Sabtu, 10 Oktober 2009
oleh Asep Sambodja
Ketika kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin mencuat pada 1968, sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sudah dipenjarakan oleh Rezim Soeharto. Dengan demikian, polemik yang ada berkaitan dengan cerpen itu murni persoalan internal sastrawan-sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Sastrawan Lekra tidak bisa bicara, karena memang benar-benar dibungkam.
Bermula dari pemuatan cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin di majalah Sastra pada Agustus 1968. Cerpen itu menuai protes dari masyarakat, terutama dari kalangan yang beragama Islam. Karena, dalam cerpen itu ada personifikasi Tuhan dan ada gambaran mengenai Nabi Muhammad dan malaikat Jibril yang dinilai sangat menghina umat Islam. Pada 12 Oktober 1968, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menyita majalah Sastra. Sepuluh hari kemudian, 22 Oktober 1968, Kipandjikusmin menyatakan mencabut cerpennya itu. Akhirnya, pada 24 Oktober 1968, karena kemarahan para alim ulama dan umat Islam, Kipandjikusmin meminta maaf secara terbuka kepada umat Islam. Hal itu diucapkannya di Kantor Departemen Penerangan pada pukul 10.30 WIB (Pradopo, 2002).
Tapi, nasi telah menjadi bubur. Ada yang harus bertanggung jawab atas pemuatan cerpen tersebut. H.B. Jassin yang sudah meminta maaf kepada Budiardjo, Menteri Penerangan saat itu, tetap diajukan ke pengadilan. Sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Sastra, mau tak mau H.B. Jassin harus mempertanggungjawabkannya. Hingga vonis hakim dijatuhkan, H.B. Jassin tidak mau menyebutkan siapa pengarang yang menggunakan nama samaran Kipandjikusmin itu.
Dalam buku Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin (Dahlan, 2004), disebutkan ada dua kemungkinan mengenai hal itu. Pertama, Kipandjikusmin adalah H.B. Jassin sendiri. Kedua, Kipandjikusmin adalah seorang penulis pemula yang tinggal di Yogyakarta dan tengah kuliah di sebuah universitas Islam. Dan, menurut catatan editor buku Pleidoi Sastra, kemungkinan yang kedualah yang mendekati kebenaran.
Kalau kita baca cerpen itu secara utuh, tidak sepenggal-sepenggal, maka pesan kuat yang hendak disampaikan Kipandjikusmin adalah kritiknya terhadap Presiden Soekarno, Soebandrio, dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Soekarno. Dalam pembacaan saya, Kipandjikusmin tidak menjelekkan agama Islam. Yang dijelekkannya adalah Rezim Soekarno, yang saat itu telah dilengserkan dan ditahan Rezim Soeharto (Sambodja, 2006).
Namun, bumbu-bumbu yang digunakan oleh Kipandjikusmin itulah yang dipersoalkan. Cerpen itu tetap dianggap sebagai menghina agama Islam. H.B. Jassin terpojok, namun sastrawan-sastrawan Manikebu membelanya, tapi tidak membela Kipandjikusmin. Taufiq Ismail, misalnya, mengatakan cerpen itu tidak bermaksud menghina Tuhan ataupun agama Islam. “Kipandjikusmin melakukan kekeliruan besar dalam akidah mungkin karena ketidaktahuannya saja. Cerpen ‘Langit Makin Mendung’ itu sendiri tidak bermutu sastra, cerpen yang buruk,” kata Taufiq Ismail (lihat Pradopo, 2002).
Menurut Bur Rasuanto, cerpen “Langit Makin Mendung” merupakan versi lain dari cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis. “Hanya saja, A.A. Navis berhasil mengangkat persoalan ke dalam karya sastra bermutu tinggi, sedangkan Kipandjikusmin tidak. Cerpen Kipandjikusmin tidak bermutu sastra, tetapi tidak menghina Tuhan dan Islam,” ujar Bur Rasuanto (Pradopo, 2002).
Ali Audah (dalam Damono, 1987) menilai cerpen “Langit Makin Mendung” tidak menghina agama, karena agama terlalu agung dan luhur untuk dapat dihinakan oleh cerpen semacam itu. “Saya berpendapat nilai sastranya rendah.”
Buya Hamka yang menjadi saksi ahli dalam persidangan H.B. Jassin juga melakukan pembelaan terhadap Jassin, tapi tidak untuk Kipandjikusmin. Bahkan, dalam persidangan itu Hamka meminta agar H.B. Jassin dibebaskan. Hamka menilai Kipandjikusmin sebagai seorang pengecut, karena berlindung di balik nama samaran dan tidak memperlihatkan jati dirinya. Dari segi isi cerita, kalau Kipandjikusmin mengkritik konsep Nasakomnya Soekarno saat Nasakom sudah habis, menurut Hamka, sama saja dengan orang yang menantang berkelahi bangkai yang telah mati. Sikap kesatria itu adalah yang diperlihatkan H.B. Jassin dan kawan-kawan ketika mereka mengeluarkan Pernyataan Manifes Kebudayaan di saat Partai Komunis Indonesia (PKI) masih di puncak dan Nasakom masih berkuasa (Dahlan, 2004).
Ketika hakim menanyakan kepada Hamka sebagai Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, apakah cerpen itu akan memuat cerpen “Langit Makin Mendung” jika dikirimkan ke majalahnya, Hamka menjawab, “Murtad saya dari Islam kalau karangan seperti itu saya muat.” (Dahlan, 2004).
Kalau membaca komentar sastrawan-sastrawan Manikebu—dan Islam—di atas, tampak jelas bahwa mereka menilai karya Kipandjikusmin itu rendah mutu sastranya. Kalau karya itu dinilai rendah, kenapa dimuat di majalah Sastra? Kenapa H.B. Jassin memuat karya itu di majalah sastra yang bergengsi itu? Dalam persidangan, Jassin tetap bersikukuh bahwa dilihat dari segi kritik sastra, cerpen itu bermutu tinggi (Damono, 1987).
Kriteria apakah yang membuat suatu karya sastra bermutu tinggi dan bermutu rendah? Bagi pengamat sastra yang berprinsip karya sastra sebagai karya yang otonom, maka ukurannya adalah kepiawaian pengarang dalam mengolah unsur-unsur karya sastra itu. Bagi pengamat sastra yang berpendirian bahwa karya sastra tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, maka yang menjadi ukuran adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya.
Tapi, kalau dilihat dari segi yang lain. Kontroversi semacam ini akan menjadi catatan sejarah yang penting. Katakanlah cerpen “Langit Makin Mendung” bermutu rendah. Namun, sampai sekarang karya itu masih terus dibicarakan, sementara karya sastra “yang bermutu tinggi” yang terbit bersamanya luput dibicarakan. Ini sekaligus memperlihatkan bahwa sebuah karya itu bertarung sendiri dengan waktu.
Pembelaan H.B. Jassin terhadap Kipandjikusmin dan cerpen “Langit Makin Mendung” adalah semata-mata didasarkan pada pentingnya kebebasan berekspresi. Bisa dibayangkan kalau hanya gara-gara diprotes masyarakat mayoritas dan kalangan sastrawan diam dan takluk begitu saja, maka tamatlah riwayat sastra. Dari sini terlihat bahwa lembaga sensor bukan hanya dari penguasa (negara) saja, melainkan dari masyarakat juga. Dan sastrawan memang sejatinya tidak menyerah begitu saja. Menulis karya sastra terkadang harus pula siap menghadapi segala risiko.
Dalam kasus ini saya melihat kebesaran seorang H.B. Jassin yang berani menghadapi segala risiko. Ia tidak hanya membela seorang penulis baru seperti Kipandjikusmin, tapi juga membela penulis besar seperti Chairil Anwar dan Hamka yang dituduh sebagai plagiator. Tidak salah kalau A. Teeuw menjuluki H.B. Jassin sebagai Wali Penjaga Sastra Indonesia.
Citayam, 10 Oktober 2009
0 komentar:
Posting Komentar