Kamis, 02 Januari 2014

Buku, Polemik dan Gosip Dunia Perbukuan 2013

Irwan Bajang*



Catatan Ganti Tahun:

MENJELANG akhir tahun 2012 saya mendapat kabar baik dari banyak teman di dunia perbukuan. Akan banyak buku bagus terbit di tahun 2013. Faktanya memang begitu. 2013 bagi saya secara pribadi adalah tahun di mana buku tak pernah seramai dan semeriah ini dirayakan.

Bertaburannya buku dan animo penulis yang melonjak bisa dibuktikan dengan mendatangi toko buku dan selalu ada buku yang baru. Facebook, twitter , blog dan portal-portal tulis-menulis diriuhkan dengan buku-buku dari penulis yang baru saja rilis. Ajang lomba penulisan dipenuhi oleh penulis baru. Ramai. Ramai sekali. Sepanjang tahun. Seperti ramainya poster-poster politisi yang ngebet ingin sekali diperhatikan di seluruh ruas jalan Indonesia. Tanpa terkecuali.

Banyak buku bagus terbit, meskipun beberapa gosip yang saya tunggu realisasinya tak kunjung juga terbukti. Eka Kurniawan konon akan menerbitkan buku tahun 2013. Tapi toh akhirnya cuma konon. Puthut EA kabarnya juga akan menerbitkan buku fiksi lagi, entah novel atau kumpulan cerpen, tapi nihil. Beberapa buku Puthut yang terbit adalah buku nonfiksi. Kabar yang baik. Tapi sesungguhnya saya menunggu fiksinya. Cerpen-cerpennya sudah lama saya tunggu. Eka Kurniawan berhenti dari riuh sosial media dengan menonaktifkan akun-akunnya.
Saya kira akan ada buku yang terbit, tapi nyatanya belum juga. Buku ketiga trilogi Sepatu Dahlan konon juga akan terbit, tapi nyatanya belum.
Beberapa penulis muda yang saya sukai karyanya juga berencana seperti itu, tapi akhirnya kandas atas nama revisi, rasa malas dan hal-hal lain yang tak terjelaskan.

Riuhnya buku di tahun 2013 akan saya coba rangkum dalam tulisan ini. Bukan hanya buku yang terbit, tapi beberapa hal yang melingkupi dunia perbukuan. Isu, gosip dan beberapa polemik buku.

Sebelumnya, saya ingin melakukan konfirmasi awal: Bahwa tentu saya tak bisa menulis semua buku yang penting dan tidak penting di tahun 2013. Beberapa catatan di bawah ini hanyalah catatan pribadi dari buku-buku yang saya ikuti. Data buku yang tampil juga hanya buku yang saya baca. Saya tak mau menambahkan buku yang masih saya raba-raba. (Pengecualian untuk beberapa buku yang belum saya baca akan saya berikan keterangan.) Demikian.

Buku-Buku yang Merah dan Marah

·      Edisi 5 Tahun bemipoetra 

Tahun buku 2013 yang panas ditandai dengan munculnya terbitan Edisi Lengkap 5 Tahun Jurnal Sastra boemipoetra. Buku ini menjadi genderang baru lagi perang lama yang nyaris tidak pernah antiklimaks. Sejak 2007, bahkan sebelumnya, boemipoetra melakukan serangan terhadap Salihara. Komunitas yang berbeda dan dianggap menjadi pusat kanonisasi sastra terbesar yang harus dihancurkan dominasinya.

Sebelum dirilis menjadi edisi lengkap selama lima tahun, boemipotera awalnya adalah sebuah jurnal sastra. Jangan mengharapkan jurnal yang sopan-santun seperti jurnal terbitan Balai Bahasa atau keluaran Fakultas Ilmu Budaya. Jangan. Gaya tulis redaktur jurnal ini tentu sangat berbeda. Dalam sebuah ulasan, Muhidin M Dahlan, kerani Indonesia Buku, membandingkan jurnal sastra ini dengan tulisan-tulisan Tirto Adhi Soerjo yang menyebabkan ia disandera hingga tak berkutik pada 1913. Mas Marco Kartodikromo, jurnalis didikannya mendirikan Indlandsche Journalisten Bond (IJB), 1914. Goentoer Bergerak dan kemudian Doenia Bergerak dengan menggunakan bahasa melayu pasar, meledak-ledak, dan bahkan urakan. Kata ‘kowe,’ ‘pantat’ tanpa ragu dipakai memaki Priyayi Jawa. Muhidin menyebt boemipoetra sebagai titisan tradisi pembangkangan yang pernah dilakukan Marco, bocah tengil punk dari golongan nonpriyayi.

Dibandingkan dengan jurnalisme yang menjadi nenek moyangnya, boemipotra tampil dengan cara yang tak berbeda. Taburan makian seperti ‘monyet,’ ‘sampah,’ ‘penjahat’ dan kata sejeninya tercecer hampir di semua badan jurnal, terutama catatan editorial yang mencerminkan ke mana ideologi para penggeraknya diarahkan.

Ilustrasinya tak kalah gahar. Beberapa kali ilustrasinya menghadirkan sosok Goenawan Mohamad (GM) yang menjadi fokus serangan. Selain membuat akronim GM sebagai Gundul Moyet, Salihara menjadi Salaharah, foto GM ditampilkan juga dengan ilustrasi ‘monyet,’ foto Kebo untuk SBY dan ilustrasi lain khas gaya pamflet. Sejajar dengan zine-zine punk, ciri dan identifikasi diri telah berhasil dilakukan boemipoetra. Tapi tentu bukan hanya makian dan ejekan kasar yang ditampilkan, beberapa esai/kritis mendalam ditulis dengan memenuhi syarat ilmiah penulisan kritik sastra.

Sejatinya, bundel boemiputra terbit di ujung tahun 2012, namun distribusi dan diskusi buku baru dimulai di awal tahun berikutnya. Semoga saya tak salah jika harus menjadikannya buku ini sebagai buku pembuka dan buku yang ramai dibicarakan di tahun 2013.

Menanggapi buku ini, Goenawan Mohammad yang diserang seperti biasa selalu anteng dan tak merespons, malah sempat membuat twit yang saya yakin diarahkan ke Saut Situmorang, salah satu redaktur boemipotera yang getol membuntuti GM di dunia maya.

Percuma meladeni, buang-buang waktu saja,’ tulis Gunawan di salah satu kicauan mayanya. GM sepertinya sedang mencari aman seperti sejak awal. Namun kasus panas akhir tahun yang menimpa Sitok Srengenge, seorang kurator Salihara, membuat banyak sekali serangan baru—baik yang sejenis dan seideologi dengan boemipoetra atau dengan kepentingan lain—memiliki celah baru untuk melakukan serangan.

Di senjakala usianya, GM tampak tetap ingin tampil jumawa dan tenang. Saya sepakat dengan Puthut EA di sebuah tulisannya berjudul Catatan Samping yang membuat pengandaian GM dengan Soeharto. ‘Semua bisa dilakukan oleh para pakar strategi yang hebat seperti Suharto dan Pak Goen. Musuh mereka hanya satu: waktu.’ Tulis Puthut.

Kekerasan Politik Budaya 1965

Martin Suryajaya kembali tampil dan membuat geger. Anak kecil—jika dibandingkan dengan GM mungkin terpaut empat sampai lima dekade—ini meresensi buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 karya Wijaya Herlambang (November 2013). Martin menghadirkan beberapa fakta baru. GM dituding menjadi agen CIA, padahal sebelumnya oleh boemipotra, GM sendiri dituding sebagai antek imperialis Amerika dan merusak budaya Indonesia.

Martin menampilkan beberapa arsip memo Ivan Kats yang menunjukkan kedekatannya dengan GM. Nasib Martin lebih baik, wacana dan diskursus yang ingin ia bangun tak bertepuk sebelah tangan. Tak seperti boemipetra yang dicuekin, GM menjanjikan menulis tiga seri jawaban untuk satu catatan Martin.

Tanggal 10 Desember GM menulis di blognya. Balasan pertama berisi memoar dan perkenalan. Tulisan GM ini menurut saya penting, setidaknya sebagai pembuka secara kronologis dan bagaimana GM nanti akan menguraikan dan menjelaskan memo anjuran buku apa saja yang diusahakan terjemah dan terbit di Indonesia, seperti yang diurai Martin.
Selain itu, penting bagi GM untuk menjawab seberapa jauh keterlibatannya dengan Ivan Kats. Situs indoprogress yang memfasilitasi diskusi itu bahkan jebol karena overbandwidth. Hal ini menandakan bahwa respons pembaca sangat besar dan perdebatan ini menyita perhatian publik secara serius.

Dua jawaban yang dinantikan banyak pembaca tak kunjung muncul. Sampai tulisan ini saya tulis di ujung tahun, GM belum menambahkan apapun. Mungkin GM punya PR menyelesaikan beberapa perkerjaan, terutama menulis Caping rutin seperti biasa.

Dalam buku ini, Wijaya mempublikasi penelitiannya sekaligus mengabsen beberapa budayawan yang dibayar dan didanai untuk mengawal kekerasan secara kultural terhadap komunisme pasca tragedi berdarah 1965. Menurut Wijaya, Goenawan Mohamad, Mochtar Lubis, Taufiq Ismail dan beberapa nama lain punya kaitan kuat dengan agen CIA bernama Ivan Kats. Buku yang tadinya adalah tesis doktoral Wijaya Herlambang ini setidaknya memberi catatan penting bahwa beberapa desas-desus tentang agen CIA yang banyak dibicarakan berhasil ia buktikan lewat penelitian ilmiah.

·      Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas 

Wijaya Herlambang menerbitkan buku di bulan November. Di penghujung tahun, Katrin Bandel menulis sebuah buku kritik sastra, Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas. Respon atas buku Katrin memang belum banyak terlihat. Sebab buku itu sendiri baru saja diedarkan beberapa minggu sebelum Desember berakhir dengan gegap gempita perayaan kembang api pergantian tahun. Tapi dengan terbit di ujung tahun, gaung buku ini akan masih sangat menggema dan berlanjut. Katrin seolah mengeluarkan jurus pamungkas tahun ini. Menutup tahun yang panas dengan memantik diskusi yang lebih panjang lagi di tahun 2014 nanti.
Meskipun mayoritas esai yang terbit di buku Katrin ini sudah terbit di jurnal sastra boemipoetra, tapi dalam pengantarnya Katrin menjelaskan beberapa hal. Ia merevisi banyak data, info dan tulisannya. Buku ini merekam 7 tahun perjalanan baru Katrin Bandel. Sebelumnya, pada tahun 2006, ia telah menerbitkan buku Sastra, Prempuan, Seks. Buku tulisan Katrin ini menarik, sebab ia menulis dengan jernih dan dengan bahasa Indonesia yang sangat baik. Catatan kaki yang lengkap membuat buku kritik sastra ini menjadi buku kritik sastra dengan metode ilmiah yang terpenuhi.

Dalam buku ini, Katrin menulis banyak permasalahan satra di Indonesia, mulai dari ketidaktersediaan ruang apresiasi yang cukup di majalah/jurnal sastra, klaim beberapa pihak tentang karya yang harus dibaca dan tidak dibaca, juga ulasan dan kritik mendalam dari beberapa karya sastra terbaru dan klasik di Indonesia. Sastra Tionghoa, karya terbaru, populer, sampai polemik terjemahan karya Andrea Hirata masuk dalam tulisan-tulisan panjang dalam buku ini.

·      Buku Puisi Jokpin vs Afrizal Malna: Kepayahan Jokpin dan Kebuntuan Afrizal 

Kebingungan pertama saya untuk buku Joko Pinurbo (Jokpin) kali ini adalah susahnya mencari buku ini di toko buku. Ketika sampai di toko buku langganan, sengaja saya tidak memakai komputer pencarian buku yang tersedia. Selain ingin juga mencari judul lain di rak sastra dan puisi, toko buku bagi saya adalah serupa area wisata. Kita bisa menemukan buku-buku tak terduga dan tak terencana sebelumnya. Toko buku sesekali menjadi lokasi wisata yang menyimpan banyak rencana dan kejadian tak terduga. Tapi ternyata saya salah. Buku ini tidak saya temukan di rak sastra. Saya cari di rak budaya, rak buku baru, juga tidak terlihat. Saya menyerah.

Akhirnya saya memakai komputer pencarian yang tersedia. Alhasil, buku ini saya temukan dideretan buku-buku komik, berdekatan dengan buku humor dan buku cerita anak-anak. Jokpin teronggok bersama komik lucu Beni-Mice yang sudah pecah kongsi. Tidak heran, sebab sampulnya yang warna-warni dan judul yang agak ‘alay’ membuat buku ini sekilas bisa saja digolongkan dengan buku-buku semacam ini. Buku saya beli dan saya bawa pulang. Tak sabar rasanya membuka segera.

Apa isi buku ini? Membukanya, saya harus menarik napas agak dalam. Panjang dan dalam. Jauh dari ekspektasi yang saya bayangkan sejak awal.

Kesan pertama melanggengkan kesan sampul buku. Kumpulan puisi Jokpin kali ini seperti buku anak-anak yang ditaburi kalimat-kalimat lucu. Atau buku serupa desain buku anak yang dihiasi kalimat bijaksana, atau anggap saja seperti kumpulan kata-kata mutiara. Tentu buku Jokpin isinya bukan kata-kata mutiara. Tapi puisi dalam buku ini diandaikan secara visual oleh sang ilustrator cenderung secara verbal, layaknya ilustrasi untuk buku anak.

Puisi dalam Haduh Aku Di-Follow (Februari 2013) memang segar. Saya tidak bisa tidak untuk mengakui ini. Yang saya sayangkan adalah tipe buku yang cenderung terlihat tergesa-gesa. Jokpin seperti sedang mencuri dan memanfaatkan momentum ledakan sebuah situs jejaring sosial bernama Twitter . Kata-katanya dalam buku masih khas Jokpin, penuh kejutan, satire-satire lucu yang kadang membuat miris dan geli bercampur kesal dalam diri. Tapi eksplorasi Jokpin nyaris tidak ada!

Tadinya saya mengira buku ini akan menyajikan beberapa puisi yang pernah ditwit, lalu akan dikombinasikan, dirangkai ulang, ditambahkan dan dikurangi beberapa kata, lalu disusun lagi menjadi puisi komplit yang panjang. Maksud saya, Jokpin tak hanya berhenti pada kaidah puisi twitter, tapi masih mengacu pada puisi standar yang selama ini dia tulis. Setidaknya puisi gaya Jokpin. Nyatanya, hanya ada puisi-puisi yang panjangnya tak sampai 140 karakter. Itu saja. Tak ada yang lebih.

Awalnya saya kira Jokpin memanfaatkan jejaring sosial twitter untuk menulis kilasan-kilasan ide yang mucul, atau penggalan-penggalan puisi yang tak utuh di kepalanya. Mengetik 140 karakter jelas membutuhkan waktu yang sangat singkat, jauh lebih singkat dari menyusun kalimat-kalimat menuju puisi seperti kebanyakan. Apalagi kalau twit yang dimaksud (baca: puisi) itu dimaksudkan hanya untuk bercanda. Karya ditulis saat itu juga, dipublikasikan dan dijadikan saat itu juga. Jokpin menjulis di twitter lalu mengalihkan puisi pendeknya itu ke medium buku.

Ruang 140 karakter yang bisa jadi hanya syarat mutlak puisi twit ternyata tak berarti apa-apa bagi Jokpin. Ruang twitter hanya menentukan batasan mengetik dan kepadatan kata-kata. Jokpin tak melakukan eksplorasi.

Kita mengenal karya sastra pendek yang telah lahir jauh sebelum era twitter. Haiku atau pantun, adalah contohnya. Haiku dibatasi dengan syarat mutlak, harus tersusun atas 7-5-7 suku kata. Ketika seorang penulis menganggap dirinya menulis Haiku, maka ia tidak bisa keluar dari formulir yang telah disepakati tersebut. Ada syarat mutlak yang tak bisa diubah. Demikian juga dengan Pantun. Pantun harus ditulis bersajak ab-ab. Jika tidak, maka gagallah ia sebagai pantun. Ada juga Soneta, Gurindam, Suluk, Syair dan lain sebagainya. Semua tipe karya sastra tersebut punya syarat masing-masing dan tak bisa diingkari.

Jokpin menerapkan syarat yang terlalu gampang untuk sebuah genre baru puisi twitter yang ia sebut putwit. Tak perlu banyak syarat, ketik dan yes! Terkirim ke khalayak pengikut akun.

Mengamati puisi dalam buku ini, setidaknya saya bisa melihat sedikit keseriusan Jokpin menulis dan menyusun twitnya. Ia melakukannya dengan sadar, sesekali dengan satu tema yang berkelanjutan. Hal ini dibenarkan dengan sebuah petunjuk yang ia beri nama Legenda di awal-awal halaman buku. Juga dengan peta kronologis yang ia susun untuk membantu pembaca melihat jejak-jejak karya yang ia susun. Daftar isi di awal dibuat dengan peta. Puisi bulan Januari dari halaman 1, Februari dari halaman 26, Maret 31 dan seterusnya. Juga daftar isi yang disusun di belakang menjadi indeks dengan tema-tema yang disusun secara sistematis.

Nanang Suryadi, atau Agus Noor, setahu saya, menulis dulu di twitter, lalu merangkai kembali kumpulan twitnya, menambahkan yang penting, menghapus yang tidak penting. Membuang, menambal, menghadirkan kata-kata baru untuk mendukung keutuhan puisinya. Mereka menerbitkannya menjadi buku setelah melalui proses ini. Saya kira Jokpin akan begitu. Nyatanya tidak. Meskipun secara sadar menyusun twitnya, tapi pemindahan twit ke dalam buku tanpa ada perubahan apapun bagi saya adalah sebuah bentuk kemalasan.

Dalam buku ini, saya seperti merasa kehilangan puisi bagus Jokpin. Akan lebih nyaman mengikuti akun twitternya, memilih puisi mana saja yang saya sukai secara acak, menjadikannya favorite atau sesekali meretwit untuk saya sampaikan lagi pada follower yang ingin membacanya. Buat apa memindahkan kumpulan kicauan di dunia maya ke dalam buku? Kalau tak ada hal baru yang ditawarkan, diamkan saja akun twitter itu dan jangan cetak!

Di buku kumpulan puisi twitter nya ini, Jokpin mungkin ingin menunjukkan identitas puisinya yang berbeda dari sebelumnya. Seperti yang ia katakan; ‘saya tidak ingin puisi saya dicap erat dengan celana terus, saya ingin meninggalkan celana. Ketika penyair tak bisa lepas dari cap yang menempel itu, maka penyair mati kreativitasnya. Saya tidak ingin mati’ (Tempo, 7-13 januari 2013).

Namun bagi saya, Jokpin tetap gagal! Puisi dalam buku ini bahkan tidak lepas dari ‘celana’, “Waduh, celanamu tertinggal di dalam sajakku/Sajakku terkunci dan aku tak tahu di mana kuncinya” Tak ada eksplorasi apapun, bahkan tidak ada keseriusan menghadapi abad baru dunia twitter yang hanya 140 karakter. Tidak ada yang istimewa.

Visualisasi yang sangat ramai, bahkan cenderung menjadi sangat pop dengan balutan full colour seolah menegaskan pasar yang sedang dibidik oleh penulis/penerbit buku tersebut. Alih-alih eksplorasi atau ingin melepaskan diri dari cap yang menempel padanya, Jokpin lebih mirip dengan selebtwit baru yang mengumpulkan lalu mencetak kata bijak, jenaka, puisi atau apa saja yang ada di twitnya untuk dijual dengan harapan, siapa tahu follower membeli. Lumayan.

Jika saya diizinkan bisa membalik dan menyelamatkan Jokpin, saya ingin menjadikannya usia 15 tahun dan buku twit-twit ini adalah buku pertamanya! Bukan buku yang lahir setelah era puisi-puisi bagus yang pernah ia tulis. 

Museum Penghancur Dokumen, Afrizal Malna

Lain Jokpin. Lain lagi Afrizal. Ketika menyandingkan atau menulis puisi seperti Afrizal, penyair lain harus menimbang banyak hal. Afrizal menulis puisi dengan cara berbeda baik di generasinya, di generasi sebelumnya atau generasi terkini penyair muda Indonesia. Bukan hanya dalam tema maupun diksi, Afrizal unggul dalam kedalaman dan pilihan hal yang akan dibahas dalam puisinya. Kuatnya Afrizal, bahkan membuat penyair lain yang menulis mirip Afrizal dianggap Afrizalian.

Dalam epilog buku Museum Penghancur Dokumen (April 2013), Afrizal menyatakan ingin mengopipaste berkali kali beberapa kata. Ia tampaknya buntu. Jengah dengan eksplorasinya, atau setidaknya sedang menemukan sebuah titik jenuh keafrizalannya. Afrizal dalam buku ini tampak mencari celah-celah baru untuk keluar dari ruang puisi yang telah ia bangun. Tapi ia kesusahan. Eksperimen puisi dalam bentuk garis, kotak dan beberapa puisi khas Afrizal ia masukkan dalam buku ini menunjukkan ke arah mana Afrizal ingin bergerak bersama puisinya. Afrizal tampaknya sedang gundah. Buntu.

Jokpin punya ciri khas, sama seperti Afrizal, tapi eksplorasi Jokpin dan Afrizal berbeda. Jauh berbeda dan jauh kadar keseriusannya. Buku mereka sama-sama terbit 2013 dan Afrizal berhasil. Jokpin entah. Sebagai penyair yang tekun dan berbeda, menunggu puisi Afrizal akan menjadi momen yang seru bagi saya pribadi.

Kesalahan besar dalam Museum Penghancur Dokumen justru datang dari penerbit buku. Penjilidan buku seperti lem fotokopian harusnya membuat malu sang penerbit yang berada di Jogja. Terlebih ia tidak sedang menggarap buku penyair atau buku puisi yang biasa saja. Kalau kualitas cetak buku ini diterapkan untuk kompilasi penulisan puisi hasil lomba berbayar yang banyak kecurangannya dan dilakukan oleh penerbit abal-abal, saya rasa wajar. Tapi untuk buku ini? Halo Mas Penerbit, Jogja itu gudang buku dan penerbit, kenapa jilid buku Afrizal kayak fotokopian? Jogja akan malu melihatnya!

Di luar dua buku penyair tersebut, ada banyak lagi buku puisi yang terbit.
Penyair senior—maksud saya yang sudah lebih awal menulis puisi—atau penyair baru juga banyak menerbitkan buku. Kopi, Kretek, Cinta, Agus R Sardjono, (Juni 2013); Penyair Midas, Nanang Suryadi (April 2013); Telapak Air, Soni Farid Maulana, (Maret 2013), adalah beberapa bagian dari penyair yang menerbitkan buku puisi di tahun panas 2013.
Penyair baru yang muncul dari dunia baru di luar koran minggu dan majalah sastra, juga ramai-ramai menerbitkan buku. Gampangnya, produksi wacana dalam bentuk buku, dukungan teknologi print on demand dan menjamurnya penyedia layanan jasa menerbitkan buku turut memberi andil fenomena ini.

Sebagian penyair muda yang tekun dan rajin, Adimas Immanuel, Mario Lawi dan beberapa penulis muda tekun lainnya dapat dibilang berhasil dalam bukunya. Sisanya hanya memproduksi buku berisi sampah paradoks antara kemudahan publikasi dan hasrat popularitas yang makin menjangkiti penulis muda. Demam selebtwit menerbitkan buku dan menganggap follower mereka adalah pasar potensial bagi sebagai pembeli, membuat jumlah buku yang terbit seperti banjir Jakarta yang tak pernah bisa dibendung di musim hujan.

Buku-Buku, Komentar Suram dan Ajang Penghargaan 

‘Turut berduka untuk sastra Indonesia sedalam-dalamnya, karena karya AS Laksana “Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu” yang menjadi benteng terakhir sastra Indonesia bermutu di tahun ini tidak memenangkan Khatulistiwa Literary Award untuk kategori prosa,’ tulisan Linda Christanty di akun facebook nya beberapa saat setelah pengumuman pemenang kategori prosa Khatulistiwa Literary Award (KLA) diumumkan.

Pulang karya Leila S Chudori. Novel ini sejak awal memang ramai dibicarakan, sama seperti Amba karya Laksmi Pamuncak. Kedua novel yang terbit di penghujung tahun 2012 ini, menurut Goenawan Mohamad dalam Caping nya, adalah dua novel yang penting karena ’ Amba melawan itu: menghadirkan orang-orang yang tersingkir dari catatan tahun 1965—dan begitu pula Pulang.’  Berbeda dengan Dea Anugrah, yang menyatakan tokoh-tokoh antagonis dalam Pulang terlalu menampilkan sisi gelap dan memiskinkan Pulang sebagai sebuah karya sastra. Alwi Atma Ardana malah menyatakan ada hal ambivalen tentang korban yang ada di Amba dan Pulang, sebab keduanya berangkat dari sinisme pada ideologi. Ideologi Komunisme.

Lepas dari beberapa pendapat itu, Murjangkung menurut saya memang jauh lebih unggul dari keduanya. Dalam hal ini, saya sepakat dengan pilihan Linda. Dari segi capaian dan kualitas tulisan, AS Laksana lebih berhasil menyuguhkan cerita yang menarik. Bukan hanya ide sederhana yang dia olah dengan kelancaran menulisnya, tapi juga beberapa absurditas yang berhasil ia jaga dengan mempertahankan logika yang tak lepas adalah salah satu kelebihan Murjangkung.

Komentar Linda tentang ketidakterusterangan juri menjadi fokus utama kritik yang ia lancarkan. Salah seorang juri tadinya adalah publisis untuk novel yang menang dalam ajang penghargaan tahunan KLA tersebut. Tapi Damar, sang publisis, telah memberi konfirmasi bahwa ia tak lagi memegang publikasi novel yang bersangkutan. Pengaruh seorang juri terhadap semua juri yang ada juga ditepis Damhuri Muhamad sebagai koordinator juri. Entah konfirmasi itu bisa menjawab pertanyaan Linda atau tidak, lepas dari itu, komentar Linda dan beberapa gugatanya memberi ruang introspeksi bagi juri di periode berikutnya.

Saya tak membahas novel terbaru Okky Madasari, sebab saya berhenti membaca di dua buku pertamanya, Entrok dan 86. Okky punya peluang lebih dengan kemampuan jurnalis dan bahasan kasus sosial yang kuat. Saya suka gagasan Okky, tapi tentunya gagasan kuat harus ditulis dengan kuat juga. Terlebih jika dihadirkan ke medium sastra. Saya membaca dua buku lain, Pasung Jiwa dan Maryam, tapi tidak merampungkannya.

Jika ada juara dua KLA untuk kategori prosa, saya berharap besar pada Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya karya Dewi Kharisma Michellia (Juni 2013). Sebagai penulis termuda di antara lima karya prosa yang masuk nominasi, Michellia malah menunjukkan capaian yang lebih jauh dengan usia sebelia itu.

Travel Writer Abal-Abal dan Sesungguhnya

Sudah lumayan lama perbukuan Indonesia diramaikan dengan hadirnya traveler yang menulis, mengabarkan ke mana pergi, berapa biayanya, bagaimana gratis datang dan di mana makan paling enak. Beberapa penerbit malah mengadakan sayembara dan memberi dana bagi penulis untuk jalan-jalan ke luar negeri dan menulis jenis buku ‘Liburan ke Suatu Tempat dengan Dana Sekian Rupiah.’

Ruang bagi para traveler kacangan makin luas. Mereka memotret dengan ponsel pintar lalu mengunggahnya di instagram. Beberapa orang menganggapnya harus menulis catatan tersebut, menerbitkan di blognya bersama galeri foto nasris dengan narasi yang biasa-biasa aja. Beberapa penerbit menerbitkannya atas sponsor hotel atau jasa layanan travel. Maka lahirlah catatan perjalanan yang, kalau tak berisi pamer, hanya berisi pengalaman turis yang terpukau pada keindahan dan eksotisme sebuah kawasan asing. Lalu banjirlah toko buku dengan buku-buku menyedihkan tersebut.

Agustinus Wibowo melalui Titik Nol (February 2013), bagi saya jauh lebih menarik dari hampir semua travel writer yang menerbitkan buku di Indonesia. Ia membicarakan sebuah perjalanan bukan hanya dalam, kerangka datang, taklukkan, dan kabarkan, lalu ceritakan ke orang dan beri foto, maka orang-orang akan mengikuti jejakmu! Tidak. Agustinus tidak menulis seperti itu. Ia menulis banyak hal tentang manusia dan kemanusiaan dalam perjalanan.

Perjalanan, bagi Agustinus, bukan hanya uji nyali seberapa kuat kamu bertahan untuk berjalan jauh dengan modal pas-pasan a la backpakker-hippies yang ingin menaklukkan dunia dan mencari hiburan alternatif. Juga sama sekali bukan tentang bagaimana mendapat voucher hotel dan tiket gratis dari agen pariwisata. Membaca Titik Nol, bagi saya, adalah membaca kemenangan menulis Agustinus terhadap para travel writer lainnya. Ia berhasil menulis catatan perjalanan yang bagus dan menggiring pembaca menjadi seolah membaca novel berisi liputan jurnalistik, atau sebaliknya, jurnalistik yang ditulis dengan gaya sastra.

Keberhasilan utama Agustinus ialah menyelesaikan perjalanan dan menulisnya menjadi buku tebal yang bagus. Agustinus berhasil keluar dari ragam buku traveler Indonesia, seperti catatan perjalanan paling laris Naked Traveler tulisan Triniti. Tak ada daftar harga hotel murah, foto makanan dan berapa tarif untuk sampai ke sana dalam Titik Nol. Agustinus mencatat dan pembaca seolah diajak menyaksikan musyafir lata yang luntang-lantung ke sana ke mari. Perjalanan yang ia ceritakan bukan hanya perjalanan fisik tapi perjalanan manusia menemui manusia lainnya. Juga perjalanan spiritual. Terlebih adegan buku ini ditulis juga dengan sangat dekat memasukkan unsur paling impressif yang susah ditolak manusia; kehilangan orang yang paling disayangi dan paling berjasa dalam hidup: Ibu.

Hampir dapat rating sempurna di situs goodreads. Buku ini menjadi salah satu buku yang saya puji secara pribadi di tahun 2013 ini. Buku ini membuat saya, untuk pertama kalinya, datang dan begitu antusias untuk diskusi dan bedah bukunya. Hehe.

The Naked Traveler, Across the Indonesian Archipelago (Oktober 2013) karya Triniti, bagi saya masih masuk sebagai kategori pertama, kategori di luar gaya Agustinus. Terbitnya buku Naked Traveler berbahasa Inggris malah membuat saya bingung dan bertanya. Kenapa harus nulis dalam bahasa Inggris/diterjemahkan jika hanya beredar di Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Indonesia? Apakah buku ini akan menjadi guide book baru yang dijual di bandara untuk para bule? Agar para wisatawan makin gampang mendapat info ke mana berlibur yang asik? Duh!

Beberapa Kasus Buku, Penulis dan Penerbit di Tahun 2013

·      Andrea Hirata vs Damar Juniarto: Penulis Megabestseller vs Blogger 

Hampir saja saya lupa. Tahun baru 2013 dibuka juga dengan sebuh isu buku yang panas. Awal tahun, Andrea Hirata digugat Damar Juniarto, seorang blogger dan publisis. Bukan permasalahan tentang buku. Ini permasalahan eksistensi Andrea dan bagaimana branding di dunia internasional. Kasus ini juga dibahas Katrin dalam buku terbarunya Sastra Nasionalisme Pascakolinalitas.

Pada tulisannya di Kompasiana, Damar membuat sebuah kecaman yang mengagetkan; ‘Label “International Best Seller” yang dasar penetapannya tidak jelas ini ternyata dipergunakan Andrea Hirata untuk mengolok-olok sejarah sastra Indonesia selama kurun kurang dari seratus tahun.’
Andrea Hirata memberitakan dirinya telah menandatangani kontrak perjanjian dengan pihak penerbit Farrar, Straus and Giroux (FSG).

Kabarnya, buku ini akan diterjemahkan bersama dengan karya deretan para peraih nobel. Dengan ini, Andrea dan krunya mungkin sedang ingin menaikkan citra di dunia perbukuan. Dengan klaim tersebut, juga sebuah pernyataan kontroversial; ‘Hampir seratus tahun kita menanti adanya karya anak bangsa mendunia, tapi Alhamdullilah hari ini semua terbukti setelah buku saya menjadi bestseller dunia.’  Andrea menjadi perbincangan seru dan panas. Damar menemukan data bahwa penerbit Rainbow Troops—Edisi Bahasa Inggris Laskar Pelangi—bukan diterbitkan FSG, melainkan lini lain yakni Sarah Crichton Books, lini penerbitan buku komersil dan bukan buku sastra serius. Banyak pihak mengecam Hirata dan seolah sedang meremehkan penulis lain di Indonesia. Banyak juga yang memujinya dan melihat berita ini sebagai berita bagus dan apresiasi yang cukup untuk tulisan-tulisan Andrea Hirata.

Ribut buku ini membuat Katrin Bandel menulis juga beberapa kejanggalan dalam bukuRainbow Troops, mulai dari adanya tambahan tokoh, alur yang berubah, sampai pertanyaan besar; apakah buku ini disadur atau diterjemahkan utuh?

Damar hampir dipidanakan, diseret ke meja Hijau oleh si Ikal Andrea, tapi sampai akhirnya, kepanasan ini meredup, karena banyak penulis lain di media menyikapi hal ini dan Andrea cenderung memilih diam. Ia mengumumkan sebuah surat balasan buat Damar. Yusril Iza Mahendra sebagai penasehat hukum Andrea sendiri meminta penyelesaian di jalur damai.

·      Novel Jokowi, Nasib Penulis di Hadapan Penerbit dan Sutradara Mesum-Horror K.K Deraj 

Beberapa kali mendengar keluhan penulis yang dikibuli penerbit pada tahun-tahun sebelumnya, saya mulai optimis di tahun 2013. Saya mengira kasus-kasus semacam ini akan segera berakhir. Nyatanya tidak! Keterbukaan media yang berada diujung jari, saya kira akan membuat kapok banyak penerbit nakal. Nyatanya tidak. Di sebuah grup diskusi facebook yang berisi daftar panjang penerbit nakal, keluhan penulis dan kecaman terhadap penyelenggara lomba menulis, masih banyak saya temui kecurangan. Sebuah kasus penulis dan penerbit terjadi antara Gatot Suroso dan Ufuk Press.

Kasus Gatot Suroso, penulis novel Jokowi Si Tukang Kayu dengan penerbit Ufuk Press menjadi salah satu lagi potret sial penulis Indonesia. Saya belum baca buku ini, saya tak bisa mereviewnya dan hanya menceritakan sedikit beberapa fenomena dan kejanggalan yang ada.

Kisahnya buku akan diangkat menjadi film, namun sampai film sudah mulai diproduksi, sang penulis bahkan mengaku belum mendapatkan royalti dari bukunya (royalti tidak dibayar tepat waktu). Bereder isu bahwa sampul bukunya akan dijadikan poster film besutan K.K Deraj, sutradara sekaligus pemilik rumah K2K Production K.K Deraj, yang konsisten memproduksi film-film kancrut, komedi sangek yang kebanyakan tolol dan sama sekali tidak lucu. Tentu saja Gatot tak tinggal diam, kasus ini menjadi ramai dibicarakan banyak pihak.

Tapi toh akhirnya film Jokowi rilis juga. Kasus ini mengambang begitu saja. Prestasi K2K Deraj mendatangkan bintang porno dan Mr. Bean palsu, sedikit banyak bisa ia perbaiki dengan membuat film yang agak beres. Konon Jokowi tidak terlalu sreg dengan film dan tokoh ini. Saya kurang tahu.

Harusnya pristiwa ini menjadi pelajaran penting bagi penerbit. Bahwa tidak zaman lagi penulis tidak bisa memiliki posisi tawar. Seorang penulis bisa saja bicara di dunia maya dan ketika bangun tidur, seorang CEO penerbitan bisa kalang kabut karena tulisan gugatan sudah menjadi headline di beberapa blog, portal atau sudah menjadi trending topic di jejaring sosial.

·      Buku Terakhir Trilogi Sepatu Dahlan Tidak Ditulis Khrisna Pabichara?

Buku biografi dan autobiografi ramai sekali sejak tahun 2012. Khrisna Pabichara mengambil jalan lain, ia menceritakan tokoh bukan melalui biografi, tapi lewat novel.

Salah satu yang ramai dan saya tahu adalah Sepatu Dahlan dan seri keduanya, Surat Dahlan. Meski Surat Dahlan tak seriuh buku sebelumnya, tapi respon pembaca tak bisa dibilang sedikit. Angka penjualan dua buku ini masih mengagetkan. Trilogi buku ini disebut banyak pihak menjadi salah satu buku yang paling banyak dibaca di tahun 2013.

Peluit pencoblosan segera ditiup, namun buku ketiga tak kunjung terbit. Di pertengahan tahun, Khrisna malah mengumumkan dirinya tak lagi menulis di buku ketiga. Gosipnya, riset belum selesai, sementara penerbit sudah ingin segera bukunya terbit. Khrisna yang tak ingin bukunya menjadi alat kampanye, ditambah belum siap rampunya riset untuk menulis novel ketiga, belum memberikan sinyal buku segera terbit. Lalu tiba-tiba terdengar kabar ada penulis lain. Bisa jadi ada masalah serius antara penulis dan penerbitnya. Saya tidak terlalu paham. Yang pasti, saya ragu dan akan bingung menilainya. Sebuah trilogi ditulis penulis lain bukan lagi layak disebut sebagai buku dengan identitas yang sama. Kecuali penulis memiliki rumusan baku untuk menulis novel tersebut, seperti sebuah buku tutorial menginstal windows 8 di komputer baru, misalnya. Tapi toh ini bukan kabar burung. Khrisna sudah mengumumkannya di pertengahan tahun.

Jika ada penulis lain, saya menyarankan tak mengekor lagi pada dua buku sebelumnya. Anggap saja Khrisna batal menulis trilogi. Si penulis baru silakan membuat buku lain dengan identitas/ciri buku yang lain. Lebih keren menurut saya. Kecuali buku ini masih ingin mengekor dari popularitas buku sebelumnya.

Capaian Khrisna, misalnya, terlihat dari tulisannya dalam cerpen Gadis Pakarena (2012). Eksplorasinya tentang kebudayaan tanah kelahirannya, lalu tema yang diangkat, kekuatan tokoh dan narasi adalah modal yang bagus. Setidaknya, bisa menjadi acuan dan jaminan bagaimana sebuah novel biografi kemudian ia tulis. Tugas penulis buku ketiga adalah menyamai atau melampaui Khrisna dalam menulis dua buku sebelumnya. Kalau tidak, hentikan penulisannya, buat buku lain.

Ramalan Buku 2014

Sebenarnya saya ingin menambahkan satu buku, Anak-Anak Revolusi tulisan Budiman Sujatmiko yang terbit menjelang pergantian tahun. Tapi saya tak kunjung menemukannya. Buku ini ramai dibicarakan di ujung tahun. Tapi saya belum punya bukunya. Konon harganya mahal, kalau masih terbeli saya akan beli dan baca. Saya geli membaca beberapa resensi yang ditulis untuk buku ini. Bahkan salah satu resensi menyamakannya dengan otobiografi Soeharto. Ia menulis H. Muhammad Budiman Sujatmiko. Duh.

Beberapa orang memuji buku ini. Bukan karena tokoh heroik yang tak lain adalah si penulis itu sendiri, tapi gaya bercerita yang, konon katanya, bagus. Entahlah.

Tapi Anak-Anak Revolusi bagi saya adalah salah satu sinyal dan jembatan masuk ke tahun 2014. Tahun ini adalah tahun Politik. Pemilu segera berlangsung dan buku sebagai alat kampanye akan segera menjadi pilihan banyak politisi.

Tahun 2014 juga adalah tahun pesta bagi para Ghost Writter, yang akan menuliskan biografi atau otobiografi para politisi yang akan maju ke kancah politik panas 2014. Maka tunggulah, buku-buku sejenis ini akan menjadi buku paling banyak diproduksi.

Selain itu demam piala dunia akan merambat dan memberi efek domino pada buku-buku seputaran bola. Trend buku bola ini bahkan sudah dimulai di akhir tahun 2013. Untuk dua ramalan trend buku ini, saya berani jamin tidak akan meleset. Hehe.

Buku-buku para pesohor dunia maya, selebtwit dan sebangsanya juga masih akan menghiasi rak-rak toko buku dan rak virtual toko buku. Perbedaannya, kalau di tahun-tahun sebelumnya ada banyak buku instan dari artis instan, maka tahun 2014 bisa jadi titik jenuh buku-buku dan penulis semacam itu. Orang akan mulai skeptis, sebab buku baru yang beredar sudah diidentifikasi negatif. Buku bagus berbaur dengan buku sampah. Salah ambil, buku yang dibawa pulang akan mengecewakan dan jauh dari ekspektasi.

***
*Irwan Bajang, blogger di irwanbajang.com dan Pemimpin Redaksi Indie Book Corner

Source: IndoProgress 

0 komentar:

Posting Komentar