun di aras militansi yang konsisten, peñata lampu ini teruji sejak awal era 2000-an. Merintis tradisi workshop teater bersama Mustolih, pemateri Kesanggaran dalam workshop ke 10 ini.

Agaknya, militansi dan spirit kolektivisme memang telah jadi barang langka di era manakala banyak orang memilih condong pada sihir pragmatis. Gejala pragmatism yang ditandai dengan parameter-parameter bernilai materi, finansial, dan segala akses komersialisasi kerja; menjadi keprihatinan “ideologis” kelas pekerja teater.

Beruntung, upaya membangun manusia seutuhnya, melalui teater ini masih ada konsistensi mereka yang terlibat. Nano Warisno, Sahid Elkobar, Arif Aminudin, Saiful Amin, Mufti Anwar, Khamidatul Hilma, Supriyanto, beserta gerombolan militannya…            

0 komentar:

Posting Komentar