January 8, 2020
Ambisi meluap berbarengan
dengan dorongan kuat untuk bisa diterima, tapi untuk membentuk suatu arus baru.
“Bahkan jika kami semua sudah pernah memuat karya di The New Yorker,
apakah itu menjadi tujuannya?” Namun, peralihan ke arus utama jarang terjadi
tanpa adanya turbulensi.
_________________________________________________
Jesse Lichtenstein |
Diterjemahkan dari “How Poetry Came to Matter Again”, SEPTEMBER 2018 ISSUE |
(p) Gabriel (ed) Sabiq Carebesth
______
DUNIA PUISI agaknya bukan tempat ‘adu
warna kulit’, atau ‘race row’ menurut koran The Guardian pada 2011,
yang isinya lebih ke debat kusir mengenai klaim sastrawi.
Seorang kritikus
tersohor (dan berkulit putih), Helen Vendler, mencibir seorang penyair terkenal
(dan berkulit gelap), Rita Dove, atas karya yang ia seleksi ke dalam seri
terbaru Penguin Anthology of Twentieth Century American Poetry.
Rita, kata
Vendler, lebih mengutamakan “inklusifitas multikultur’ daripada kualitas. Dia
disebut “mengubah haluan” dengan menampilkan terlalu banyak penyair dari latar
belakang minoritas, dan meminggirkan penulis yang lebih baik (dan lebih
dikenal). Puisi dalam antologi tersebut “umumnya pendek” dan “cenderung ditulis
dengan perbendaharaan kata yang terbatas,” dakwa Vendler, si kritikus pengawal
kanon sastra abad ke-20 ini. Sementara itu di Boston Review,
Marjorie Perloff, kritikus (yang juga berkulit putih) sekaligus ahli poetika
avant-garde Amerika, juga tertarik beropini.
Marjorie menyesalkan bahwa penyair baru
terpaku pada suatu formula lirik yang pada tahun 1960 dan 70an saja sudah
dianggap jadul – biasanya berupa memori pribadi yang “dipuitiskan,” yang
memuncak pada “rasa mendalam atau semacam kabut kesadaran.” Dia mengambil
contoh sebuah puisi dari penyair terkenal (dan berkulit hitam), Natasha
Trethewey, yang menggambarkan rutinitas pelurusan rambut yang terpaksa
dilakukan ibunya .
Di sisi lain, Rita menepis persoalan
pola yang dikemukakan para kritikus terkenal yang berkulit putih itu. Apakah
mereka, tanya dia, sedang mati-matian menyetop gerombolan penyair masa kini
yang punya warna kulit dan kesipitan mata berbeda? Apakah kami – kaum
Afro-Amerika, suku asli Amerika, Latino-Amerika, Asia-Amerika – harus menghadap
para kritikus yang berjaga di depan pintu, yang memeriksa CV kami sebelum
mereka mempersilakan kami masuk satu per satu?
Hal ini dimulai sejak dulu, dan sejak
itu pula pintu depan itu berusaha dijebol lepas dari engselnya. Coba telusuri
daftar isi jurnal sastra ternama, termasuk majalah puisi se-trendi Poetry,
dan juga majalah mingguan yang topiknya lebih umum dan beroplah besar
macam The New Yorker dan The New York Times Magazine.
Lalu,
tengoklah penerima berbagai hibah, penghargaan dan undangan mengajar, yang
prestisius nan bernominal besar, yang diberikan setiap tahun kepada para
penyair muda potensial di Amerika Serikat. Mereka adalah para imigran dan
pengungsi dari Tiongkok, El Salvador, Haiti, Iran, Jamaika, Korea, Vietnam.
Dari mereka ini ada para lelaki berkulit hitam dan wanita dari Oglala Sioux.
Mereka terdiri dari para gay eksentrik, atau kita sebut queer, sekaligus
para heteroseksual, dan keduanya bersikap sungguh-sungguh dalam memilih
bagaimana mereka harus dipanggil.
Wajah kepuisian di Amerika Serikat
terlihat sangat berbeda saat ini ketimbang 10 tahun lalu, dan lebih
mencerminkan demografi generasi millennial Amerika. Gampangnya, bakat-bakat
penyair muda saat ini bakal menjadi wajah Amerika muda 30 tahun kelak.
Para pendatang ini, sejak awal karir
mereka, sudah berada di dalam – dan mereka tidak semata tinggal di dalam
kompleks pertapaan puisi yang mendengar namanya diberi hukuman mati setiap
bulan April, ketika Bulan Puisi Nasional tiba. Di festival sastra, banyak dari
para penyair ini menjadi magnet penonton dalam jumlah besar, seperti yang saya
lihat November lalu ketika ratusan orang antri di bawah guyuran hujan untuk
mendengar Danez Smith dan Morgan Parker berdiskusi tentang topik “New Black
Poetry” di Portland Art.
Musim semi lalu, ketika saya ketemu
dengan Danez, yang bersikeras dipanggil dengan kata sebut orang-ketiga jamak,
‘mereka’ (maksud saya, Danez) baru saja kembali dari Inggris untuk tur kumpulan
puisi Don’t Call Us Dead, yang merupakan finalis National Book Award.
Penerbit di Inggris terkesima pada karya puisi yang mendapat apresiasi kritis
di The New Yorker dan ditonton 300.000 kali di Youtube.
“Ada banyak cerita yang kami telah
ceritakan, yang kini mulai diceritakan secara lebih terbuka di publik,” kata
Danez, tanda ia menyadari energi kolektif generasi masa kini, juga para penyair
dengan warna kulit gelap atau queer, secara lebih luas.
Tiap buku baru dan
apresiasi atasnya memantik kompetisi yang sehat untuk berkarya dengan lebih
berani.
“Aku nggak mau jadi satu-satunya bahan
perbincangan,” lanjut Danez. “Kemenangan seseorang itu sebenarnya juga
kemenangan untuk puisi, untuk para pembaca dan untuk orang-orang yang memiliki
latar belakang yang sama.”
Tidak sedikit dari garda depan generasi
ini yang pertama kali menemukan puisi melalui pentas pertunjukan, atau yang
tumbuh dalam komunitas di mana “bahasa lisan” dan “puisi” adalah dua sejoli.
Beberapa penyair telah menunjukkan bakat dalam membangun basis penonton lewat
cara-cara yang lebih subtil. Sebelum Kaveh Akbar menerbitkan koleksi debutnya
pada tahun 2017, Calling a Wolf a Wolf, dia sudah dikenal lewat seri
wawancara di situs web Divedapper, di mana ia menawarkan perkenalan secara
dekat dan mendalam tentang para penyair Amerika mutakhir. Dia juga tak kenal
lelah dalam berbagi bahan bacaannya ke 28,000 pengikut Twitter-nya. Dia rutin
mengunggah tangkapan layar dari halaman buku yang membuat dia terkesan.
Penyair baru dari generasi digital ini
siap mengupayakan agar karya dan nama mereka dikenal luas. Mereka memiliki
agensi dan juru bicara (dalam sejarahnya, ini bahkan tidak lazim!). Beberapa
orang berkarya lintas-genre, melawan keterasingan puisi. Saced
Jones (Prelude to Bruise, 2014) sudah dikenal luas
sebagai host dari acara BuzzFeed News. Fatimah Asghar (If
They Come for Us, 2018).
Ia juga menulis dan turut memproduksi web series
berjudul Brown Girls, yang sedang diadaptasi ke HBO. Ada pula Eve L
Ewing (Electric Arches, 2017), seorang sosiolog dan komentator isu tentang
ras yang sangat dikenal di media sosial.
Para penyair yang lebih uzur mungkin
akan menggerutu soal membangun jejaring dan menampilkan diri, namun, para
junior mereka tanpa ragu menggamit aktivitas ini. Mereka yakin bahwa puisi,
lewat kanal yang tepat, mampu “masuk ke arus utama dalam wacana nasional
terkini,” seperti kata Saced.
Mereka sadar satu hal: sebuah survey terkini dari
National Endowment for the Arts mengungkapkan bahwa jumlah pembaca puisi
meningkat 2x lipat di antara masyarakat usia 18-34 tahun selama lima tahun
terakhir.
Energi yang terlihat ini lebih dari
sekadar marketing jitu atau kehebohan sesaat.
“Menurut pandanganku,” kata Jeff
Shoots, editor utama Graywolf Press yang menyunting tiga dari 10 antologi yang
berhasil masuk ke long list National Book Award 2017 bidang puisi,
”ini tanda munculnya suatu renaisans.”
Dan yang paling mencolok dari para
pelopor kebaruan ini adalah kembalinya puisi liris orang-pertama – suatu hal
yang pada era 1970an dianggap ketinggalan jaman oleh para “pujangga bahasa”.
Dakwaan-dakwaan tajam – puisi yang
terlalu pribadi, terlalu sentimentil, terlalu gampang dipahami, tak cukup
‘cerdas’ untuk menstimulasi budaya postmodern yang tersaturasi media –
ditujukan ke generasi avant-garde yang menanggalkan “si Aku” demi poetika yang
buram dan hanya dipahami grup kecil pembaca yang lebih eksklusif lagi.
Namun,
generasi baru ini – sambil menggandeng teknik avant-garde (lewat penggunaan
kolase dan inkoherensi radikal beserta gado-gado acuan budaya “tinggi” dan
“rendah” sekaligus) – tidak serta-merta mengusung pesan yang sama. Muncul di
tengah suburnya politik identitas, para penyair terkemuka, yang karakternya
berlainan, saat ini tengah mengklaim lagi “Aku-yang-demokratis”, seturut
ungkapan penyair Edward Hirsch
Si “Aku” ini, yang diasuh dalam berbagai
bahasa dan dialek, tak bisa dikatakan terdera perbendaharaan kata yang
terbatas, kata Helen Vendler. Puisi liris, bagi generasi ini, tak perlu selalu
pendek. Muncul pertama kali lewat kehadiran karya laris Claudia
Rankine, Citizen: An American Lyric (2014), para penyair dengan
berani mematahkan tren kebanyakan buku, lewat nuansa historis dan bentuk
hibrida, sejak awal mula. Si “Aku”, menyadari betapa tersisihkannya “kita” di
mana ia berada, menautkan sisi personal ke sisi yang kelewat politis.
Kemunculannya memantik pertanyaan puitis
yang menggairahkan mengenai identitas.
Para penyair muda yang berhasil
mengemuka, telah turut menjadikan ras, seksualitas dan gender sebagai
episentrum kepuisian saat ini, dan mereka memperlebar sebanyak mungkin
batas-batas. Mereka sungguh-sungguh dalam mengubah gagasan soal kedirian dan
keberadaan seseorang dalam sebuah kelompok. Belajar dari berbagai jenis
tradisi, mereka menggali kompleksitas laten dari sisi lirik “Aku”. Pada
dasarnya, hal terakhir yang diinginkan si “Aku” adalah pada pengejawantahan
dirinya secara utuh.
UPAYA KERAS untuk melepas engsel pintu
seleksi ini sebenarnya sudah dimulai sejak puluhan dekade lalu. Ketika para
pujangga bahasa sedang memperluas batas kepenyairan Amerika di akhir abad ke-20
– upaya pembalikan konstelasi kuasa dengan mengangkangi adat kesusastraan-
penyair-penyair kecil juga sedang mencoba menghubungkan dunia sastra dan kanon
sastra, sembari terus mengedepankan cara-cara baru dalam berekspresi.
The
Black Arts Movement di era 1960an dan ‘70an, dan sejumlah organisasi yang
dipantiknya, memperjuangkan kanal penerbitan tersendiri bagi seniman kaum kulit
hitam, Asia-Amerika, dan Latino.
Namun, mulai era ‘80an, dorongan telah
merambah ke permintaan akan jatah kursi yang lebih banyak bagi kaum tersebut.
Itu tidak mudah terjadi di dalam budaya
kepuisian yang lebih merepresentasikan kulit putih, baik sekarang maupun di
masa lalu, dan yang tak terlalu niat untuk mempertanyakan fakta tersebut. Di
tahun 1988, setelah lelah menjadi sebatas pemandangan ganjil di berbagai
workshop penulisan puisi, dua mahasiswa Harvard dan seorang komposer
membentuk The Dark Room Collective di sebuah gedung bergaya Victoria
di kota Cambridge, yang kelak menjadi ruang untuk memajukan karya
penyair-penyair muda kulit hitam.
Selama 10 tahun berikutnya, sejumlah bakat
menemukan rumahnya di sana, mulai dari Natasha Trethewey dan Tracy K. Smith
(keduanya kelak menjadi poet laureate Amerika Serikat), Kevin Young,
Carl Phillips dan Major Jackson. Ambisi meluap berbarengan dengan dorongan kuat
untuk bisa diterima, tapi untuk membentuk suatu arus baru.
“Bahkan jika kami
semua sudah pernah memuat karya di The New Yorker, apakah itu menjadi
tujuannya?” Kevin, saat itu masih menjadi mahasiswa semester akhir di Harvard,
berkata pada koran The Harvard Crimson di tahun 1992. “Anda tak
menangkap maksud kami jika Anda menyangka kami sekadar sopir baru yang
mengendarai truk yang lama.”
Dalam beberapa tahun kemudian,
wajah-wajah baru ini bila bukan menjadi orang berpengaruh, telah lebih dikenal
dan diterima di dunia puisi. DI tahun 1993, Rita Dove menjadi poet
laureate Amerika Serikat. Di tahun yang sama, dalam pembukaan
antologi The Open Boat, karya yang berisi kumpulan puisi Asia-Amerika
pertama yang disunting oleh seorang keturunan Asia-Amerika, Garrett Hongo
mengarahkan perhatian pada penerimaan dari arus utama:
“Saat ini, beberapa dari
kami berkarya di sejumlah yayasan dan panel Hibah Seni Nasional, menjadi juri
penghargaan tingkat nasional, mengajar dan membimbing program penulisan
kreatif, dan menyunting majalah sastra.”
Di lanskap kepuisian yang saat itu
didominasi program M.F.A (Master of Fine Arts, magister seni), sebuah
jaringan dari berbagai institusi kemudian menawarkan workshop dan
pelatihan gratis bagi para penyair muda dari kelompok terpinggirkan. Cave
Canem, yang dibentuk pada 1996 untuk mendukung penyair kulit hitam, kemudian
diikuti oleh Kundiman (bagi penulis Asia-Amerika) dan CantoMundo (bagi penyair
Latino).
Yayasan Sastra Lamda sampai sekarang menyediakan dukungan serupa bagi
penyair LGBTQ. Penjaga tradisi dunia puisi – jurnal ternama, penerbit tersohor
(baik besar maupun kecil), komite penghargaan – kini tahu ke mana mereka bisa
menemukan spektrum yang lebih kaya, yang berisikan karya-karya yang telah
menjalani suatu proses saringan sebelumnya.
Namun, peralihan ke arus utama jarang
terjadi tanpa adanya turbulensi. Alumni The Dark Room mendapat kritikan tajam
setelah mereka duduk kursi mengitari meja yang telah diperluas, hanya saja,
masih di ruangan yang didirikan oleh era sebelumnya. Inklusi ke dalam makna
dominan dari “kita” memunculkan tekanan untuk mencipta dan mendukung karya yang
lebih mudah diakses dan telah di-depolitisasi. Antologi The Open
Boat segera didapuk untuk mewakili kepenyairan Asia-Amerika melalui lensa
narasi imigrasi dan asimilasi yang tidak asing di telinga.
Kemunculan Kevin Young sebagai
penyunting puisi di The New Yorker di usianya yang ke-47 memunculkan
pertanyaan: bakal sebaru apa truk yang mereka kendarai ini?
Suasana tegang mulai mengusik bahkan di
tempat paling nyaman, paling terbuka di antara berbagai zona minoritas, dimulai
dari The Dark Room dan kemudian: mereka menggandeng sapaan “kita” yang telah
dipakai dunia luar, beserta narasinya, sambil menyertakan sejumlah tekanan.
Para penyair telah merasa kesal, dan
berhasil melampaui, seluruh tekanan itu. Tentu saja: Bagaimana lagi agitasi
puitik akan terjadi?
Belakangan Carl Phillips menulis tentang
perasaan bahwa ia telah benar-benar diasingkan dari The Dark Room karena ia
“tidak menulis puisi ‘kulit hitam’ sejati.” Di esai berjudul “A Politics of
Mere Being,” dia bertanya-tanya mengenai dampak dari keharusan untuk benar
secara politik, namun juga “tekanan untuk politis secara benar”
– yaitu dengan berkarya mengenai “isu identitas, pengasingan,
ketidakadilan.” Tidakkah seharusnya, kata dia, “penyair yang terlempar ke luar,
dalam konteks apapun,” menolak pandangan bahwa sekadar “resistensi” saja bisa
mendefinisikan apa hal-hal yang politis?
Penyair Iran-Amerika, Solmaz Sharif,
dua-puluh lima tahun lebih muda dari Phillips – yang buku puisi
pertamanya, Look (2016) menjadi finalis National Book
Award – juga melihat nilai dari suara “yang terus-menerus berada di luar,
mempertanyakan dan menanggapi apapun yang dimaksudkan dari kata ‘di sini’ atau
‘kita’ atau ‘sekarang’
”Idealisme puitisnya adalah semacam “keadaan nomaden,
atau pikiran yang terus-menerus terpacu dan mencegah momen politis ini
membatu.”
Sebagai upaya untuk merangkum si “Aku” yang terus berubah dan
mengundang tanya, sangatlah susah untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Upaya
untuk mewadahi seluruh keberagaman – untuk meneliti berbagai wajah kedirian
(protean self) dan masyarakat yang membentuk dan mengubahnya – dalam suatu
bentuk liris yang koheren masihlah sebuah eksperimen yang radikal.
**