April 1, 2020 - Galeri Buku Jakarta - Bandung
Mawardi,
Aku tak mencintaimu sebab kau mawar, cempaka,
atau semak anyelir yang luput dilalap kelopak api.
Aku mencintaimu sebagai cinta yang tersembunyi,
dalam rahasia, berdiam di antara kelam dan cahaya.
_____________________________________
(Pablo Neruda, 100
Soneta Cinta, 2019)
Anggrek itu molek. Thailand, Indonesia,
Singapura, dan pelbagai negara bersaing pamer anggrek-anggrek molek. Sekian negara
mengadakan festival anggrek, mengundang orang-orang memandang takjub
anggrek-anggrek.
Di majalah Pertiwi, 4-17 Mei 1987,
Indonesia kalah oleh kegetolan Thailand dalam mengembangkan anggrek dan membuat
acara-acara mendatangkan kaum gandrung bunga atau turis. Ikhtiar tampil di
tatapan dunia diusahakan oleh PAI (Pecinta Anggrek Indonesia). Pada masa Orde
Baru, usaha mengurusi dan memamerkan anggrek mendapat restu Ibu Tien Soeharto.
Negara turut memberi kebijakan dan penghargaan demi kemonceran aggrek.
Anggrek telah terdengar di lagu. Dulu,
orang-orang mendengar sambil berimajinasi melihat anggrek. Pemandang menganggap
anggrek itu molek menggenapi hasrat asmara. Anggrek memikat bagi pemberi makna
hidup berbunga. Pada masa lalu, kita lumrah melihat di depan rumah-rumah, ada
pameran anggrek sekian warna. Pemandangan memberi bahagia, ketakjuban, dan
keharmonisan. Indonesia “berbunga” setiap hari tapi tak melulu anggrek.
Orang-orang hidup bersama dan memberi arti sekian bunga: melati, mawar,
teratai, kantil, dan lain-lain.
Bunga pun milik pengarang. Pada masa
1970-an, Mochtar Lubis mencantumkan bunga untuk lakon sastra bakal bertumbuh di
Indonesia. Di Horison edisi Desember 1977, ia menulis: “Sastra
hendaknya adalah untuk hidup, tidak saja bagi manusia, akan tetapi juga untuk
bunga teratai, untuk pohon yang tua, burung, rama-rama dan capung, batu di
sungai, sungai dan anak sungai, danau dan lautan, dan gunung-gunung.”
Kita membaca itu renungan akhir tahun
saat tatanan Orde Baru ingin segera mapan. Sastra ada di alur beragam untuk
mengumumkan keindahan, kemanusiaan, religiositas, kekuasaan, etika, dan
lain-lain.
Mochtar Lubis sempat memberi arahan
sastra ke bunga. Ia tak sedang bernostalgia dengan sastra-sastra lama di
Nusantara sering memberi deskripsi dan narasi berlebihan mengenai bunga-bunga.
Di sastra Jawa, bunga itu lekas memikat dan mengikat pembaca sejak
halaman-halaman awal. Bunga itu seperti tampak mata, terasa harum, dan
memancarkan pesan-pesan: asmara, politik, kematian, dan lain-lain.
Mochtar Lubis saat menulis esai mungkin
sedang “cuti” dari keributan politik atau kecerewetan slogan-slogan buatan
pemerintah. Ia seperti di suasana tenteram saat menulis esai tak dianggap
“terbaik” oleh para penggemar tulisan-tulisan Mochtar Lubis: cerita pendek,
novel, dan esai.
“Setiap kata dalam sastra adalah sebuah benih yang ditanam dalam kebun zaman-fikiran yang digambarkan oleh kata-kata ini mungkin hilang, akan tetapi juga dapat timbul kembali, sama segarnya seperti ketika mula-mula disusun oleh pengarangnya – mungkin akan dapat merebut imajinasi generasi-generasi – dan generasi demi generasi ini mungkin pula akan dapat merobah masyarakat demi masyarakat, dan dengan demikian merobah arus sejarah,” tulis Mochtar Lubis.
Kita membaca sambil mengarahkan
pandangan ke kebun, halaman, atau kalender bergambar bunga-bunga. Sastra ingin
bermekaran. Sastra itu “berbunga” sepanjang masa.
Kita beralih ke pengalaman dan ingatan
atas anggrek pada masa berbeda. Goenawan Mohamad mengingat diri masa 1960-an.
Ia masih muda, tergoda berpikiran tema-tema besar. Politik itu wajib. Ia agak
mengabaikan tetek bengek atau hal-hal kecil turut membentuk manusia dan zaman.
Politik sering membingungkan dan memuat khianat-khianat. Goenawan Mohamad lekas
insaf, menepi memberi diri ke hal-hal telanjur lama dilupakan. Di Tempo,
25 April 2004, ia mengenang:
“Sejak itu saya pun berusaha memasuki sebuah dunia bahasa yang lain – bahasa yang tak sarat dengan ide-ide tang merasa kekal dan kata benda abstrak. Saya membaca kembali puisi tentang cuaca, ranting, rama-rama, dan hal-hal fana lain yang anehnya membuat hidup berarti dan kita bersyukur.”
Pada masa 1960-an, ia sudah menggubah
puisi-puisi tapi mendapat kemonceran dengan esai-esai sering dimuat di
majalah Sastra asuhan HB Jassin.
Ketekunan membaca buku-buku garapan para
filsuf dan pengarang dunia memberi tanda seru dan keinsafan. Goenawan Mohamad
mulai mengerti keputusan Richard Rorty memilih anggrek hutan. Filsosof itu
ingin melihat manusia dan dunia melalui anggrek. Di penggalan hidup, sang
filosof diminta memilih: amggrek hutan atau gagasan revolusi.
“Tapi ia juga mencintai kembang anggrek liar yang tumbuh di pegunungan,” ingatan Goenawan Mohamad atas biografi Richard Rorty.
Anggrek mengalahkan kerumunan ide-ide
besar bagi dunia. Anggrek itu bergelimang makna ketimbang pembesaran ideologi
melahirkan kalimat-kalimat sloganistik atau khotbah penguasa menggunakan seribu
tanda seru.
Kita di keisengan membaca
penggalan-penggalan esai buatan dua orang ampuh dalam kesusastraan dan pers di
Indonesia: Mochtar Lubis dan Goenawan Mohamad. Kita menandai sastra dan bunga
saat pemandangan di rumah, jalan, kebun, dan sekolah terlalu berubah.
Bunga-bunga sering absen. Di kalangan bocah ingin bermain, bersenandung, dan
berimajinasi di TK, bunga-bunga sering gambar di tembok.
Di sekolah atau
kantor, kita telanjur memiliki ingatan bunga-bunga kertas dan plastik di atas
meja. Di jalan, bunga adalah impian terlalu sulit diwujudukan oleh pemerintah.
Di sekian kota, dana ratusan juta atau miliaran rupiah mulai digunakan membuat taman-taman
bunga. Dalih birokrasi agar kita mewangi. Kita maklum dan mengerti berlangsung
pemborosan, bukan pengisahan bunga-bunga.
Di tatapan mata manusia abad XXI,
bunga-bunga itu latar untuk berpotret. Peremehan tak terampukan. Begitu.
__
Bandung Mawardi,
Esais. Penulis Dahulu: Mereka dan Puisi (2020)