Famega Syavira Putri - 10 Desember 2019
Rianto adalah penari lengger lanang yang
sudah membawakan tariannya di puluhan negara. Kisah hidupnya diangkat
oleh sutradara Garin Nugroho dalam film Kucumbu Tubuh Indahku, yang baru saja
meraih delapan piala Citra, dan menjadi wakil Indonesia untuk dinominasikan
di Piala Oscar 2020.
Sebagai penari dan koreografer, Rianto sangat
terinspirasi dengan tema ketubuhan, yang terinspirasi dari lengger lanang, tari
khas Banyumas, Jawa Tengah. Lengger lanang adalah tarian dengan gerak perempuan
yang ditarikan oleh lelaki.
"Saya mengangkat tema tubuh karena dari kecil saya
sudah mengalami pengalaman luar biasa sebagai seniman tari. Itu yang selalu
mendorong saya berkreativitas. Tubuh adalah perpustakaan memori,
ingatan-ingatan dari kita lahir sampai sekarang, itu yang terus saya
gunakan," kata Rianto saat ditemui di Banyumas, Jawa Tengah.
Saat itu Rianto sedang menari bersama anggota sanggar
tari di Baturaden, Jawa Tengah. Di sanggar tersebut kami menyaksikan mereka
menari jaranan dengan gaya maskulin, dan sebentar kemudian berubah menjadi tari
lengger lanang dengan gaya yang sangat feminin.
Rianto, 38 tahun, mulai menari sejak kecil, sebelum dia
belajar tentang tarian. Kesukaannya berlenggak-lenggok membuatnya dijuluki
sebagai 'Anto banci'.
"Ketika kecil, saya sering sekali mendapat perlakuan
menyakitkan dari teman-teman karena mereka melihat saya suka menari, lenggak
lenggok dan sangat berbeda dengan mereka," kata Rianto kepada BBC News
Indonesia di desa Kaliori, Banyumas, Jawa Tengah.
Dia terlahir dari keluarga sederhana, bapaknya petani
sekaligus tukang becak, dan ibunya mengurus rumah tangga.
"Sejak kecil dia kemayu, suka main sama cewek, suka
mencuri-curi dandan. Tidak pernah saya larang, ya gimana, karena sudah
jalannya," kata ibu Rianto, Rusti sambil tersenyum melihat ke arah
anaknya.
"Dari kecil ada banyak tantangan dalam hidup saya.
Memori ini membekas, tubuh saya merekam perjalanan itu," kata Rianto.
Meski demikian dia mengaku merasa sangat bersyukur karena
dalam kesulitan itu, kedua orang tuanya sangat mendukung pilihan hidupnya
sebagai penari. Di SMK, dia satu-satunya murid lelaki yang belajar menari.
Rusti mengenang pertama kali dia melihat anak
laki-lakinya berdandan seperti perempuan ketika remaja. "Dia dandan di
rumah tetangga, saya lihat, pangling, cantik sekali," kata Rusti dalam bahasa
Jawa.
Rianto kemudian melanjutkan kuliah di Institut Seni
Indonesia (ISI) Surakarta meskipun orang tuanya tak sanggup memberi biaya.
Dia dibantu guru SMK-nya yang yakin bahwa bakat menari
Rianto bisa membuatnya membayar sendiri kuliahnya kelak. Dan benar, pada tahun
kedua, Rianto dapat membiayai sendiri kuliahnya dari uang hasil menari.
Selepas kuliah, Rianto menikah dengan perempuan Jepang
dan menetap di Tokyo. Dari Jepang, Rianto membawa tari lengger lanang ke
berbagai negara di dunia.
"Sebagai penari internasional saya selalu mengangkat
ketubuhan saya, apa yang ada dalam tubuh saya, filosofinya antara maskulin dan
feminin. Basic saya dari lengger dan ini selalu saya garap untuk daya
kreatifitas saya dalam bentuk tari kontemporer," kata Rianto.
Dia yakin, tubuhnya adalah tubuh lengger. Ketika
wawancara, kami bicara dengan Rianto yang tak menggunakan riasan, kemudian dia
berdandan dan menari dengan riasan dan pakaian perempuan.
"Saya tidak bisa definisikan ini laki-laki atau
perempuan, ini bagian alam, yang luar biasa. Saya tidak bisa temukan definisi.
Ketika saya membuat nama, ini jadinya membatasi kembali, padahal yang kita
miliki adalah tubuh tanpa batas," kata Rianto menjelaskan transformasinya.
Rianto (tengah depan) menari bersama para penari dari Sanggar Tari
Kidang Kencana.
Kini dia telah pentas di puluhan negara, di lima benua di
dunia. Karya pementasan pertamanya yang berjudul Medium, juga telah dipentaskan
di berbagai festival mancanegara, dari Australia, Eropa hingga Afrika.
"Banyak kurator festival di dunia sangat tertarik
dengan konsep ini, dan saya udah punya. Beberapa kali saya presentasikan
ketubuhan yang dasarnya dari Lengger," kata Rianto.
Rianto meyakini bahwa tari lengger sudah ada dalam
kebudayaan Banyumas sejak ratusan tahun lalu dan sejak awal memang ditarikan
oleh penari laki-laki. Tarian ini disebut dalam buku Serat Centhini pada abad
ke-17.
"Lengger lanang adalah sebuah bentuk kesenian rakyat
dari desa, mereka merayakan panen, atau upacara bersih desa jauh sebelum itu.
Ini tradisi turun temurun dari nenek moyang," kata dia.
Ada pula yang menyakini bahwa kata lengger berasal dari
"leng" yang artinya lubang, dan "ngger" yang artinya
"jengger". Artinya, seperti perempuan tetapi laki-laki.
"Komitmen lengger adalah benar-benar mencoba
melakukan perjalanan tubuh untuk meleburkan maskulin dan feminim dalam bentuk
kesenian," kata Rianto.
Pada akhirnya, menurutnya, lengger adalah proses
penyatuan tubuh masyarakat dengan sang penciptanya.
Penampilan maskulin penari Sanggar Tari Kidang Kencana sebelum berganti
pakaian.
Menjadi penari lengger baginya bukan untuk tujuan
ekonomi, tapi untuk spiritual.
"Penari lengger menari bukan untuk event-event saja
tapi menari untuk kehidupan. Saya merasa saya penari lengger lanang karena
sejak kecil saya banyak dibully oleh teman-teman, 'oh tubuh kamu megal megol
seperti perempuan'. Itu adalah proses perjalanan kehidupan," kata dia,
mengenang masa kanak-kanak.
Cita-citanya, adalah menjadi seperti idolanya, almarhum
Dariah, yang disebut Rianto sebagai seorang maestro lengger.
"Saya ingin seperti tubuh Dariah, yang mencapai
peleburan yang sangat sempurna. Saya tidak melihat lagi identitas gender pada
tubuh itu, dia menyatu kepada alam dan tidak ada nafsu egois mencapai
level-level ke atas, tapi kembali lagi ke dasar dan menjadi lingkaran
kehidupan," kata Rianto.
Dia menjelaskan bahwa fokusnya sebagai seniman adalah
peleburan antara maskulinitas dan feminimitas.
"Kalau saya beranggapan bahwa saya laki-laki saja,
saya merasa kurang dan itu tidak adil terhadap tubuh saya. Sebenarnya sisi
maskulin dan feminin selalu ada dalam tubuh manusia," kata dia.
Sementara karyanya mendunia, di Indonesia, Rianto merasa
bahwa lengger masih terpinggirkan.
"Ada yang mendukung, ada yang berpikiran
tertutup dengan mengatakan bahwa lengger lanang adalah kaum banci yang
seharusnya tidak ada di sini," kata dia.
"Saya kesalnya sebagai penari lengger lanang, kenapa
lengger belum bisa diterima dan dipahami oleh banyak orang. Kita warga
Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika dan punya moral yang sangat tinggi,
tetapi pikiran masih banyak yang tertutup," kata dia.
Rianto menari diiringi musik calung.
Kendati begitu, dia tetap yakin bahwa lengger adalah
jalan hidupnya, dan "tubuh saya yang akan membawaku ke mana-mana untuk
memperkenalkannya".
Dia berharap pemerintah lebih aktif mempertahankan
kesenian dengan cara mengarsipkan dan menelitinya.
"Penting agar pemerintah mengarchivekan kesenian
yang ada di Indonesia untuk benar-benar harus dipertahankan filosofi dan
sejarahnya, karena dari situ Indonesia akan lebih memiliki kekuatan untuk
menghargai perbedaan," kata dia.
Kini, Rianto tengah menyiapkan karya pementasan
selanjutnya yang diberi judul "Hijra", kelanjutan karya yang berjudul
"Medium". Dia tetap fokus dengan tema ketubuhan.
"Tubuh selalu
berkesinambungan, ketika tubuh bayi, remaja, dewasa, tua, meninggal,
transformasi dari tanah, tumbuhan dan dimakan manusia lagi, menjadi lingkaran
kehidupan," kata dia.
Rianto telah melakukan riset sejak 2018, dan karya ini
diharapkannya dapat mulai ditarikan pada 2021.
Sementara itu, dia juga mengelola studio tari miliknya di
Tokyo, Jepang, Dewandaru Dance Company. Di sana, setiap Sabtu dan Minggu dia
rutin mengajarkan tarian Jawa kepada para perempuan Jepang.
Dianggap
mempromosikan LGBT
Berseberangan dengan kesuksesannya, film ini disebut
mengangkat budaya LGBT, dan dilarang diputar di beberapa kota di Indonesia.
Rianto membantah jika film yang diangkat dari kisah hidupnya, Kucumbu Tubuh
Indahku, dianggap mempromosikan LGBT.
Persiapan para penari lengger sebelum pentas.
Sejak ditayangkan mulai 18 April 2019, pemerintah di
beberapa kota melarang penanyangan film ini. Seperti yang terjadi di Depok,
Bekasi, Garut, Palembang, Pontianak, Kubu Raya, Pekanbaru dan Padang.
"Kenapa ada pandangan ini promosi LGBT? Itu karena
mereka tertutup sekali pandangannya. Karena belum melihat secara jelas dan
detail film ini," kata Rianto. Menurutnya pelarangan itu adalah
penghakiman tanpa dasar.
"Dilihat isi dari awal sampai akhir film ini, tidak
ada yang namanya promosi LGBT. Ini soal budaya indonesia, keragaman yang harus
diangkat, karena memang kurang ada perhatian untuk kesenian lengger, tarian
laki-laki menarikan gaya perempuan," kata dia.
Dia menjelaskan bahwa film ini terinspirasi dari proses
ketubuhannya, yang memiliki sifat maskulin dan feminim dalam satu tubuh.
Rianto berharap film ini dapat membantu penontonnya untuk
melihat ke sejarah masa lampau, soal kesenian, politik dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari.
"Film ini tentang Rianto-Rianto yang ada di
Indonesia. Rianto bukan sebagai manusia, tapi dimaknai sebagai bentuk kesenian,
bentuk kesenian yang dimaknai sebagai sikap keseharian," kata dia.
Indonesia, kata Rianto, mengalami banyak peristiwa yang
membuat dunia kesenian mengalami trauma-trauma yang luar biasa. Trauma itulah
yang digambarkan dengan menggunakan gambaran kehidupan para penari lengger,
para warok, dan bissu.
"Kadang kita lupa dengan hal-hal sederhana,
keseharian yang kita lewati karena kita banyak terkontaminasi dengan budaya
luar, yang menyebabkan budaya kita tertutup dan tergilas," kata dia.
"Kita harus mencintai dan bukan menghakimi. Belajar lebih
memahami, daripada banyak berbicara" Rianto
Dia menyebutkan bahwa kesamaan cerita hidupnya dengan
gambaran pada film Kucumbu Tubuh Indahku adalah antara 30-70 persen.
"Karena tubuh saya hanya perwakilan. Film ini
berusaha mengangkat semuanya, meskipun belum semuanya, tapi setidaknya ada
beberapa perwakilan untuk mendiskusikan kembali, bahwa kita harus mencintai dan
bukan menghakimi. Belajar lebih memahami, daripada banyak berbicara," kata
dia.
Film ini memenangkan delapan penghargaan Piala Citra
2019, termasuk pada kategori film terbaik. Karya yang diterjemahkan ke dalam
Bahasa Inggris dengan judul Memories of My Body ini dipilih menjadi wakil
Indonesia untuk dicalonkan menjadi nominasi film berbahasa asing di Academy
Award 2020.
"Saya senang sekali, semoga bisa membuka pandangan
masyarakat bahwa ini sangat penting sekali kita pelajari, bahwa perbedaanlah
yang membuat film ini jadi kaya dengan keragaman budaya, keragaman tubuh maskulin-feminim,"
kata dia.
Melestarikan tari
lengger lanang
Kelestarian lengger lanang menjadi perhatian para pelaku
kesenian seperti Rianto, yang mengaku sering merasa kehilangan lengger. Para
maestro lengger pun beranjak tua.
"Saat kembali ke Banyumas dan menemui para penari
senior, saya prihatin karena mereka tidak ada tempat bersuara," kata
Rianto.
Untuk itu Rianto menggelar festival tahunan untuk memberi
kesempatan para penari tua untuk menari lagi.
"Sayangnya banyak dari mereka yang tidak diizinkan keluarganya
untuk menari lagi, karena stigma negatif penari lengger," kata Rianto.
Kendalisada Art Festival digelarnya setiap tahun di desa kelahirannya, Kaliori.
Selain itu, Rianto pun berusaha mendorong munculnya
penari-penari muda.
"Saya berusaha meregenerasi maestro Dariah dan
memunculkan penari-penari lengger lanang dan mengajari mereka kembali tarian
lengger," kata Rianto. Tujuannya, menurut dia adalah untuk "mencoba
mengembalikan kembali kehidupan lengger sebagai kehidupan banyumas yang sebenarnya".
Salah satu sanggar tari lengger lanang yang muncul dari
inisiatif ini adalah Sanggar Tari Kidang Kencana di Desa Muntang, Karang
Tengah, Baturaden. Sanggar yang berdiri tahun 2013 ini kini beranggotakan
sekitar 7 penari.
"Ini berawal dari kecintaan kami, dan ada beberapa
teman yang ingin mengembangkan dan membesarkan lengger," kata Tora,
pempimpin Sanggar Tari Kidang.
Tora mengakui bahwa menjadi penari lengger lanang bukan
profesi yang dapat menghasikan secara ekonomi. Setiap anggota sanggarnya punya
profesi lain, seperti pelajar, guru, dan Tora sendiri adalah perancang
pernikahan.
Menurut Tora, selain karena panggilan jiwa, dirinya juga
punya modal tubuh untuk menjadi penari.
"Saya terlahir dengan modal tubuh yang bisa
dimanfaatkan untuk jadi penari lengger lanang, dalam arti saya seorang
laki-laki yang maskulin tapi saya juga punya sisi feminim yang menjadi modal
tubuh yang dibawa sejak lahir, seperti kelentikan jari dan kelenturan
tubuh," kata dia.
Sukendar Hadi Sumarto, Pemimpin Grup Calung Langen Budaya
yang sudah berdiri sejak 1982 menjelaskan bahwa tari lengger lanang sempat
mengalami pasang surut. Pria kelahiran 1950 itu ingat, lengger yang semula
ditarikan lelaki, justru banyak ditarikan oleh perempuan sekitar tahun 1980-an
hingga awal 2000-an.
Ryan Nurgia Nova, 19 tahun, yang yakin bahwa lengger lanang adalah
panggilan jiwanya.
Setelah itu lengger lanang kembali bangkit, hingga
puncaknya saat ini. "Sekarang perkembangan lengger lanang bagus sekali,
anak-anak muda mulai tertarik. Dan memang orang justru ingin lenggernya
lanang," kata Sukendar yang mengiringi tarian lengger bersama grup
calungnya.
Salah satu anak muda yang tertarik pada lengger adalah
Ryan Nurgia Nova, 19 tahun, yang yakin bahwa lengger lanang adalah panggilan
jiwanya.
"Saya ingin nguri-uri (melestarikan)
budaya Banyumas bersama sanggar lengger lanang," kata Ryan yang baru lulus
SMK tahun ini. Dia pun bergabung dengan Sanggar Tari Kidang pimpinan Tora.
Awalnya, Ryan mengaku sulit meyakinkan orang tuanya yang
tidak setuju anaknya berdandan seperti perempuan ketika menari lengger. Namun,
dia terus menyakinkan orang tuanya, dan mengundang mereka untuk datang
menyaksikan pentas tarinya.
"Saat orang tua saya pertama kali menyaksikan saya
berdandan cewek, tatap muka, jujur masih ada rasa rikuh pekewuh, nggak enak.
Tapi inilah tuntutan seni yang harus kita jaga dan lestarikan," kata Ryan.
Latihan para
penari lengger.
Siang itu kami menyaksikan Tora dan Ryan menari lengger
lanang dalam acara Dies Natalis Fisip Universitas Jenderal Soedirman. Ratusan
penonton tergelak, antara takjub dan geli, ketika para penari berganti
penampilan dari lelaki menjadi perempuan.
"Di Banyumas banyak yang pro, dan memang banyak yang
masih kontra, tapi mungkin itu karena mereka tidak tahu sejarah dan kurang
wawasannya," kata Tora. Menurutnya, selama ini reaksi penonton sebagian
besar positif dan mendukung.
"Tapi ada juga yang ketika kami berdandan mereka
mencibir bahwa cowok dandan perempuan itu banci, silakan, yang penting kami
tidak seperti itu," kata Ryan. "Tidak apa-apa yang penting mereka
tidak menyakiti kami."
Tora yakin bahwa lengger lanang akan lestari.
"Saya
beberapa kali dikontak sekolah untuk belajar dan mendalami lengger lanang,
belajar sebagai tugas sekolah. Saya yakin suatu saat lengger akan masuk dalam
kurikulum," kata dia.
Produksi visual
oleh Anindita Pradana