Renungan Otobiografis Seorang Penulis Pantura
Oleh Mahfud
Ikhwan
ilustrasi: Seni Tayub dan sebuah pentas wayang di Ploso, Sidoarjo [ist]
Di ujung utara
Yang berlumur dosa
Kudatang mengharap
Sisa-sisa cinta
-- Jhonny
Iskandar, “Hitam Duniamu Putihnya Cintaku” --
1
Ada tiga
peristiwa budaya yang saya pakai dalam novel saya, Kambing dan Hujan (2015),
untuk menandai masa sejarah sekaligus masa sosiologis dari masyarakat yang saya
gambarkan di novel. Pertama, penolakan beberapa orang pemuda untuk ikut dalam
upacara tayuban di kuburan. Kedua, kericuhan berdimensi kelompok yang membuat
sebuah pagelaran wayang bubar sebelum waktunya. Dan, ketiga, penolakan dua
masjid terhadap pagelaran campursari, yang mengakibatkan kericuhan juga.
Tiga peristiwa
itu ada dan terjadi di desa saya, dan saya anggap memang menandai perubahan
dalam masyarakat desa saya, dan karena itu saya pungut dalam cerita—tentu saja
dengan sedikit perubahan dan dramatisasi secukupnya.
Tayuban dan wayangan di
peristiwa pertama dan kedua memang demikian adanya (terjadi masing-masing
sekitar awal ‘60-an dan akhir ’60-an), sementara campursari di peristiwa ketiga
sebenarnya adalah tanggapan tayuban yang kesekian (terjadi sekitar sepuluh
tahun lalu) yang, karena ditolak oleh dua otoritas keagamaan yang ada di desa,
akhirnya sama sekali tak jadi digelar.
Desa saya ada
sisi Pantura Lamongan, meskipun sebenarnya tidak sepenuhnya bisa disebut
berkebudayaan pesisir.
Yang pernah membaca Dawuk (2017) mungkin pernah membaca kalimat ini: “Jika dihitung jarak dari Laut Jawa di utara dan Bengawan Solo di selatan, tempat itu hampir di tengah-tengahnya”.
Kira-kira di situlah letak
desa saya—meskipun, karena saya bukan seorang kartograf atau petugas
pertanahan, tentu saja tak sepersis itu. Jalan Deandels yang ada di antara desa
saya dan bibir pantai Laut Jawa memudahkan kami jadi lebih dekat ke utara
dibanding ke selatan, dan itu membuat kami lebih intens bertukar-tangkap budaya
dengan desa-desa nelayan.
Untuk ke selatan, ke kebudayaan bercorak sungai di
dua sisi nggawan (yang sebagian besarnya memberi bentuk bagi corak kebudayaan
Lamongan secara umum), kami mesti menembus hutan jati yang sangat luas, walau
itu sama sekali tak memutus relasi kekerabatan, tapi terutama ekonomi, dengan
mereka.
Meski demikian, kami juga terhubung dengan masyarakat ladang di sisi
barat, yang menyambungkan kami—baik secara kekerabatan tapi terutama
kebudayaan—dengan desa-desa di sisi timur Tuban, tempat tuak-tuak yang terkenal
itu dihasilkan. Saya merasa, dengan merekalah kami berbagi banyak hal. Saya selalu
berpikir, kami sebelumnya adalah bagian dari mereka yang bergerak terlalu ke
timur.
Kami punya pantai
di sisi utara, hutan di selatan, tegalan di barat, tapi juga sebuah kawasan
perbukitan tepat di atas kepala kami. Di perbukitan itu, yang punya tebing,
berbagai jenis goa, pohon-pohon besar, dan bukit-bukit dengan nama-nama dan
bentuk yang unik, corak dan sistem kepercayaan yang sangat lokal ditambatkan.
Perbukitan itu mendapatkan nama yang sangar, mitikal, dan seperti diambil dari
tempat yang jauh: Rahtawu (yang biasanya dijabarkan sebagai rah yang berarti
darah dan tawu yang berarti debu).
Di tempat ini sadran kepada Putri Nggenuk,
yang dianggap menjadi peri penjaga kawasan itu, masih dilakukan setidaknya
sampai akhir ’70-an. Sampai waktu yang belum terlalu lama, mitos tentang boneka
emas pembawa keberuntungan, burung walet beserta harta karun tersembunyi yang
hanya akan diperlihatkan kepada yang berhak, sebuah lorong yang bercabang ke
selatan menuju Samudera Indonesia dan ke utara menuju Laut Jawa yang di
pintunya dijaga masing-masing oleh kerbau dan harimau pertapa, hingga ke batu
tonggak raksasa yang diperkirakan menjadi patok penambatan kapal Nabi Nuh,
masih jadi obrolan orang tua dan anak-anak.
Ilustrasi: Penari Tayub dari Tuban [ist]
Seorang paman bercerita kepada
saya—yang sudah saya cek kepada beberapa orang lain seumurannya dan mereka
mengatakan hal yang sama—bahwa setidaknya sampai tahun ‘60-an kalimat syahadat
di desa kami tidak dua, tapi tiga: bersaksi kepada Allah, kepada Rasulullah,
dan kepada Kayu dan Batu.
Pada perbukitan
itu juga, saya kira, kami terhubung (secara sangat samar) dengan apa yang
digambarkan sebagai falsafah dan cara pandang dunia orang Jawa pada umumnya:
kisah wayang. Sebuah tebing memanjang, yang tampaknya merupakan patahan yang
mencuat ke permukaan, dianggap tak akan pernah runtuh meskipun kondisinya
secara alami berantakan dan kacau balau, sebab ia diikat oleh ikat pinggang
(Bima) Sena. Sementara sebuah telaga batu kecil, yang tepiannya menyerupai
jejak kaki manusia raksasa, dianggap sebagai jejak kaki Sena. Apakah Sena punya
ikat pinggang? Dan jejak kakinya sebesar itu? Kalau saja saya punya
ketertarikan dengan kisah wayang, dan sedikit mau mengekplorasi, saya mungkin
saja menemukan nama tempat atau sesuatu yang bisa diacu sebagai nama perbukitan
di desa saya dalam kisah Dewa Ruci.
Sayangnya, saya
tidak begitu tertarik dengan kisah wayang. Tapi, terutama, saya tidak merasa
terikat dengannya. Dan untuk itu saya punya penjelasannya.
2
Seperti saya
ceritakan di atas, wayang (baik sebagai pertunjukan maupun sebuah khazanah)
bukannya tidak pernah ada di desa saya. Selain pertunjukan wayang yang kisruh,
yang saya angkat dalam novel itu, sepanjang usia saya, setidaknya saya pernah
melewatkan dua kali pagelaran wayang di desa saya. Dan, berdasar beberapa
cerita, ada beberapa pagelaran juga sebelum-sebelumnya.
Jadi, yang bisa
dikatakan, ia ada tapi tidak menonjol, dan karena itu orang mungkin tak terlalu
memikirkannya ketika ia sama sekali tak ada lagi.
Sebagai khazanah,
selain dalam soal tebing dan telaga yang mencatut nama Sena itu, saya tak
banyak menemukannya. Kakek-nenek dan 0rang-orang tua kami bercerita tentang
kisah asal-usul desa, legenda-legenda hutan, anekdot-anekdot tegalan,
kisah-kisah hantu (dari yang lucu, aneh, hingga yang mengerikan), dan tentu
saja kisah para Nabi, sahabat, dan cerita-cerita hikmah.
Tapi, saya tak
mengingat sedikit pun soal kisah-kisah dari cerita wayang. Tidak dalam bentuk
yang sederhana, apalagi yang lebih rumit dan lebih dalam.
Tidak juga ada
gambar-gambar atau apa pun yang bisa dihubungkan dengan wayang di rumah-rumah.
Dinding-dinding rumah orang NU biasanya diisi oleh poster-poster Walisongo,
Syekh Abdulqodir Jaelani, atau Hadratush Shekh, atau potret-potret kyai khos
tempat anak-anak mereka mondok, juga tentu saja Surah Yasin, selain yang paling
umum adalah poster kaligrafi syahadat dalam bentuk orang duduk tasyahud.
Orang-orang Muhammadiyah, seperti doanya yang sederhana, biasanya cuma ada
lambang Muhammadiyah dan Aisyiyah di dinding rumahnya (lengkap dengan plakat
Allah dan Muhammad). Sisanya, dalam suatu masa, dinding-dinding rumah banyak
diisi oleh poster-poster Rhoma Irama, Nasidaria dalam formasi lengkap, atau
tim/pemain sepakbola. Gambar wayang yang bisa saya ingat adalah gambar-gambar
di wayang umbul produksi pabrik poster Gunung Kelud.
Gambar itu berisi
tokoh-tokoh wayang dengan nama di bawahnya. Tapi, gambar-gambar yang tampak
serupa satu sama lain itu tentu saja kalah mengesankan dibanding gambar-gambar
wayang umbul dari jenis yang bercerita, dan jenis yang terakhir inilah yang jauh
lebih populer.
Saya sendiri
mengenal cerita wayang, khususnya Mahabarata, nyaris untuk pertama kali, dari
sandiwara radio. Dari sini saya lumayan bisa mengenali mana yang termasuk
Pandawa, mana yang Kurawa, dan bagaimana dua saudara itu terbentuk kemudian
saling berperang. Tapi, kalau bicara sandiwara radio, Mahabarata jelas bukan
kisah yang paling membekas. (Ia boleh jadi hanya diingat oleh yang terlalu gila
sandiwara macam saya, itu pun dengan kritik: kok bisa semua tokohnya sakti?)
Saur Sepuh dan Tutur Tinular saya pikir menancap jauh lebih dalam bagi para
pendengar sandiwara radio, sehingga sampai sekarang masih terus diingat dan
dibicarakan.
Omong soal radio,
wayang kulit (dalam bentuk audio) sebenarnya bukan sesuatu yang sulit
ditemukan. Ia biasanya bisa ditemukan di malam hari, sebagaimana kita bisa juga
menemukan siaran ludruk. Dan ia bukannya tidak diputar di rumah-rumah,
setidaknya ketika saya masih kecil, saat tradisi mendengarkan radio yang
dominan. Tapi, tampaknya, ia tidak banyak menginspirasi para pendengarnya untuk
membicarakannya di tempat-tempat terbuka atau membuat orangtua bersemangat
menceritakannya kepada anak-anaknya. Jika saya pernah mendengarkan orang dewasa
membicarakan wayang, itu adalah ketika TVRI habis menyiarkan pagelaran wayang
orang Sumatri Sukesrono.
Tapi, itu tentu saja tak terlalu berbeda dengan orang
membicarakan Rano Karno setelah menontonnya di Film Cerita Akhir Pekan.
Hal ini berbeda
dengan ludruk. Meskipun menontonnya secara langsung adalah momen yang sangat
langka (saya, misalnya, hanya mengingat beberapa pentas tari ngremo yang
dilakukan para penjual obat), ludruk jauh lebih populer di kalangan para
pendengar radio. Sampai akhir ‘90-an, masa yang bisa ditandai sebagai akhir era
radio, ludruk yang diproduksi RRI Surabaya dan disiarkan setiap Senin malam dan
Jumat malam sangatlah digandrungi dan ditunggu-tunggu, dan merupakan sarana
hiburan massal sebelum televisi mengambil alih.
Orang-orang bisa berkumpul
dalam jumlah banyak di beranda rumah seseorang hanya untuk mendengarkan cerita
ludruk hingga larut malam bersama-sama. Dan seperti sekarang ibu-ibu bercerita
tentang sinetron yang ditontonnya, mereka akan saling bertukar cerita tentang
cerita ludruk semalam.
Ludruk juga
mendominasi media publik yang tak begitu dinikmati wayang, yaitu speaker
hajatan. Bersama musik kasidah Nasidaria, musik melayu Sinar Kemala, Awara/ Ida
Laila, Soneta, dan musik tayuban (nanti akan saya singgung lebih jauh), kaset
ludruk haruslah ada dalam daftar putar jika ada orang punya pesta kawinan atau
sunatan. Karena mungkin jumlah produksi yang beredar di pasar tidak banyak,
cerita yang diputar pun tidak banyak, bahkan terkesan itu-itu saja: Joko
Sambang, Jaran Putih Mayang Seto, Joko Gondok, Joko Dolok, Joko Jumput, Joko
Rawono, Raden Branjang Kawat, Sarip Tambak Oso, Rangga Janur, Maling Sakti
Gagak Setro, Semanggi Suroboyo, Geger Pabrik Gulo Kedawung, selain
ludruk-ludruk dalam format dagelan.
Tapi karena tidak banyak itulah,
orang-orang bisa menjadi sangat hapal dengan kisah-kisah tersebut. Bukan saja
jalan ceritanya, tapi hingga dialog-dialognya yang paling sepele. Dalam
obrolan-obrolan di warung kopi atau tepi jalan atau beranda masjid, dialog di
cerita Joko Sambang bisa nyelonong begitu saja, dan kemudian mendapat sahutan
meriah dari lawan bicara. Anak-anak TK mengulang-ulang lirik nyanyian Pak Colok
“Markasan, Subakri, Markasan, Subakri, Markasan, Subakri,” dua nama pembunuh
Raden Branjang Kawat, di antara Tepuk Ame-Ame dan Gelang Sipaku Gelang.
Sementara bocah-bocah baru akil balig senang sekali dengan mengulang-ulang
dagelan agak mesum dua tentara Kompeni di kisah Jaran Putih Mayang Seto:
“Yu no Mundomae?// Apa Mundomae?// Temu rondo sak omae (ketemu janda sekalian rumahnya)”.
Kata kompeni atau gupermen menjadi kosa kata sehari-hari, baik untuk
perumpamaan maupun umpatan, tampaknya juga karena ludruk.
Kembali ke
wayang, ketika budaya menonton televisi datang, dan tradisi-tradisi audio mulai
melemah, bocah-bocah dengan usia di bawah saya mungkin menemukan “cerita
wayang” pertama kali di layar kaca. Televisi Pendidikan Indonesia (TPI)
mengudara di tahun 1991, dan langsung punya trademark dengan serial Ramayana
dan Mahabarata-nya. Tapi, saya pikir para penonton generasi ini tidak akan
mengenang serial yang diproduksi B.R. Chopra itu terlalu dalam, kecuali untuk
sekuen adu senjatanya yang aneh, sebab mereka segera ditimpa bom yang lebih
besar: film dan lagu India.
Tanpa mencoba
meremehkan para pemujanya, juga falsifikasi atasnya di belahan Jawa yang lain,
untuk konteks desa Pantura macam desa saya, dan saya pikir itu bisa diperluas
setidaknya untuk kawasan yang memanjang antara di sepanjang Pantai Surabaya
sampai Pati (apakah juga Jepara hingga Semarang?), wayang tak pernah melebihi
fungsi asalinya: hiburan rakyat.
Dengan bahasa yang lebih akademis: budaya
massa. Dan dalam hal ini, ia kalah bersaing dengan budaya massa yang lain, dan
kemudian gagal lolos dari ujian masa. Mungkin karena formatnya yang kurang
menarik, mungkin perangkat sosial-budayanya kurang memadai, atau mungkin juga
ada penyebab lain.
Untuk mencoba
menguliknya, saya hendak membandingkannya dengan budaya massa lain, yang kadar
ke-Jawa-annya mendekati wayang (meskipun biasa dianggap lebih rendah, terutama
karena karakter profannya yang kental), namun bisa bertahan lebih lama, yaitu
tayuban.
Ilustrasi: Penari Seni Tayuban dari Indramayu (Jabar) tengah beraksi [Foto: Antara]
3
Orang desa saya
menyebut tayuban dengan nama yang sedikit berbeda, yaitu gambyong. Itu nama
yang juga banyak dipakai di kaset-kaset rekaman tayub. Namun, dalam versi
cakapan, banyak juga yang menyebut dengan lebih sederhana: gong. Saya tidak
tahu kenapa begitu. Mungkin itu semacam pars pro toto saja. Yang bisa saya
pastikan, sebutan sederhana itu tampaknya membuat saya tidak terkesan dengan
musik gamelan—sampai sekarang—sekeras apa pun saya berusaha.
Dilihat dari asal
kebanyakan grup tayub yang diundang bermain di desa saya dan desa-desa
sekitarnya, tayuban yang saya kenal tampaknya datang dari dari arah barat,
tempat dari mana tuak juga datang. Dan saya kira saya tidak salah. Tuban memang
tempat yang subur untuk grup-grup tayub. Dalam sebuah berita online bertahun
2017, sebuah ritual siraman para waranggono tayub dilakukan di pemandian
Bektiharjo, tempat wisata yang tidak asing dan tidak terlalu jauh dari tempat
kami. Dan kebetulan, dalam berita itu dikutip seorang narasumber yang namanya
sangat familiar, Endang Mursiah. Dia adalah rockstar tayub tahun ’90-an. Ia
melantai (karena tayub tak pakai panggung) berkali-kali di desa kami. Dan
nyaris tak ada kaset rekaman tayub yang tidak mencantumkan namanya.
Tayuban
semestinya tak seprofan yang orang pandang di masa-masa yang lebih belakangan.
Ia, sebagaimana hasil dari kombinasi seni musik dan tari di mana pun, jelas
punya sisi religius—dan itu bisa dibuktikan dengan berita tentang prosesi ritus
yang saya kutip di atas. Itu kenapa pada masa lalu kesenian ini adalah bagian
tak terpisahkan dari ritual-ritual keagamaan di desa saya, sebagaimana yang
saya gambarkan di Kambing dan Hujan, dan tampaknya masih ada dan bertahan di
desa-desa nelayan atau tegalan di sekitaran Tuban-Bojonegoro (mungkin juga di
daerah-daerah lain, dengan nama yang sedikit berbeda). Namun, ketika paham
modernis masuk ke desa, yang datang dari arah timur, dengan semangat
pemurniannya, tayub segera saja mendapat tantangannya.
Ketika masuk dan
perkembang pertama kali di awal tahun ‘60an, kalangan Islam modernis menjadikan
tayuban sebagai anasir yang mesti disingkirkan. Maka, pembangkangan beberapa
pemuda terhadap tayuban di kuburan dianggap sebagai momen besar mereka, dan
karena itu diceritakan dengan heroik. Momen besar lain yang sering diceritakan
ulang, yang tidak saya masukkan di novel, adalah ketika semua orang santri
dikurung di dalam masjid agar mereka tidak bisa menonton pagelaran tayub yang
sedang berlangsung di desa. Sebagian besar dari mereka kemudian tumbuh menjadi
orang-orang yang menyingkiri gelaran-gelaran tayub dan menjadi
orangtua-orangtua yang melarang keras anak-anaknya menyukainya. Salah satu dari
mereka adalah bapak saya.
Minuman keras,
judi, dan membuat lalai dari ibadah, adalah alasan utama kenapa tayub harus
dijauhi. Tapi, sejujurnya, kalangan Islam modernis memang selalu mencurigai
semua jenis kesenian (tradisional), apalagi yang ditempelkan pada agama. Lagi
pula, corak Islam modern yang masuk desa saya, memang dari jenis yang paling
keras. Datang dari arah timur, ia berkarakter pesisir, kota, dan punya kaitan
kuat dengan Persis-nya A. Hassan di Bangil.
Tapi, tayuban
tentu saja tidak begitu saja tersingkir karena dibenci oleh para penganut Islam
modernis. Ia hidup dan dilestarikan oleh kalangan yang di desa saya disebut
sebagai abangan, meskipun abangan di sini lebih dekat dengan istilah yang lebih
dikenal, yaitu wong warungan (para pengunjung warung), dibanding dengan
pengertian yang dipakai Gertz. Mereka biasanya adalah kalangan perangkat desa
(pamong), para pedagang ternak (blantik), pedagang pada umumnya (juragan atau
daukeh/tauke), blandong, dan orang-orang yang hidup dari dan bersentuhan dengan
mereka. Merekalah yang secara berkala mendatangkan rombongan tayub ke desa,
biasanya untuk menunjukkan gengsinya kepada relasi-relasinya. Dalam keseharian,
karena sebagian adalah orang berpunya atau terlihat berpunya, mereka memutar
keras-keras musik tayub dari rumahnya, sebagaimana kalangan santri yang
berpunya menyetel tilawah atau musik kasidah.
Masa saya tumbuh,
antara tengah 80-an hingga awal ’90-an, kebetulan adalah puncak-puncaknya
keriuhan dan popularitas tayuban di desa saya. Tayuban bisa diselenggarakan
tiap tahun, biasanya setelah panen. Itu bukan hanya menciptakan pasar malam
yang bukan main ramainya, tapi membuat desa kami untuk sehari semalam jadi
pusat dunia; tamu-tamu dari jauh berdatangan, orang-orang dari desa-desa
sekitar berduyun-duyun datang. Anak-anak tentu saja gembira. Mereka risih tapi
juga tertarik dengan para penari tayub yang menari dikelilingi para lelaki, dan
sesekali di-singuk (dicium). Mereka takjub melihat orang-orang mabuk, mungkin
untuk pertama kalinya dalam hidup. Mereka diam-diam mengintip orang-orang yang
main judi dalam keremangan, dan mulai memupuk keinginan untuk kelak ikut ambil
bagian. Para orangtualah yang mumet.
Salah satu faktor
penting riuhnya tayub di dekade itu saya kira adalah keberadaan Petinggi
(lurah) Sulhan, kepala desa kami waktu itu. Saya rasa ia menyukai kesenian,
atau setidak-tidaknya keramaian. Ialah orang yang membuat saya menonton wayang
untuk pertama kalinya, dan tampaknya sekali-kalinya itu. Ia secara pribadi
menginisiasi tanggapan tayub, dan patut diduga memudahkan pihak-pihak lain
menanggap tayub di desa. (Secara lebih personal, ia akan saya kenang sebagai
orang yang berulang-ulang nanggap video, yang dari situ kemudian muncul seorang
bocah yang keranjingan film—soal pengalaman dengan film video, lihat Aku dan
Film India Melawan Dunia [Buku I].)
Yang menarik,
Petinggi Sulhan adalah salah seorang yang dianggap sebagai generasi pertama,
mungkin salah satu yang terbaik, para modernis “pembenci kebudayaan” itu. Para
pengritiknya biasanya akan bilang, ia adalah santri yang terseret pergaulan
kalangan pamong era Orde Baru yang ingin terlihat mriyayeni. Itulah kenapa ia
menanggap wayang dan mengundang rombongan tayub (dan beberapa hal lain yang
identik dilakukan para pamong masa itu).
Selain ditanggap
secara live, seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, tayub sangat populer
diputar di speaker-speaker hajatan. Kaset tayub adalah jenis yang pasti ada di
kotak penjaja jasa speaker. Jika kasidah punya spesialisasi diputar setelah
Subuh atau menjelang Magrib, kaset tayub biasa diputar saat siang terik. Jika
diputar jenis musik lain, akan lumrah terdengar hardikan, “Cah, awan-awan yo
enake gambyongan leh” (Siang-siang yang paling enak ya putar gambyong-lah).
Musik tayub juga diputar di rumah-rumah atau di tempat orang bekerja, seperti
di penggergajian dan pembakaran gamping.
Saya tidak pernah
bisa menyukai musik tayub, dan selalu gagal setiap mencobanya. Namun, karena
hampir setiap saat mendengarnya diputar, saya setidaknya menghapal salah satu
yang paling populer, dan tidak lupa sampai sekarang:
E-e, ana perawan
ayu
Mripat bunder karo plerak-plerok
Tak takoni mesem-ngguyu
Bareng kenal jenenge Palupi
Mripat bunder karo plerak-plerok
Tak takoni mesem-ngguyu
Bareng kenal jenenge Palupi
Pelantunnya siapa
lagi kalau bukan Endang Mursiah.
Ketika Petinggi
Sulhan tidak terpilih lagi sebagai kepala desa, kira-kira sekitar 1992, pamor
tayub tidak langsung anjlok, meskipun mengalami penurunan kepopuleran dan
frekuensi tampil. Ketika sekitar sewindu lalu perwakilan Muhammadiyah dan NU
bersepakat untuk menolak dilangsungkannya sebuah tanggapan tayub, sejak itu
saya tak menemukan lagi tanggapan tayub di desa saya. Untuk membuat
perbandingan yang menarik, lenyapnya (gelaran) tayub dari desa saya terjadi
ketika selama tiga dekade terakhir, puncak kepemimpinan politik dan
administrasi desa dipegang oleh kalangan Nahdliyin.
4
Tanggapan tayub
telah hilang tak kurang dari sepuluh tahun terakhir. Tapi, musik tayub tetap
terdengar dari speaker-speaker hajatan, juga rumah-rumah. Dan teman-teman
sebaya saya, yang kini sudah menjadi bapak-bapak dengan kualifikasi yang cocok
untuk penggemar tayub, masih kerap bercerita bahwa mereka baru saja menonton
tayuban dari desa tetangga—meski saya belum mendengar nama baru yang
menggantikan Endang Mursiah. Hal yang sama tak terjadi dengan wayang. Wayang
tampaknya sudah tidak ditonton, juga tak dibicarakan.
Dalam percakapan
dengan seorang teman sekampung, faktor yang segera tampak menjadi penentu
adalah soal kedekatan. Desa saya, yang hanya berbatas dua desa di sebelah barat
dengan wilayah Tuban, bagaimana pun, memang masuk area edar tradisi tayuban.
Tuban memiliki sangat banyak grup tayub, dan karena itu lebih mudah dan
tampaknya relatif lebih murah dibanding wayang. Hal itu memudahkan tayuban
ditonton dan dikonsumsi. Wayang musti dicari ke daerah-daerah yang jauh di
selatan atau barat, atau bahkan mesti ke sekitar Solo atau Jogja.
ilustrasi: Pentas Seni Tayuban di Saradan Bantul, Yogyakarta [Foto: Sukro Riyadi]
Sementara tayuban
mendapat tentangan dari kalangan agama, dan mesti berjuang melawannya, wayang
tampaknya tak mengalami itu. Saya tak pernah mendengar orang mejid-an bicara
buruk tentang wayang, tidak di dalam khotbah-khotbah atau pengajian, tidak juga
dalam obrolan. Namun, dalam kasus desa saya, sepertinya wayang tak memiliki
jenis kelompok sosial tertentu yang membela dan merasa berkepentingan
menjaganya, sebagaimana tayuban punya wong warungan.
Sama-sama awam
atasnya, saya bayangkan, tak seperti para penyuka tayuban yang terkesan lebih
entengan, sing penting rame, kadang dengan fokus perhatian dan pembicaraan pada
hal yang bersifat seksual, semisal “sindire ayu gak” (apakah penarinya cantik
atau tidak), penyuka wayang tampaknya membutuhkan tingkat sofistikasi tertentu.
Anda mesti memiliki seperangkat pengetahuan tertentu untuk memilih satu lakon
wayang dibanding saat rekues tembang “Perawan Ayu”, ya ‘kan?
Sekeras apa pun
para pengklaim yang menyatakan bahwa Islam dan wayang adalah dua keping mata
uang, keberjarakan (atau boleh jadi hubungan saling menegasikan) antara wayang
dan kalangan santri adalah kenyataan yang mesti diakui. Dan inilah yang terjadi
di tempat saya—dan saya kira bisa kita pakai untuk membuat gambaran lebih besar
untuk wilayah yang lebih luas, setidaknya mencakup tiga kabupaten di Pantura
Jawa Timur (atau mungkin bisa lebih diperluas lagi).
Padahal, di luar kalangan
santri, yang tersisa adalah minoritas “abangan”, yang malangnya, “hanya” cocok
dengan tayuban. Sementara, dalam masyarakat tegalan yang terpapar kebudayaan
nelayan dan punya hubungan yang khas dengan hutan, masyarakat seperti desa saya
tak memungkinkan akan melahirnya priyayi kecil, seperti yang tercipta di
masyarakat di bekas kota-kota kolonial, dan pada saat yang sama belum mampu
melahirkan kelas sosial baru yang karakternya mendekati itu, katakanlah Pegawai
Negeri.
Upaya mriyayeni,
atau setidaknya terlihat seperti itu, yang dilakukan oleh Petinggi Sulhan,
misalnya, tidak bertahan. Mungkin karena upaya itu punya keterkaitan dengan
cara beroperasinya kekuasaan pada level paling bawah di masa Orde Baru,
sehingga ia tak bertahan manakala Orde Baru jatuh. Atau, boleh jadi, ia adalah
sebuah ujicoba lemah dari seorang elit lokal berkarakter santri dari sebuah
desa tegalan, yang kemudian tak memiliki cukup pesona untuk diteruskan oleh
penerusnya yang juga santri. Saya lebih cenderung ke kemungkinan pertama,
meskipun kedua-duanya bisa saja terjadi secara bersamaan.
Faktor
keberjarakan dan tidak munculnya kalangan yang pembelanya, menjadikan wayang tidak
muncul dengan karakter edi-peni-nya (ketinggian mutu musik dan susastranya,
karakter didaktiknya, tapi terutama kakayaan filsafatnya dan segala atribus
magis-mitisnya). Ia, seperti yang saya sebut di depan, pada akhirnya hanya
tinggal sebagai tontonan rakyat yang biasa, alias budaya massa. Dan untuk itu,
wayang mesti menghadapi tarung bebas dengan budaya massa lain. Pada akhirnya
“pasar”-lah yang menentukan. Jika ia tak memiliki karakter seliat tayuban, coba
bayangkan bagaimana ia melawan koplonya Sodiq atau ceramah Anwar Zahid.
Sampai di sini,
saya pikir kita bisa menambahkan faktor-faktor lain, yang lebih berlaku umum,
juga yang lebih kompleks, yang membuat wayang mesti berjuang lebih keras untuk
mempertahankan eksistensinya dan mendapatkan audiens baru, bahkan di
tempat-tempat wayang memperoleh pemujaan dan penghormatan lebih besar.
5
Saya dididik oleh
orangtua yang membenci tayuban, tak pernah membicarakan wayang, dan mengajari
beberapa saja kosa-kata bahasa Jawa madya untuk perangkat menghormati orang
yang lebih tua, dengan sesekali peringatan: “mbok karo wong tuwo iku basa”
(jika bicara dengan orang tua berbahasalah yang baik). Selebihnya adalah
mengaji dan shalat, shalat dan mengaji. Dan, saya rasa, apa yang saya alami
dialami oleh anak-anak di desa kami. Dengan kata lain, jelas sekali, dibanding
dididik menjadi Jawa, kami tampaknya lebih dididik untuk menjadi Islam.
Tapi, apakah
hidup kami sekering itu, dan kemudian kami tumbuh menjadi orang Jawa yang tak
memiliki kebudayaan? Saya harap tidak, dan saya kira tidak.
Bapak saya
pencerita yang bersemangat. Dan di antara cerita para Nabi, juga kisah-kisah
sejarah yang ia sukai, juga tentu saja tentang sepakbola, ia bercerita tentang
musik yang ia sukai, pentas Rhoma Irama yang pernah ditontonnya, kisah di balik
perceraian Rhoma Irama dan Veronica, kisah tentang Orkes Melayu Sinar Kemala
dan proses perpecahannya dan kelak menjadi apa saja, kisah di balik pernikahan
Muchsin Alatas dan Titiek Sandora, dari mana asal A. Rafiq, dari mana asal Koes
Plus dan kenapa mereka bernama begitu, dan masih banyak lagi. Ketika saya bisa
membaca, salah satu buku pertama yang saya baca adalah buku tulis kecil berisi
lirik-lirik lagu Melayu yang ditulis dengan tangan bapak saya sendiri. Ya,
pembenci budaya profan ini rupanya menyimpan ketertarikan dengan keprofanan
yang lain. Lagu-lagu seperti “Kudaku Lari”, “Hilang Tak Berkesan”, “Boneka
India”, “Di Lembah Duka”, “Anjing dan Sampah” mungkin sudah saya kenali
liriknya sebelum benar-benar mendengar lagunya. Meski kami baru memiliki tape
rekorder saat SMA, saya kira kepala dan terutama kuping saya sudah dipersiapkan
untuk musik.
Teman-teman yang
langsung mendapati tape rekorder di bufet rumah mereka begitu lahir, saya kira
jauh lebih beruntung. Mereka sudah mendengar suara Rhoma Irama, Elvi Sukaesih,
Ida Laila, A. Rafiq, Nasidaria, juga suara Kartolo sejak kecil. Sementara teman
yang tak punya bapak pencerita dengan album lagu dalam tulisan tangan dan juga
tak punya tape rekorder, mereka tumbuh di antara tetangga-tetangga yang memutar
lagu-lagu Rhoma Irama, Ida Laila, dan Nasidaria, baik dari tape rekorder daru
rumah-rumah, maupun speaker-speaker hajatan.
Keluar rumah, di
usai yang sangat dini, saya terpukau dengan misri yang dimainkan dengan serius
oleh kakak-kakak baya saya. Digelar dengan tata panggung mini, sebab dibuat,
dimainkan, dan ditujukan untuk anak-anak, lengkap dengan tata cahaya dari lampu
senter dan berko sepeda, yang dinyalakan dengan batu baterei kering yang
dirangkai sangat panjang setelah sebelumnya dipukuli (yang diyakini bisa
menaikkan dayanya yang sudah habis), misri memainkan lakon-lakon pendek yang
dicuplik dari cerita-cerita ludruk yang populer. Saya pikir, ini boleh jadi
sejenis tafsir dan peniruan tidak lengkap dari kesenian gambus misri (gambus
dari Mesir) yang banyak dimainkan di kota-kota santri di Jawa Timur—dan saya
tidak tahu bagaimana ia bisa sampai ke sebuah desa tegalan. Meski segera saja
lenyap, barangkali karena butuh dikerjakan dengan sangat serius—bahkan untuk
yang bukan anak-anak, ia meninggalkan kesan yang dalam.
Cerita dari misri
yang digarap kakak-kakak baya ini mendekatkan kami pada ludruk, lalu membuat
kami bertekuk lutut di depan sandiwara radio. Di sisi lain, bersama dengan
layar tancap film-film Rhoma Irama, mereka memperkenalkan kami lebih dini
kepada tontonan dengan cerita profan, mendahului film-film perjuangan yang
diputar pemerintah bersama kampanye Keluarga Berencana, Film Cerita Akhir Pekan
TVRI, dan akhirnya film-film Suzanna dan Barry Prima dari video-video yang
ditanggap orang punya hajat.
Cerita dan
tontonan, yang tampaknya tidak dilanjutkan oleh tradisi membaca dan tak
didukung keterjangkauan bioskop (malah kemudian bioskop kota-kota kecil
bertumbangan karena monopoli Grup 21 di awal ‘90-an), tak pernah bisa keluar
dari kerangka televisi setelah benda itu muncul di ruang tamu rumah-rumah dan
segera menjadi penguasai. Tapi musik yang kami warisi dari orang tua kami
adalah pondasi tempat berdirinya musik-musik kami selanjutnya.
Kemelayuan selera
orangtua kami membuat musik rock meleleh Malaysia menepi dengan mulus, apalagi
setelah desa kami menjadi salah satu sentra migrasi. Musik dangdut memudahkan
kami memamah dan merayakan musik India. Koplo masuk dengan catatan dan
resistensi, tapi pada akhirnya diakui juga dan menemukan pendengar barunya.
Sementara musik kasidah yang berhenti di Nasidaria, di “Tahun 2000”-nya,
membuatnya tak pernah tergantikan.
Musik-musik lain
bisa datang dan pergi, berkembang, berubah, atau sekadar bersiasat untuk
bertahan menjadi bagian dari keseharian kami. Tapi, jika bicara speaker
hajatan, yang walaupun mulai didesak oleh jenis sound system tetap menjadi
pilihan utama, maka musik seperti berhenti berkembang. Sinar Kemala, Awara, dan
Soneta masih terus saja diputar dan mendominasi. Nasidaria tetap menjadi
penanda pagi dan petang. Ketika siang bolong, jika bukan koplo yang mencuri
kesempatan, musik tayub masih sayup-sayup terdengar, meski sekarang mereka
berbagi tembang dengan campursari dan dangdut koplo. Ludruk, yang tampaknya
alpa memindahkan rekaman-rekaman kasetnya ke kepingan CD atau ke file MP3,
mulai menjadi jarang.
Begitulah, kami
adalah orang Islam Jawa yang berbudaya dan menikmati kesenian. Mungkin sedikit
berbeda. Boleh jadi tampak rendahan, tidak dalam dan rumit, atau bahkan
nirfaedah. Tapi, begitulah adanya kami.
6
Kalimat terakhir
di bagian sebelumnya saya tulis dengan kerendahan hati, sedikit bumbu ironi,
tapi yang jelas—sebagaimana yang tampak—ia adalah bentuk rasa rendah diri. Ia
tak berbeda nadanya dengan saat kebanyakan orang Pantura dan nyaris seluruh
Jawa Timur mengakui dirinya “kasar”, sembari mengglorifikasi sifat “jujur” yang
sebenarnya tak selalu bisa dibuktikan. Ia juga senada dengan saat Kartolo dkk.
bicara tentang betapa rumitnya “cara kulonan” (cara orang sebelah barat) dalam
lawakan mereka.
Sepertinya,
sekolah dan pengetahuan mengajari kami untuk demikian.
Di kelas 2 SD,
saya masih ingat ketika diberitahu oleh guru saya yang berasal dari Magetan
bahwa sebagian bahasa Jawa krama yang diajarkan para orangtua kami ke
anak-anaknya salah kaprah—saya pikir, itu adalah untuk pertama kalinya saya
mendengar frasa tersebut diucapkan. Katanya, memberi contoh, kalau dangu itu
artinya bukan bengi tapi suwe, sementara krama dari bengi, yaitu dalu justru
dipakai secara ngoko untuk menggantikan kata sore.
Apakah yang
diajarkannya salah? Tentu saja benar. Lagipula, ia seorang guru yang
didatangkan dari tempat yang sangat jauh, mana mungkin dia salah. Dan karena
itu, sejak itu saya menaati nasihatnya, ber-krama seperti yang dinasihatkannya.
Kadangkala, saya bahkan memberitahu orangtua saya atau orangtua teman tentang
kesalahan dari apa yang mereka ajarkan kepada anaknya-anaknya. Yang salah
adalah: ia membuat seorang bocah meyakini bahwa masyarakatnya adalah orang Jawa
yang kurang beradab, yang para orangtuanya bahkan tidak bisa mengajari
anak-anaknya basa yang benar.
Saya mungkin
berpikir terlalu berlebihan. Tapi apakah seberlebihan itu? Saya kira tidak.
Saya tidak berharap bahwa guru yang saya hormati itu berpikir demikian, tapi
saya tak akan kaget jika memang benar demikian. Sebab, bukankah demikian yang
dipikirkan oleh para guru yang dikirim ke daerah-daerah “terpencil”, dari masa
entah kapan sampai sekarang? Mereka ingin memberadabkan kami. Dan langkah
pertama untuk menuju ke sana itu adalah dengan menunjukkan kepada kami betapa
tak beradabnya kami.
Jika ada guru
yang berpikir demikian, tentu saja tak ada yang salah. Sebab, negara, lewat
kementerian pendidikan, niscaya juga berpikir demikian—dan saya kira hal itu
berlaku sampai sekarang. Maka, diajarilah kami “dadi wong Jawa” dengan
buku-buku yang ditulis dan dicetak di Solo atau Klaten, atau sekitarnya, atau
yang menyerupainya. Kami diperkenalkan dengan “bahasa yang benar”, yang disusun
dan diciptakan “para leluhur”, yang sebenarnya itu sama sekali baru bagi kami,
sebagaimana bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, atau bahasa-bahasa lain yang
diperkenalkan oleh bangku sekolah. Di buku, kami diperkenalkan dengan kota-kota
yang jauh, macam Muntilan atau Kutoarjo, yang terdengar sangat Jawa, meskipun
boleh jadi kami tak akan pernah ke sana seumur hidup kami. Di buku, kami tak
menemukan kota-kota yang lebih dekat dengan kami, macam Tuban, Gresik, atau
Bojonegoro, atau bahkan Surabaya, yang ingin kami kunjungi karena di sana ada
pasar yang ramai atau ada rel sepur, hal yang tak kami temukan di tempat kami.
Mungkin karena kota-kota itu tak cukup Jawa.
Seperti
kebanyakan hasil kerja pendidikan kita, tampaknya upaya itu tak pernah
berhasil. Kami tak pernah bisa dibina “dadi wong Jawa” yang lebih benar.
Setelah berpuluh-puluh tahun, kami tetap memakai kata dalu sebagai ngoko yang
menggantikan sore dan dangu untuk malam: peladang masih mengajak keluarganya
pulang dengan bilang “ayo mulih, wis dalu”; tamu yang mohon pamit kepada tuan
rumah karena waktu sudah malam akan bilang “sampun dangu, nyuwun pamit”. Kisah
Bima Bungkus yang saya baca di buku ajar Bahasa Jawa kelas 4 SD/MI terbitan
Intan Pariwara tak bisa saya ingat detilnya, jauh berbeda dengan apa yang
dilakukan Brama Kumbara yang kami dengar dari radio. Saya masih menghapal
baris-baris Gambuh yang diajarkan di kelas 6 MI, tapi saya akan jauh lebih
bangga kalau di depan teman-teman saya ngopi bisa mengulang dialog Wadeng
(lengkap dengan logat Tapal Kudanya) kepada Kompeni dari cerita ludruk Jaran
Putih Mayang Seto. Tapi, stereotipe tak terkatakan bahwa kami ber-Jawa secara
salah, dan oleh karena itu mesti dibenarkan, tak tahu tradisi nenek moyang yang
adi-luhung, tertinggal dan membekas.
Kami, yang “di
ujung utara” ini, seperti lirik lagu Jhonny Iskandar, memang (Jawa) “berlumur
dosa”. Tapi, karena hanya inilah yang kami punya, bolehlah kami memujinya. Dan
untuk itu, izinkan saya meneruskan bernyanyi:
Bagiku dirimu
bagai mutiara,
Walaupun berkubang di dalam lumpur yang hina...
Walaupun berkubang di dalam lumpur yang hina...
Jomblangan, 27
Januari 2019
Sumber: Mahfud Ikhwan