Darwati Utieh
HORISON tercatat majalah sastra berpengaruh di Indonesia.
Di tahun 1970-an siapa pun seniman yang hendak diakui sebagai "sastrawan
nasional" paling tidak pernah sekali karya mereka nongol di majalah ini
entah puisi, cerpen, esai, atau naskah drama. Meski dalam perjalanan waktu
kesan demikian pelan-pelan luntur namun tetap saja orang bernafsu setidaknya
sebiji puisi mereka bisa terpacak di Horison sebagai bukti dokumentasi
kepenyairan mereka.
Terbit pertama kali Juli 1966 sebagai "majalah
sastra....yang kami harap cukup bermutu," seperti ditulis Mochtar Lubis,
penanggung jawab majalah itu, dalam kata pengantar.
Mochtar rasanya harus
bergembira sejauh menyangkut mutu harapannya benar-benar mustajab. Edisi
perdana hanya terbit 34 halaman kertas koran termasuk sampulnya. Bila diukur
dari "selera pasar" format majalah ini rada susah menggoda pembeli
umum.
Juli 2016, setengah abad kemudian, Horison telah berubah
bentuk dalam segala hal baik kualitas kertas, rubrikasi, maupun sampul yang
kian meriah.Tapi tiba-tiba Taufiq Ismail, salah seorang pendiri, menulis
pengantar mengagetkan
"....Horison cetak beralih ke Horison online mulai 1 Agustus 2016". Keputusan tersebut, tulisnya, berdasar pertimbangan pembiayaan dan kemajuan dunia penerbitan digital. Dengan kata lain edisi Juli itu adalah edisi terakhir Horison cetak.
Horison telah melakukan beragam upaya memikat pembaca.
Mereka bekerja sama dengan Depdikbud mendistribusikan majalah ini ke seluruh
sekolah menengah di Indonesia juga memasyarakatkan sastra di sekolah dan
kampus.
Hasilnya? Jauh dari keseimbangan neraca rugi-laba. Taufiq pun mengutip
hasil pertemuan sastra sejagat di Rotterdam, Belanda, 2013, dimana-mana majalah
sastra, demikian kesimpulan mereka, memang TIDAK LAKU.
Yang unik karya sastra justru menjadi bestseller di
banyak benua. Novel sering meledak bahkan mengagetkan penulisnya. Mereka
terkenal dan menjadi kaya terkadang hanya dengan satu novel saja. Publisher top
saling senggol demi mendapatkan hak penerbitan.
Para pengamat memuji karya
mereka sebagai unik, tema cerita belum pernah disentuh penulis lain, bahasa
mereka luar biasa memukau. Tapi mengapa karya sastra laku sedang majalah sastra
tidak?