Mendekati (dan Menikmati) Puisi Sebagai
Teks
February 23, 2020
Puisi memang bisa didekati sebagai sebuah teks. Dalam puisi ada
wujud fisik dan ruh. Ada bentuk dan isi. Ada cara ucap ada bahan yang hendak
diucapkan. Dari buku yang sama, kita dapat penjelasan bahwa untuk dapat disebut
sebagai teks maka sebuah teks harus memenuhi unsur-unsur tekstualitas. Apa itu?
WUJUD fisik puisi itu adalah teks.
Menikmati dan mencintai puisi tak mesti harus memahami itu. Tapi, puisi bisa
didekati lewat jalan itu, memasukinya sebagai sebagai sebuah medan teks.
Apakah teks? Dalam bahasa Inggris, kini
teks juga berarti pesan lewat SMS. “Text me…” berarti kirimi saya SMS. Orang
Inggris, karena memang dekat dengan sumber etimologi kata teks itu, menyebut
SMS sebagai teks untuk membedakannya dengan pesan yang bisa disampaikan lewat
lisan melalui gawai yang sama yaitu ponsel. “Call me…”, lawannya
adalah “text me…”.
Konsep teks, text, textum (dari
sini juga turun kata tekstil yang tersusun dari jaringan benang), jaringan,
muncul menjadi perhatian manusia dalam konteks memahami bahasa. Benang jaringan
teks bahasa itu adalah kata-kata.
Lalu pengertian teks itu meluas, menjadi
apa saja yang bisa dibaca dan “dibaca”, rambu lalu lintas, iklan, bentuk
bangunan, gambar, lukisan, hamparan alam, gaya berpakaian, gerak tubuh,
batuknya Pak Harto, kerdip mata Sukarno, diamnya Bung Hatta, senyumnya Dian
Sastro, jambulnya Syahrini, dll.
Apa yang menyamakan semua itu? Ada
segugus tanda dan simbol, yang daripadanya bisa ditangkap suatu pesan. Itu!
Teks bahasa dimaknai lewat semantik,
bagian dari linguistik, yang juga merupakan cabang dari semiotik, satu ilmu
yang dikembangkan untuk “membaca” atau memaknai teks, termasuk yang bukan teks
bahasa (tulis).
Kita berenang dalam lautan teks. Kita
dikepung teks. Baliho, status FB, pesan WA, berita, tweet, email, blog,
komentar, dan lain-lain. Tak pernah kita terlelap dalam samudera teks sedahsyat
hari-hari ini. Duhai manusia, duhai homo signans, seberapa kuat kita mampu
memaknai semua paparan teks semenderu ini? Apakah sebanyak itu teks harus hadir
di ruang publik dan ruang privat kita manusia modern ini?
Ah, daripada mumet, mari kita nikmati
teks puisi saja. Ya, puisi adalah teks. Yang bisa dinikmati. Nah, biar terasa
sedikit ilmiah, saya ingin mengutip apa definisi teks. Benny H. Hood (Semiotik
& Dinamika Sosial Budaya) memakai definisi ini: teks adalah satu satuan
kebahasaan (verbal) yang mempunyai wujud dan isi, atau segi ekspresi dan segi
isi.
Terbayang bukan bahwa puisi memang bisa
didekati sebagai sebuah teks. Dalam puisi ada wujud fisik dan ruh. Ada bentuk
dan isi. Ada cara ucap ada bahan yang hendak diucapkan.
Dari buku yang sama, kita dapat
penjelasan bahwa untuk dapat disebut sebagai teks maka sebuah teks harus
memenuhi unsur-unsur tekstualitas. Apa itu? Ada enam. Inilah dia:
1. Kohesi. Unsur-unsur
pembentuknya mempunyai kaitan semantis, atau unsur pembangun makna. Penyair
menjaga benar unsur ini, ketika ia menulis puisi. Antara lain dengan memilih
diksi, membangun metafora, rima, ritme, pokoknya perangkat puitika itulah.
2. Koherensi. Segi isinya,
sekali lagi isinya, dapat diterima karena memenuhi logika tekstual. Bukan hanya
diterima. Tapi juga diterima dengan nikmat. Teks puisi harus menjanjikan
kenikmatan tekstual. Dia harus istimewa dibanding teks bahasa biasa yang bukan
puisi.
3. Intensionalitas. Ada
intensi, ada tujuan. Ada udang-di-balik-batu-nya. Teks diproduksi dengan tujuan
atau maksud tertentu. Puisi juga pasti mengandung itu. Penyair menulis puisi
karena itu. Kalau tidak, dia tak akan menulis puisi. Meskipun tak selalu
pembaca tahu dan tak perlu juga tahu apa tujuannya menulis puisi itu.
4. Keberterimaan. Teks
berterima bagi masyarakat pembaca. Jika tidak, puisi sebagai teks, akan menjadi
medan yang gelap, yang tertolak, yang tak diterima pembaca.
5. Intertekstualitas. Ada kaitan
semantis dengan teks-teks yang lain. Nah, ini penting sekali dalam puisi.
Goenawan Mohamad menyebutnya pasemon. Persemuan. Ada sesuatu yang dihadirkan,
atau disusupkan ke dalam teks puisi, yang diam-diam membawa segugus teks dan
makna lain. Ketika Chairil Anwar menulis “Ahasveros” dalam sajaknya, maka
mitologi yang melibatkan nama itu, menjadi bagian dari makna puisi Chairil. Itu
intertektualitas.
6. Informativitas. Ya, teks
juga harus mengandung informasi dan pesan tertentu. Di dalam puisi, informasi
itu tak terlalu penting lagi, tapi pesannya penting, dan bisa berganda-ganda,
membangun atau terbangun dari ambiguitas dari unsur pembentuk teks puisi itu.
Nah, apakah penjelasan ini bikin puisi
tampak menjadi semakin ribet? Maafkan, kalau begitu, dan lupakan saja. Kalau
mau masih ada penjelasan yang lebih rumit. Puisi kok dilawan. Dekati
dan terima puisi sebagai puisi saja. Kalau memang itu lebih nikmat untuk
dilakukan.
Jakarta, 20 Februari 2020.