Senin, 12 November 2012

Menimbang Selisih Tipis dalam Catatan Tebal



Catatan Lomba Drama Remaja Kebumen

Dewan Kesenian Daerah (DKD) menggelar Lomba Drama Remaja se Kab. Kebumen pada Sabtu (10/11) lalu di aula PGRI Kab. Kebumen. Dengan dukungan PGRI, SRMB dan Teater Ego; gelar lomba ini diikuti oleh 8 kelompok peserta dari 6 sekolah dan 1 perguruan tinggi yang ada di Kebumen. Penilaian berdasarkan 3 kriteria, yakni aspek penyutradaraan, keaktoran dan artistik; menghasilkan peraih tertinggi yang tak begitu menonjol. Selisih tipis mengharuskan 3 yuri dari Jakarta, Cilacap dan Kebumen, memperdebatkan catatan tambahan sebagai pertimbangan lanjut memuncaki total perolehan nilai para peserta lomba.

Lomba ini juga sekaligus merupakan realisasi program DKD yang secara kelembagaan mencoba mengefisiensikan fungsi dengan menyederhanakan komisionernya ke dalam pembidangan seni yang tradisional dan modern kontemporer.

Interpretasi Sebangun

Meskipun secara umum penilaian pementasan drama dapat disederhanakan di seputar bagaimana menyajikan pementasan dimana pesan dapat sampai dan selebihnya tinggal bagaimana membikin kemenarikan pentas yang memadai. Akan tetapi pekerjaan mengukur tara kadar memang butuh kecermatan lebih. Tetap saja ada yang membedakan antara apakah kerja pementasan merupakan pemenuhan formal atas naskah yang dibawa ataukah benar-benar merupakan sebuah proses kreatif. Ini menjadi catatan yang aku anggap penting setelah mengikuti festival drama remaja di gedung yang gratis karena support organisasi guru itu.

Ada 3 naskah pilihan yang disediakan. Masing-masing: Kebo Nusu Gudel (Dheny Jatmiko), Oek  (Anto Haryanto) dan Akhirnya Mati Juga (Dwiyanto). Bobot dalam naskah ketiganya bebas ditimbang untuk menjadi pilihan para peserta. Tetapi di wilayah penyutradaraan, tak serta dimaknai sebagai beban yang wajib diusung secara tekstual. Mengaburkan kontekstual sastrawi yang menjadi spektrum naskah, meski dengan maksud memudahkan disampaikannya pesan, namun jika berlalu dan nampak membelenggu serta menyurutkan keberanian serta improvisasi yang cerdas. Maka patut disayangkan pekerjaan estetika kebebasannya.
         
Secara umum, pementasan ke delapan kelompok peserta nampaknya digarap dari tonggak penafsiran yang nyaris sebangun. Terutama untuk naskahnya Dwiyanto Akhirnya Mati Juga, juga Kebo Nusu Gudel nya Dheny Jatmiko.
(bersambung)

        

0 komentar:

Posting Komentar