Zen Hae | 09:57 WIB - Minggu, 16 September 2018
Jika akhir-akhir
ini kita menonton pentas-pentas teater amatir di Jakarta—atau di Indonesia pada
umumnya—sebenarnya kita tengah berhadapan dengan pencarian bentuk pemanggungan
teater yang berada dalam dua titik ekstrem. Yang pertama adalah bentuk-bentuk pemanggungan
teater realis yang akarnya bisa kita lacak ke masa awal pertumbuhan teater
modern di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
Yakni, ketika
teater realis gaya Ibsen dialihkan ke dalam bentuk tonil berjudul Korbannya
Kong Ek oleh Kwee Tek Hoay pada 1926.
Sementara titik lainnya adalah pencarian bentuk pemanggungan teater
yang secara ringkas bisa dirumuskan sebagai “apa-apa-yang-bukan-realisme”.
Meskipun
pemanggungan terjemahan lakon-lakon absurd dan eksistensialis telah muncul
sejak akhir 1950-an, lakon-lakon itu dipentaskan dengan tetap mempertaruhkan
seni peran sebagai yang utama.
Jika persoalan
hidup dalam lakon itu tidak bisa dipahami—bahkan terasa artifisial karena
seperti langsung dipindahkan dari Eropa ke Indonesia—maka penonton masih bisa
menikmati seni peran atau dekor yang menyaran kepada bentuk-bentuk realisme
dalam kehidupan sehari-hari.
“Apa-apa-yang-bukan-realisme”
sebenarnya fenomena yang lebih kemudian lagi. Itulah ketika kelompok-kelompok
teater kita tidak lagi mempercayai seni peran yang selama ini identik dengan
lakon realis. Apa yang dibawa Rendra sepulang belajar teater dari Amerika
Serikat pada 1967—yang populer dengan sebutan “teater minikata”—bisa ditandai
sebagai permulaan dari kencenderungan teater semacam ini.
Selanjutnya kita
menemukan jenis pemanggungan Teater Mandiri atau Teater Sae yang lebih kemudian
lagi. Dan pada perkembangannya yang kian lanjut “apa-apa-yang-bukan-realisme”
menjelma jadi rimba raya yang mengizinkan apa saja boleh di atas panggung.
“Anything goes,” mengutip frasa Asikin Hasan, kurator seni rupa.
Jika argumen
dasarnya “kenapa tidak”, tentu saja apa saja boleh terjadi di atas panggung.
Jika suara ketukan kaki dan gesekan kaki kursi atau suara batuk penonton bisa
menjadi sebentuk “musik eksperimental”, kenapa orang kencing di atas panggung
atau aksi menaburkan segenggam peniti di kepala tidak bisa menjadi teater yang
sejenis itu.
Namun, kritik
selanjutnya terhadap argumen ini adalah jika apa saja boleh di atas panggung,
apakah semua itu memperkaya khazanah teater yang ada. Jika tidak bisa memberi
“nilai tambah” bagi dunia kreatif kita, untuk apa kita mesti membuang-buang
umur mengerjakan semua itu.
***
Jika selama ini
realisme dalam teater dipercaya sebagai sebuah metode atau cara yang paling
ampuh untuk mempelajari psikologi manusia dan menampilkannya kembali di atas
panggung dan karenanya kita mendapatkan kembali diri kita yang lain di situ,
kita sebenarnya telah mempercayakan panggung itu membangun kembali miniatur
dunia keseharian kita.
Apa yang kita
tonton adalah juga apa yang terjadi dalam dunia keseharian kita. Dengan mudah
kita mengaitkan sang tokoh dengan diri kita atau orang-orang di sekitar kita.
Tiba-tiba kita bersedih orang nasib buruk yang menimpa seorang tokoh sebab
nasib serupa juga pernah kita alami atau bisa menimpa orang lain di lain
kesempatan.
Panggung adalah
dunia baru yang kita bangun untuk menyelamatkan, setidaknya, impian dan
imajinasi kita tentang manusia. Tiba-tiba kita mendapatkan kembali manusia
dengan watak yang murni yang dalam kehidupan keseharian kita telah tergerus
oleh pelbagai norma sosial dan agama. Mereka mesti bangkit melawan pelbagai
rintangan dan derita sehingga pada akhirnya berhasil dan kita ikut gembira pada
akhirnya.
Namun, hasrat
kepada “apa-apa-yang-bukan-realisme” kemudian menghancurkan semua itu. Beberapa
dari kita bosan dengan teater yang dipandang sebagai salinan atau miniatur
dunia keseharian kita—itu tentu saja dorongan kreativitas yang bagus.
Kita tidak lagi
menyalin manusia dan bentang alam sebagaimana para pelukis realisme dan
naturalisme, tetapi kita menciptakan dunia baru yang nalarnya bukan lagi
“salinan” atau “miniatur”, tetapi adalah “tafsir baru” atas segala yang ada.
Kerennya: “eksperimentasi”.
Maka di atas
panggung kita menemukan ketidaklinieran peristiwa—jika bukan jukstaposisi
sebagaimana citraan dalam puisi liris, maka ia adalah montase dari sejumlah
fragmen atau peristiwa. Nalar satu peristiwa ke peristiwa lain bukan lagi
hubungan sebab-akibat sebagaimana dituntut dalam alur cerita, tetapi
diskontinuitas atau negasi—atau “ujug-ujug ada”.
Dan yang juga
lebih penting dari semua itu adalah tubuh tidak lagi berfungsi untuk
merepresentasikan karakter manusia—apalagi yang berkembang-bulat—melainkan
mengekspresikan impuls-impuls indrawi yang jauh dari gambaran karakterisasi
seorang tokoh.
Teater semacam
itu membutuhkan bukan lagi akting, tetapi gerak-gerak tubuh; menantang tubuh
untuk menghasilkan gerak seasing-seajaib mungkin. Kadang ia membutuhkan
tari—itulah kenapa bentuk baru ini disebut “teater tari” (tanztheater).
Namun, di atas
panggung yang bermain bukan hanya tubuh-tubuh manusia yang minus penokohan,
tetapi juga benda-benda yang ikut membangun komposisi tertentu, konfigurasi
yang khas, sehingga bersama tubuh aktor dan anasir pemanggungan lainnya mereka
membentuk tata rupa panggung yang saling menguatkan.
Namun, semua itu
hanya bisa berhasil sejauh khalayak penonton bisa mencerap
“apa-apa-yang-bukan-realisme” itu dan mengembalikan semua itu kepada psikologi
atau pengalaman menonton mereka.
Apakah gerakan
dan ekspresi si aktor beralusi kepada gerakan dan ekspresi keseharian kita.
Jika tidak, kita hanya akan berhadapan dengan serangkaian patahan dan keanehan,
yang jika kita tidak bisa memahaminya kita bisa didakwa sebagai manusia dekaden;
kaum paria dalam susunan piramida “hamba-hamba kebudayaan”.
***
Menonton
pementasan Instalasi
Macet produksi Teater Kubur dengan arahan Dindon W.S. di Taman Ismail
Marzuki (TIM) pada Jumat (14/9) malam lalu, saya mendapatkan kembali pengalaman
menikmati “apa-apa-yang-bukan-realisme”. Pentas ini adalah bagian dari program
“Djakarta Teater Platform: Silent Mass” (sic!) yang diselenggarakan oleh Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ).
Untuk pementasan
ini Teater Kubur telah melakukan riset di Kampung Teko (kemudian disebut
“Kampung Apung”), Kapuk, Jakarta Utara, sejak program “Teater dan Kota” yang
digagas oleh DKJ pada 2015. “Kampung Apung” adalah kawasan pemukiman yang
terendam air akibat dampak buruk pembangunan Jakarta yang tidak memperhitungkan
ekosistem di sekitarnya.
Tentu saja pentas
ini adalah bagian dari apa yang kerap disebut “respons seniman terhadap
realitas”. Pementasan ini pada dasarnya adalah upaya memanggungkan kembali dunia
keseharian kita dengan cara-cara yang tidak realis sama sekali. Sebutan
kerennya “teater eksperimental”. Bisa ditambahkan dengan kategori lain: “teater
tubuh”, “teater non-verbal” atau “teater minikata”.
Menonton pentas Instalasi
Macet dari sisi kiri panggung, saya mendapatkan kesan Teater Kubur
tengah menjalankan apa-apa yang telah menjadi ciri khas selama ini. Tidak ada
penokohan yang permanen. Tidak ada set yang mencitrakan bangunan atau bentang
alam tertentu. Sesekali kalimat puitis muncul—meski kali terasa kelewat
benderang maknanya.
Perwatakan—sejauh
ia muncul—telah dipatok untuk posisi tokoh tertentu. Lima lelaki yang
menjerit-jerit dan memunculkan pelbagai ekspresi atau gestur, seorang anak
belasan tahun menjadi semacam katup penyelamat, seorang perempuan yang mirip
pengaba atas koreografi gerakan dan ekspresi para lelaki, dan seorang lelaki
yang datang bak juru selamat—jika bukan “pemberi harapan palsu”.
Sepanjang
pertunjukan mereka bermain di antara instalasi balok-balok yang disusun
sedemikian rupa, menyerupai kerangka rumah-rumah panggung di kampung yang
terendam air. Sampai pada instalasi balok-balok ini, imajinasi kita bolehlah
bertautan dengan penampakan dunia keseharian warga yang selam ini hidup di
Kampung Apung.
Juga permainan
“bertukar tangkap dengan lepas” antara para aktor dengan air—eskpresi orang
tenggelam dan katak-katak—dan janji-janji palsu pembangunan kota yang dibawa
oleh si juru selamat tadi. Bahkan ekspresi lima lelaki yang secara bergantian
menampilkan kesakitan dan keputusasaan dapatlah disimpulkan sebagai ekspresi
umum warga yang terancam oleh banjir, penyakit dan masa depan yang tidak pernah
pasti.
Semuanya tampak wajar dengan wataknya yang tidak realis itu.
Namun, masalahnya
kemudian adalah koreografi gerak manusia dan benda-benda. Seliar-liarnya atau
seeksperimental-eksperimentalnya gerak di atas panggung tetaplah bersumber dari
kondisi sosial yang nyata: dalam konteks pementasan ini adalah kondisi sosial
masyarakat Kampung Apung. Jika bukan stilisasi gerak, maka yang muncul adalah
pemiuhan yang terus menerus atau simbolisasi dari apa-apa yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari mereka.
Masalahnya
kemudian: kadang dapat kita tangkap maknanya, kadang tidak sama sekali. Kadang
rapi, kadang berantakan.
Sudah menjadi
rahasia umum, teater-teater amatir yang berpretensi eksperimental selalu
dirundung oleh hasrat ingin mengatakan kelewat banyak hal, melebihi apa yang
seharusnya. Jika gerakan-gerakan itu tidak tergubah dengan baik, pastilah
benda-benda yang ikut serta juga tampak semrawut; tidak mencerminkan prinsip
“kekacauan sebagai keindahan”.
Sebagai
perbandingan, marilah kita tengok apa yang ditampilkan dalam pentas Likukulikuproduksi
Teater Ghanta arahan Yustiansyah Lesmana pada final FTJ di TIM, 14 Desember
2014. Koreografi benda-benda dalam pementasan itu—yang adalah bata hebel—ditata
jauh lebih baik dan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan artistik yang tidak
terduga
Jika ada unsur cerita dalam pementasan ini adalah kisah tentang
sekelompok orang yang sedang membangun sebuah rumah. Mereka membangun rumah
tanpa acuan arsitektur, hanya berdasarkan kepentingan masing-masing
pembangunnya.
Akibatnya rumah
berbentuk tidak karuan. Sementara barang-barang yang dipesan pemiliknya sudah
datang. Masuknya aneka perabot rumah tangga membuat kekacauan lebih parah lagi.
Situasi kacau
ini—dengan cahaya yang nyaris terang terus—memang membuat panggung tampak
monoton, tetapi psikologi tokoh bergerak di antara tekanan kekacauan dan
tuntutan selesai sebelum si pemesan/pemilik datang.
Itulah yang membuat pentas ini menarik. Kekacauan ruang berimbas kepada
kekacauan psikologi dan benturan di antara keduanya, di beberapa bagian,
meletuskan humor yang segar. Humor di sini tercipta karena situasi, bukan
kehendak para tokoh yang ingin melucu.
***
Teater Kubur dan Teater Ghanta adalah dua kelompok teater yang
sama-sama tumbuh dan besar melalui mekanisme FTJ—sebuah festival teater amatir
tertua di Indonesia, mungkin juga di Asia Tenggara—yang berlangsung sejak 1974.
Selama ini, mereka sama-sama mengusung bentuk pementasan non-realistis.
Di luar mereka kita dapati pula kecenderungan yang sama pada Bandar
Teater Jakarta, Teater Kami dan Artery Performa—sekadar menyebut beberapa nama.
Pada dasarnya, cap non-realis ini masih bisa ditanggalkan, sebab bukan
sekali dua, kelompok-kelompok teater ini memerankan naskah-naskah realis, juga
absurd, dan hasilnya cukup bagus.
Saya masih bisa mengenang pementasan lakonKapai-kapai karya Arifin C. Noer
oleh Teater Kubur (1996) sebagai salah satu pementasan teater amatir terbaik
yang pernah saya tonton di TIM. Atau, di TIM pula, Bandar Teater Jakarta pernah
mementaskan dengan apik lakon Woyzekkarya
George Büchner (2001).
Dengan rekam jejak ini sebenarnya, pencarian bentuk pemanggungan lakon
itu bisa dipetakan sebagai berikut—sejauh pemetaan ini bisa membantu: Pada
mulanya realis, lantas absurd atau eksistensialis, lantas eksperimental, lantas
bisa apa saja.
Artinya, sebelum sampai pada “apa-apa-yang-bukan-realisme” sebuah
kelompok teater mesti tamat terlebih dulu jurus-jurus realisme. Sebelum bisa
berolah jurus di atas rimbun pepucuk bambu, seorang pekungfu mestilah
menamatkan dahulu jurus-jurus di atas tanah.
Jika tidak, “apa-apa-yang-bukan-realisme” hanyalah alibi dari
ketidakcakapan dan kemalasan—dan itu tidak bisa dimaafkan.
Pada akhirnya
batas-batas terjauh pencarian bentuk pemanggungan teater—sebagaimana seni pada
umumnya—mesti diimbangi pula dengan penguatan segi-segi intelektualitas seniman
yang bersangkutan. Teater bukan sekadar iman yang keras kepala—yang darinya si
pekerja percaya adanya “wahyu” dan “dewi seni”—tetapi juga praktik ilmu yang
terus-menerus diuji untuk mencapai bentuk terbaiknya.
Mengabaikan segi-segi intelektual seni, atau kemungkinan kolaborasi
seni dan sains, akan membuat kesenian—dalam hal ini: teater—tak ubahnya katak
di bawah tempurung.
Jika si seniman bersikeras menciptakan “apa-apa-yang-bukan-realisme”
tanpa nalar yang bisa dipertanggungjawabkan, sebaik camkanlah apa yang pernah
dikatakan Asrul Sani dalam diskusi “Transformasi Novel ke Dalam Film” di PDS
H.B. Jassin pada 1991:
“Seniman kita, belum realis, sudah absurd.”Source: beritagar.id