Made Supriatma
Foto: Patung Sultan Ageng
Tirtayasa di pinggir jalan setelah diangkat dari Kalimalang, Serang.
Sumber: Detik.com
Philistinism: Kata ini tidak ada hubungan dengan
Palestina. Filistinisme (begitulah saya menerjemahkannya) adalah sebuah sikap
atau tindakan yang membenci atau tidak menghargai seni. Seorang filistin adalah
orang yang berpikiran sempit, tidak mau menghargai atau memandang rendah seni
atau produk-produk kebudayaan yang berhubungan dengan seni.
Ada orang yang menjadi filistinik karena menganggap
moralitasnya lebih unggul atau superior dari seni. Mereka tidak membutuhkan
seni dan menganggap seni hanyalah produk inferior dari manusia.
Filistinisme bisa juga bentuk lain dari
anti-intelektualisme. Orang seperti ini tidak menghargai produk-produk
kedalaman berpikir. Mereka tidak menghargai ekspresi kedalaman berpikir.
Sulit untuk disangkal bahwa filistinisme sedang naik daun
di negeri ini. Sebuah film yang berjudul "Kucumbu Tubuh Indahku"
ditolak dimana-mana. Petisi di Change.org sudah menarik kurang lebih 150 ribu
penandatangan.
Tuduhannya sangat gamblang: Film ini adalah film LGBT.
Alhasil MUI, beberapa bupati (Garut, Kubu Raya) dan walikota (Depok, Padang,
dan Pontianak) sudah melarang film ini diputar di wilayahnya.
Patung-patung pun sekarang diberi pakaian. Patung Putri
Duyung di Taman Impian Jaya Ancol diberi kemben. Patung telanjang Dewa Hermes,
dewa dalam mitologi Yunani, tiba-tiba disaputi kain batik.
Nasib patung-patung tersebut masih lebih baik. Mereka
diberi pakaian. Patung Tiga Mojang di Bekasi dirobohkan. Demikian juga patung
ikan di Pangandaran.
Yang juga bernasib sedikit lebih malang adalah patung
Sultan Ageng Tirtayasa di Serang. Pada tahun 2003, patung ini dirobohkan
diam-diam dan dibuang ke sungai Kalimalang di Kota Serang, Banten. Setahun yang
lampau, tiba-tiba kepala patung ini nongol lagi. Dia diangkat dari sungai dan
dipindahkan ke pinggir jalan. Dibiarkan terlantar.
Patung tidak saja dirobohkan atau ditenggelamkan. Pada
tahun 1985, stupa Candi Borobudur juga di bom. Sampai saat ini, saya sering
mendengar ada orang-orang yang gatal tangan untuk memusnahkan patung atau
benda-benda seni peninggalan masa lalu.
Filistinisme terbaru muncul di Kalimantan Barat. Seperti
yang disebut di atas, walikota Pontianak yang bernama Edi Kamtono sudah
melarang film 'Kucumbu Tubuh Indahku.'
Sekarang, Edi Kamtono maju selangkah lagi. Edi
memerintahkan minion-minion bawahannya, Satpol PP Pemkot Pontianak, untuk
membubarkan peringatan Hari Tari Dunia di Kota Pontianak. Peringatan ini
diadakan di Taman Digulis pada Senin kemarin (29/4/2019).
Tidak itu saja. Satpol PP yang didukung oleh ormas Laskar
Pemuda Melayu Pontianak ini juga memukul mahasiswa dan dosen//Ketua Program
Studi Seni Pertunjukan Universitas Tanjungpura.
Alasan Edi Kamtono tidak lain dan tidak bukan adalah
karena menduga acara kesenian itu menjadi acara LGBT. Tidak peduli ada beberapa
pejabat negara yang juga hadir di dalam peringatan Hari Tari Dunia itu.
Saya kira, filistinisme ini bukan yang terakhir. Akan
banyak filistinisme lain yang muncul. Sikap anti-seni ini menjadi marak karena
landasan moral di dalam masyarakat kita juga semakin berubah.
Semakin sedikit orang menari di negeri ini. Para pekerja
seni semakin terancam. Bukan saja karena kekuasaan yang mengharamkan seni.
Namun juga karena masyarakat yang memilih untuk berpaling pada norma moral yang
lain -- yang menafikan, menganggap tidak penting, dan bahkan membenci seni.
Anda boleh ngeri bahwa manusia seperti Edi Kamtono
akhirnya memegang kekuasaan sebagai pejabat publik. Dia tidak akan menjadi
pejabat publik tanpa ada yang mengangkatnya. Bagian yang paling horor adalah
bahwa dia diangkat oleh sebuah proses yang demokratis oleh sebuah masyarakat.
Artinya, dia memiliki pendukung.
Berita tentang pembubaran peringatan Hari Tari Sedunia
dan pemukulan terhadap dosen dan mahasiswa Untan, bisa dibaca [Disini]