Catatan Lomba Drama Remaja Kebumen
Lomba ini juga sekaligus merupakan
realisasi program DKD yang secara kelembagaan mencoba mengefisiensikan fungsi
dengan menyederhanakan komisionernya ke dalam pembidangan seni yang tradisional
dan modern kontemporer.
Interpretasi
Sebangun
Meskipun secara umum penilaian
pementasan drama dapat disederhanakan di seputar bagaimana menyajikan pementasan
dimana pesan dapat sampai dan selebihnya tinggal bagaimana membikin kemenarikan
pentas yang memadai. Akan tetapi pekerjaan mengukur tara kadar memang butuh
kecermatan lebih. Tetap saja ada yang membedakan antara apakah kerja pementasan
merupakan pemenuhan formal atas naskah yang dibawa ataukah benar-benar
merupakan sebuah proses kreatif. Ini menjadi catatan yang aku anggap penting
setelah mengikuti festival drama remaja di gedung yang gratis karena support
organisasi guru itu.
Ada 3 naskah pilihan yang disediakan.
Masing-masing: Kebo Nusu Gudel (Dheny
Jatmiko), Oek (Anto Haryanto) dan Akhirnya Mati Juga (Dwiyanto). Bobot dalam naskah ketiganya bebas
ditimbang untuk menjadi pilihan para peserta. Tetapi di wilayah penyutradaraan,
tak serta dimaknai sebagai beban yang wajib diusung secara tekstual. Mengaburkan
kontekstual sastrawi yang menjadi spektrum naskah, meski dengan maksud
memudahkan disampaikannya pesan, namun jika berlalu dan nampak membelenggu
serta menyurutkan keberanian serta improvisasi yang cerdas. Maka patut
disayangkan pekerjaan estetika kebebasannya.
Secara umum, pementasan ke delapan
kelompok peserta nampaknya digarap dari tonggak penafsiran yang nyaris
sebangun. Terutama untuk naskahnya Dwiyanto Akhirnya
Mati Juga, juga Kebo Nusu Gudel nya
Dheny Jatmiko.
(bersambung)