Catatan
Workshop Ke 10 Teater Gerak Kebumen
Sebagai
sebuah upaya berkesinambungan dalam mencintai proses berkesenian, apa yang
dilakukan Teater Gerak pada gelar workshop ke 10 ini; sangat pantas
diapresiasi. Sebuah pembelajaran kolektif yang meleburkan partisipasi aktif lebih
dari 40 pelajar, beberapa diantaranya adalah mahasiswa angkatan baru setempat;
tengah mewarnai intensitas sepanjang 3 hari di kampus itu. IAINU (Institut
Agama Islam Nahdlatul Ulama) Kebumen
Workshop Teater Gerak ke 10
merupakan serangkaian pembelajaran kolektif mulai dari latihan dasar-dasar
teater, latihan meditasi, olah pernafasan,
olah rasa, olah vokal, olah-tubuh, keaktoran, seting panggung, tata-lampu, penyutradaraan
hingga manajemen produksi; jadi komposisi yang cukup menyita energi para
peserta. Hebatnya, mayoritas peserta intens mengikuti keseluruhannya minus
keluhan.
Jika
mengingat pada persepsi umum yang menganggap dunia teater tak menjanjikan
limpahan materi sebagai parameter suksesnya, maka perekat kolektif apa yang
mampu mengikat intensitas mereka yang tengah belajar ini; di sinilah
kedahsyatan sebuah majlis pembelajar itu.
Pembangunan
Karakter
Salah
satu pengampu materi pembelajaran, Putut AS, atas pendekatan kejiwaan, menyebutnya
dengan militansi baru. Boleh jadi, disiplin yang diasumsikan dalam
rumusan silabus-silabus pendidikan itu; hanyalah citra kulit luarnya. Sedangkan
cita kedalamannya merupakan “barang langka” yang tak pernah bisa didapatkan
melalui dalil dan tafsir, rumus matematika; apalagi upacara tiap hari Senin di
sekolah maupun kampus lain. Cita dicapai dengan laku. Ini problem pembangunan
manusia seutuhnya. Seperti makna nukil lagu Indonesia Raya itu: “Bangun
lah jiwanya, bangun lah badannya..”.
Segala
sesuatu memang harus dicapai melalui laku. Ikhwal laku butuh militansi. Itu lah
makna sebuah proses membangun jiwa. Dan workshop teater ini adalah
sebuah proses, metode pembelajaran bersama. Faik Setiadi, lurahnya Teater Gerak
beranalogi membangun kolektivitas layaknya merangkai jaring. Peserta workshop
memang berasal dari berbagai sekolah, basis yang memungkinkan untuk membangun
dan berjejaring itu. Dia berharap pembelajaran teater ini, yang identik dengan
stimulus keterlibatan personal untuk mengasah kepekaan rasa. Sensitivitas ini yang
jadi syarat kecerdasan sosial, manakala spektrum partisipasi pun meluas.
Ikhwal
militansi atau istiqamah dalam berkesenian bisa didapat dari seorang
nara Mahfudz Fauzi. Pemilik nama panggilan Ojek ini memang lah tak
menonjol; tak punya banyak fans pemuja, karena spesialisasi nya di lighting.
Namun di aras militansi yang konsisten, peñata lampu ini teruji sejak awal era
2000-an. Merintis tradisi workshop teater bersama Mustolih, pemateri
Kesanggaran dalam workshop ke 10 ini.
Agaknya,
militansi dan spirit kolektivisme memang telah jadi barang langka di era manakala
banyak orang memilih condong pada sihir pragmatis. Gejala pragmatism yang
ditandai dengan parameter-parameter bernilai materi, finansial, dan segala akses
komersialisasi kerja; menjadi keprihatinan “ideologis” kelas pekerja teater.
Beruntung,
upaya membangun manusia seutuhnya, melalui teater ini masih ada konsistensi
mereka yang terlibat. Nano Warisno, Sahid Elkobar, Arif Aminudin, Saiful Amin,
Mufti Anwar, Khamidatul Hilma, Supriyanto, beserta gerombolan militannya…
0 komentar:
Posting Komentar