Berikut ini adalah tulisan Katrin Bandel,
akademisi dan kritikus sastra Indonesia yang kini menetap di
Yogyakarta. Tulisan ini disalin-tempel dengan kaidah bagi-serupa dari Jurnal Sastra Bawah Tanah Daring Boemipoetra.
Versi yang diambil dari jurnal ini terbit pada tanggal 20 November 2014
yang merupakan naskah yang sebelumnya sudah dipresentasikan oleh Katrin
Bandel di acara diskusi akademik “Denny JA dan Penipuan Sejarah Sastra
Indonesia” yang diselenggarakan pada hari Rabu, 19 November 2014 di
Auditorium Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada.
***
–
Perdebatan dan perselisihan adalah hal yang wajar dan sudah seharusnya di dunia intelektual, termasuk sastra. Namun kasus buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
sungguh di luar kebiasaan. Bukan saja kasus itu sendiri, khususnya
penobatan Denny JA sebagai salah satu “tokoh sastra Indonesia paling
berpengaruh”, bersifat cukup ekstrim. Tapi ada hal yang sangat aneh dan
tidak lazim terjadi dalam perdebatan di dunia sastra, yaitu diskusi
intelekual antar sastrawan dan pegiat sastra seputar buku tersebut
mendadak dibawa ke ranah hukum, serta disosialisasikan lewat media massa
di luar konteks dunia sastra. Tindakan tersebut cukup memprihatinkan,
sebab dalam sosialisasi lewat media massa tersebut terjadi usaha
penggiringan opini publik yang cukup mencolok.
Perhatian dialihkan dari
substansi kritik terhadap buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
pada lontaran berupa kata “bajingan” dan “penipu” yang berusaha
dilepaskan dari konteks perdebatannya, dan fokus digeser dari Denny JA
pada Fatin Hamama. Maka dalam pembahasan ini saya akan berfokus pada
permasalahan penggiringan opini tersebut.
Dua tuduhan utama terhadap Iwan Soekri
dan Saut Situmorang adalah “pencemaran nama baik” dan “pelecehan seksual
verbal”, yang kedua-duanya bukan dikemukakan di forum-forum yang
terkait untuk didiskusikan, tapi diproses secara hukum. Tuduhan pertama
dilaporkan ke polisi, sedangkan yang kedua diadukan pada Komnas
Perempuan. Tindakan pengaduan secara formal semacam itu dapat dikatakan
sangat tidak lazim, lebih-lebih karena dilakukan sama sekali tanpa lebih
dulu berusaha mengungkapkannya lewat diskusi atau debat intelektual,
entah secara langsung di forum di mana kata-kata yang dirasakan
“mencemarkan” dan “melecehkan” itu dilontarkan, atau lewat medium lain,
misalnya tulisan di koran atau di situs internet. Dengan demikian, kasus
ini langsung dibawa ke ranah publik, keluar dari ranah perdebatan di
kalangan pegiat sastra di mana bentrokan antara Fatin Hamama dengan Iwan
dan Saut berawal.
Dengan melepaskan kasus itu dari
konteksnya, penggiringan opini menjadi jauh lebih mungkin. Kalangan awam
yang tidak mengikuti kritik terhadap buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
hanya akan melihat adanya kata-kata yang oleh banyak orang dirasakan
kurang sopan, yang dilontarkan kepada seorang perempuan yang, dalam
berbagai laporan di media maupun dalam pembelaannya sendiri, digambarkan
sebagai orang baik-baik. Belakangan bahkan ditekankan statusnya sebagai
istri dan ibu. Dalam berita atau tulisan lain tentang kasus itu,
khususnya yang memihak pada Fatin Hamama, berbagai jenis tuduhan
dicampur-adukkan: masalah kesopanan bahasa begitu saja disandingkan
dengan istilah “pencemaran nama baik”, “penistaan”, dan “pelecehan
seksual”, tanpa mendefinisikan apa yang dimaksudkan, dan tanpa
membedakan satu sama lain.
Dengan demikian, reaksi emosional spontan
yang mudah timbul ketika orang membaca kata seperti “bajingan”, yaitu
kesan bahwa kata seperti itu bersifat kasar dan tidak sopan, berusaha
dimanfaatkan untuk menggiring pembaca sekaligus mengamini tuduhan
pencemaran nama baik dan pelecehan seksual.
Berikut saya akan membicarakan kedua
tuduhan utama yang dilontarkan, yaitu pencemaran nama baik dan pelecehan
seksual verbal: apakah yang terjadi antara Iwan, Saut dan Fatin memang
dapat disebut “pencemaran nama baik” atau “pelecehan seksual verbal”?
Namun sebelum membahas kedua tuduhan utama itu, saya akan lebih dahulu
membicarakan argumentasi yang mendasari kedua tuduhan itu, yaitu bahwa
Fatin Hamama sejatinya tidak terlibat dalam kasus buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
yang kontroversial itu, sehingga penyerangan terhadapnya bersifat
ngawur dan murni penghinaan pribadi.
Hanya dengan dasar tersebut
ungkapan yang dilontarkan Saut dan Iwan dapat diinterpretasikan sebagai
pencemaran atau pelecehan: konon kata-kata “kasar” itu bukan dilontarkan
sebagai bagian dari sebuah debat interlektual tentang sesuatu yang
secara nyata dikerjakan Fatin di dunia sastra, tapi dihamburkan begitu
saja tanpa alasan.
Apakah Fatin Hamama terlibat?
Fatin berkali-kali menekankan bahwa
baginya kritik alias “penistaan”, “pencemaran”, atau “pelecehan” yang
dialaminya sangat tidak berdasar dan tidak bisa ditoleransi, sebab
dirinya sama sekali tidak terlibat dalam pembuatan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.
Dirinya konon dimaki bukan dalam fungsi tertentu atas karena kinerja
tertentu, tapi murni sebagai penghinaan terhadap dirinya secara pribadi.
Dengan demikian usaha kelompok yang sedang membela Iwan Soekri dan Saut
Situmorang untuk mengembalikan permasalahannya pada perdebatan tentang
buku tersebut dapat dikatakan bersifat manipulatif dan sengaja berusaha
menyesatkan publik.
“Keterlibatan” yang dimaksud di sini
bentuknya apa? Jawaban atas pertanyaan tersebut sangat tergantung pada
versi sejarah penyusunan dan penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
yang kita anut. Menurut versi yang ingin dipertahankan pihak Denny JA
serta tim penyusun buku itu sendiri, yang terjadi adalah kira-kira
seperti berikut: Sebagai kontribusi unik dan orisinalnya terhadap dunia
sastra Indonesia, Denny JA memperkenalkan “genre” baru yang disebutnya
“puisi esai”. Sastrawan-sastrawan lain terinspirasi olehnya, dan ikut
menulis “puisi esai”. Maka atas dasar kontribusinya tersebut, Denny JA
dimasukkan sebagai salah satu “tokoh sastra Indonesia paling
berpengaruh” ke dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.
Dan karena buku itu penting dan menarik, maka kemudian diresensi dan
dikomentari orang. Memang, berbagai kegiatan itu – penulisan “puisi
esai”, buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh,
resensinya – didukung oleh pendanaan dari Denny JA. Tapi apa masalahnya?
Bukankah pantas disyukuri bahwa ada orang kaya yang berbaik hati
berkontribusi terhadap dunia sastra Indonesia?
Namun menurut versi yang lebih kritis, yang antara lain dikemukakan oleh Aliansi Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh,
tentu saja dalam rangkaian peristiwa itu banyak masalahnya. Kelewat
lugu sekali kalau pendanaan tidak dipersoalkan, dan kalau kita tidak
mempertanyakan asal usul perayaan terhadap “pengaruh” Denny JA yang
demikian tiba-tiba. Bukankah tampak sekali betapa “pengaruh” itu
diciptakan dengan sengaja lewat lomba berhadiah menggiurkan, dan dengan
menawarkan honor dalam jumlah yang cukup tinggi untuk ukuran dunia
sastra di Indonesia pada sejumlah sastrawan ternama agar mereka menulis
“puisi esai”? Dengan kata lain, cukup jelas bahwa rangkaian peristiwa
itu tidak terjadi “kebetulan” begitu saja, tapi ada skenarionya.
Keterlibatan Fatin akan tampak berbeda
tergantung pada versi yang kita percayai. Menurut versi pertama, Fatin
memang dapat dikatakan tidak terlibat. Alasannya sederhana: Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
disusun oleh Tim 8, dan Fatin Hamama bukan bagian dari tim itu. Fatin
terlibat dalam mengurus proyek penulisan “puisi esai”, dan dalam
pengadaan resensi atas buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
(menghubungi penulis-penulis tertentu, termasuk Saut Situmorang yang
menolaknya mentah-mentah, dalam rangka sengaja meminta mereka menulis
resensi), namun menurut versi pertama ini, semua itu tidak ada hubungan
langsungnya dengan buku kontroversial itu sendiri.
Namun menurut versi kedua, status Fatin
sebagai editor buku-buku “puisi esai” yang, antara lain, bertugas untuk
berurusan dengan para penulis yang sengaja dibayar untuk mempopulerkan
“genre baru” tersebut, serta perannnya saat meminta resensi, jelas-jelas
merupakan sebuah keterlibatan. Bukankah semua kegiatan itu saling
berkaitan? Maka tanpa perlu berstatus sebagai penyusun atau editor buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Fatin tentu saja bisa disebut terlibat.
Dengan demikian, tampak bahwa lewat
argumen bahwa Fatin Hamama “tidak terlibat”, sebetulnya opini publik
berusaha digiring sekaligus berkaitan dengan dua hal, yaitu 1.,
diyakinkan bahwa ada “ketidakadilan” yang dialami Fatin, dan 2., diajak
mempercayai versi Denny JA/Tim 8 tentang status dan sejarah buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.
Bukankah menarik bahwa Fatin sama sekali tidak menyangkal
keterlibatannya sebagai editor buku “puisi esai”, termasuk misalnya
dalam kaitan dengan kasus pengembalian honor dengan alasan penulis
menyadari betapa karyanya dimanfaatkan sebagai legitimasi penobatan
Denny JA sebagai tokoh berpengaruh?
Fatin juga tidak menyangkal bahwa
dirinya giat menghubungi penulis-penulis yang diminta membuat resensi.
Namun bersamaan dengan itu, dia bersikeras bahwa dirinya “tidak
terlibat” dengan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.
Dengan demikian, secara implisit ditegaskan bahwa memang tidak ada hubungan antara kegiatan mempopulerkan “puisi esai”, buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, dan penulisan resensi.
Maka jelas bahwa argumen tentang “tidak
terlibat”nya Fatin Hamama mesti dipandang secara sangat kritis. Dari
perspektif Saut Situmorang dan Iwan Soekri yang merupakan bagian dari Aliansi Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh,
Fatin jelas-jelas terlibat dalam kasus buku tersebut. Dengan demikian
apa yang mereka utarakan terkait dengan Fatin, baik berupa kata makian
atau tidak, merupakan bagian dari perdebatan intelektual seputar kasus
buku tersebut, bukan penghinaan pribadi.
Apakah yang dilakukan Iwan dan Saut merupakan pencemaran nama baik?
Apa arti “pencemaran nama baik”?
Sepemahaman saya, pencemaran nama baik umumnya berkaitan dengan fitnah.
Cerita-cerita bohong (cerita yang tidak bisa dibuktikan) tentang
seseorang disebarkan di ruang publik, sehingga reputasi (nama baik)
orang tersebut tercoreng. Masuk akal kalau kasus semacam itu dibawa ke
pengadilan, sebab keputusan pengadilan diharapkan menjadi bukti bahwa
apa yang sudah telanjur menyebar tidaklah benar, sehingga reputasi
korban pencemaran dapat dipulihkan.
Dalam kasus yang menimpa Saut dan Iwan,
apakah ada cerita bohong atau tak terbuktikan yang disebarkan? Tampaknya
tidak ada. Kasus yang dibicarakan sangat jelas, yaitu kasus buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh,
khususnya dalam kaitan dengan peran Denny JA dan Fatin Hamama. Protes
lantang disampaikan oleh sangat banyak sastrawan, dengan argumen-argumen
yang jelas, berdasarkan fakta seputar buku tersebut. Artinya, yang
sedang terjadi ada sebuah perdebatan antara dua pihak, yaitu antara yang
membuat dan mendukung buku tersebut di satu pihak, dan yang
mengkritiknya di pihak lain.
Kondisi ini tentu tidak bisa dibandingkan
dengan kasus di mana secara sepihak cerita buruk tentang seseorang
disebarkan, sehingga namanya tercemarkan.
Kata-kata “kasar” yang dipersoalkan,
yaitu “penipu” dan “bajingan”, perlu dipandang dalam konteks tersebut.
Kata itu tidak berdiri sendiri, tapi digunakan dalam konteks perdebatan
yang sedang terjadi. Ketika kata “bajingan” dan “penipu” disebut, maka
kata itu merujuk pada perdebatan yang sedang berlangsung secara
keseluruhan, khususnya pada ungkapan sastrawan yang sama di tempat lain
maupun lewat ungkapan kritis lain terhadap buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.
Ungkapan-ungkapan lain tersebut berupa penjelasan yang tegas dan
eksplisit mengenai keberatan mereka dalam kaitan dengan kasus buku
tersebut, dan dengan demikian bukanlah fitnah. Maka ”kekasaran” kata
tersebut bukanlah tanda terjadinya fitnah, tapi sekadar merupakan bagian
dari gaya ungkap tertentu.
Mengapa gaya ungkapnya seperti itu?
Perlukah sesuatu disampaikan dengan kata yang, bagi sebagian orang,
terasa kasar dan kurang sopan? Ini pertanyaan menarik yang memang tidak
jarang muncul di dunia sastra Indonesia. Pertama, perlu ditegaskan bahwa
gaya ungkap seperti itu sangat lazim dijumpai di dunia sastra, baik di
Indonesia maupun di luar Indonesia, dan baik di dalam karya sastra
maupun dalam pergaulan dan polemik-polemik antar sastrawan.
Seandainya
semua penggunaan kata “kasar” di dunia sastra Indonesia mau
diperkarakan, sepertinya kepolisian dan pengadilan perlu menambah staf
baru terlebih dahulu, saking membludaknya kasus yang akan perlu
ditangani. Namun kedua, memang tidak semua orang di dunia sastra
Indonesia menyukai penggunaan gaya ungkap seperti itu. Kritik terhadap
gaya ungkap “kasar” tidak jarang disampaikan, dengan alasan utama bahwa
gaya ungkap tersebut dirasakan kurang sopan. Dengan kata lain, sastrawan
memiliki pandangan yang beragam mengenai penggunaan bahasa berkaitan
dengan akhlak dan kesopanan.
Saya pikir, ini adalah persoalan yang
sangat penting dalam kasus yang sedang dituduhkan pada Saut dan Iwan.
Masalah akhlak harus dibedakan dari persoalan fitnah dan pencemaran nama
baik. Sah-sah saja kalau ada yang berpendapat bahwa penggunaan kata
“bajingan” menandakan akhlak kurang baik. Namun sejauh saya pahami,
akhlak buruk bukanlah tindakan kriminal, sehingga tidak ada urusan
dengan kepolisian.
Nama seseorang tidak tercemarkan hanya
karena gaya ungkap yang dipakai untuk menyampaikan sesuatu tentang atau
padanya, namun karena apa yang disampaikan itu sendiri. Maka kalau Fatin
Hamama merasa namanya dicemarkan, seharusnya dia menunjukkan bahwa
dalam kritik sastrawan-sastrawan yang keberatan pada buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh terdapat fitnah, bukan malah berkonsentrasi pada penggunaan kata-kata tertentu yang kemudian diekspos di luar konteks.
Apakah terjadi pelecehan seksual verbal terhadap Fatin Hamama?
Apa itu “pelecehan seksual verbal”?
Pelecehan seksual dapat didefinisikan sebagai tindakan yang menempatkan
korban (seringkali, tapi tidak selalu, perempuan) sebagai objek seksual,
dan membuatnya merasa dihina dan direndahkan. Bentuk verbalnya dapat
berupa komentar seksis atau kasar tentang tubuh atau seksualitas
seseorang, atau ajakan bernada seksual yang tidak diinginkan dan
diutarakan tidak pada tempatnya. Sebagai sebuah tindakan kriminal,
pelecehan seksual seringkali diperkarakan dalam konteks lingkungan
kerja: Di wilayah di mana seseorang seharusnya dinilai berdasarkan
kinerjanya dalam melakukan tugas-tugas profesionalnya, dirinya dipandang
justru murni sebagai tubuh seksual.
Berangkat dari definisi tersebut, tuduhan
Fatin (dan tanggapan positif dari Komnas Perempuan) terkesan sangat
ganjil. Ungkapan mana yang menempatkannya sebagai objek seksual? Justru,
seperti yang sudah saya bicarakan di atas, Fatin dikritik murni atas
dasar kinerjanya, yaitu keterlibatannya dengan kasus buku kontroversial 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh,
di mana dia berperan sebagai editor buku “puisi esai” dan terlibat
dalam usaha meminta orang lain meresensi buku kontroversial itu.
Perdebatan seputar buku itu terjadi dengan melibatkan banyak penulis,
baik laki-laki maupun perempuan.
Persoalan gender sama sekali tidak
berperan dalam hal ini, termasuk dalam hal kritik terhadap Fatin Hamama.
Tidak ada unsur pelecehan seksual, seksisme, atau penghinaan padanya
khusus sebagai perempuan. Seandainya yang ada di tempat Fatin kebetulan
bukan seorang perempuan, tapi seorang laki-laki, apakah kritiknya akan
berbeda? Saya yakin tidak.
Dalam pernyataannya seputar kasus tersebut di bulan Februari 2014 (di situs merdeka.com),
Fatin Hamama memposisikan diri sebagai penyair yang memang terlibat
sebagai editor dalam penerbitan “puisi esai”, namun menolak disebut
perantara Denny JA. Terlepas dari setuju atau tidaknya kita dengan
pembelaan dirinya tersebut, pemosisian diri itu sesuai dengan sifat awal
perdebatan tersebut, yaitu diskusi antar sastrawan, di mana
masing-masing dinilai atas dasar kinerjanya di dunia sastra. Maka sangat
ganjil bahwa dalam pernyataannya yang lebih baru, yaitu tanggal 23
Oktober 2014, Fatin mendadak memposisikan diri sebagai korban kekerasan
terhadap perempuan. Mengapa kata “penipu” dan “bajingan” yang dipakai
Iwan dan Saut tiba-tiba dikaitkan dengan gender lawan debat mereka? Apa
relevansi keperempuanan Fatin di sini? Dalam pernyataannya yang cukup
panjang, saya sama sekali tidak menemukan penjelasan atas hal itu. Fatin
marah dirinya dimaki. Namun bukankah dirinya dimaki atas dasar
kinerjanya, bukan atas dasar gendernya atau seksualitasnya?
Apakah kata kasar dianggap otomatis
menjadi pelecehan seksual ketika diarahkan pada seorang perempuan? Dan
kata yang mana tepatnya yang dimaksudkan? Di samping kata “bajingan”,
kata “mucikari” juga sempat dipersoalkan. Namun dalam konteks tersebut,
sangat jelas bahwa kata itu dimaksudkan sebagai metafor, bukan sebagai
penghinaan bernada seksual terhadap Fatin.
Yang dikritik adalah
pekerjaan Fatin yang mau-maunya ditugaskan sebagai editor puisi esai
yang mesti merayu penulis lain agar bersedia menulis dengan genre aneh
ciptaan Denny JA tersebut, dengan iming-iming honor yang termasuk
relatif tinggi. Dengan kata lain, Fatin pada mulanya sepenuhnya
dipersepsi dan ditanggapi berdasarkan kinerjanya di bidang di mana dia
melibatkan diri, namun kemudian justru dirinya sendiri mendadak
mengedepankan identitas gendernya, dan minta dipandang sebagai korban
pelecehan seksual, ketimbang menjawab tuduhan yang diajukan padanya di
wilayah intelektual.
Lalu bagaimana kita mesti menilai kata bajingan?
Pendapat mengenai penggunaan kata makian
pasti beragam. Bagi sebagian orang, kata “bajingan” bersifat kelewat
kasar dan tidak sopan untuk digunakan dalam sebuah perdebatan publik.
Bagi sebagian orang yang lain, kata-kata makian seperti itu wajar-wajar
saja digunakan. Bagi saya, kedua pendapat itu sama-sama sah, dan saya
sama sekali tidak ingin mempersoalkannya.
Niat utama saya dalam
pembahasan di atas adalah memilah dengan jelas antara persoalan
kesopanan bahasa dengan pencemaran nama baik dan pelecehan seksual.
Seperti yang sudah saja paparkan di atas, ketiga hal itu sama sekali
tidak sama, tapi harus dibedakan satu sama lain. Gaya ungkap Saut
Situmorang, Iwan Soekri dan sejumlah kawan mereka memang kasar, namun
yang mereka lakukan tidak dapat disebut tindakan kriminal berupa
“pencemaran nama baik” atau “pelecehan seksual verbal.”